Mohon tunggu...
Tiuruli Sitorus
Tiuruli Sitorus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

1996

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Pernikahan Lintas Agama

20 Oktober 2013   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah yang Sering Dihadapi dalam Perkawinan Lintas Agama

Cinta tidak mengenal batas. Seringkali perbedaan agama pun tidak menjadi batas antara dua orang yang sudah saling mencintai. Seperti yang penulis sampaikan bahwa sebagian besar masyarakat masih menolak perkawinan lintas agama. Bahkan, biasanya tekanan-tekanan terhadap orang yang melakukan pernikahan lintas agama itu berasal dari keluarga terdekat. ‘Perbedaan’ itulah hal yang seringkali jadi masalah. Banyak kasus yang menunjukan bahwa orang tua tidak mengijinkan anaknya untuk menjalankan pernikahan lintas agama karena mereka berharap supaya anaknya menikah dengan orang yang mempunyai latar belakang yang sama, termasuk agama (Fasya, 2011). Maka, selain mereka kesulitan dalam mendapatkan restu dari keluarga, seringkali para pasangan tersebut melakukan pernikahan tanpa kehadiran keluarga terdekat (orang tua).

Sebagai contoh, Jakarta Post pernah mengulas kisah seorang ibu bernama Gracia Febriani, yang menikah pada Juni 2009. Hingga sekarang ia masih harus berjuang untuk mendapat restu dari keluarga. Sebagai konsekuensi, Gladees (anak dari Gracia), belum pernah melihat neneknya sejak ia lahir karena sang nenek menolak mereka.

Tak jarang pula orang tua yang berusaha memisahkan anaknya yang ingin menikah dengan pasangan beda agama. Mungkin, seringkali usaha ini berhasil. Akan tetapi, secara tidak disadari usaha ini bisa berujung pada ketidaksetiaan pada pasangan tersebut. Mengapa demikian? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh State University of New York, membuktikan bahwa sistem otak seseorang ketika jatuh cinta adalah sama dengan kerja sistem otak ketika kecanduan narkoba (Susrini, 2012). Penelitian lain yang dilakukan oleh by New York Stony Brook University dan Harvey Mudd College di Claremont, California membuktikan bahwa perasaan cinta, yang mempengaruhi sistem otak, dapat bertahan sampai 10 tahun bahkan lebih (Nurlaila, 2012). Jadi, usaha memisahkan sang anak dari pasangannya memang berhasil, tetapi tujuannya tidak dapat tercapai karena rasa cinta mereka masih ada bertahun-tahun seperti hasil penelitian yang sudah dibuktikan. Bukan tidak mungkin pula, mereka masih memiliki sebuah kemistri meskipun sudah memiliki pasangan masing-masing. Kemungkinan untuk tidak setia terhadap pasangan pun terbuka. Jika pasangan sampai kepada titik ini, ada kemungkinan pula bahwa mereka akan bercerai.

Mindset masyarakat juga masih negatif terhadap perkawinan lintas agama. Banyak orang yang berpikir bahwa pasangan yang melakukan perkawinan lintas agama akan lebih rentan terhadap perceraian karena lebih sering terlibat konflik. Mengutip dari www.news.detik.com (2012), Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung berkata bahwa tahun 2011 tingkat perceraian di Indonesia meningkat hingga 81%. Dinyatakan juga bahwa 10.029 kasus disebabkan oleh kecemburuan dan 91.841 disebakan ketidak harmonisan dalam pernikahan.  Namun, asumsi bahwa pernikahan lintas agama selalu berujung pada perceraian dan ketidakharmonisan tidak dapat dibenarkan. Buktinya, cukup banyak orang yang menikah dengan orang yang seagama pun terlibat konflik dan tak jarang juga berujung pada perceraian.  Orang-orang cenderung hanya mendiskriminasi dan memandang sebelah mata perkawinan lintas agama, tanpa melihat sisi postifnya.

Masalah yang muncul selanjutnya adalah bagaimana anak dari perkawinan lintas agama akan tumbuh dan berkembang. Tak jarang para pasangan menganggap bahwa agama mereka adalah yang paling benar. Masalah ini bisa dibilang seperti soto di Indonesia. Seperti kita ketahui, soto adalah makanan yang cukup familiar di negeri ini. Uniknya, tiap daerah di Indonesia memiliki rasa soto yang khas dan bermacam-macam. Setiap soto itu adalah yang ‘nomor satu’, atau yang ‘terbaik’. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungin? Bukannya seharusnya hanya ada satu yang disebut sebagai yang ‘nomor satu’ atau yang ‘terbaik’?

Sejatinya, setiap soto memang dibuat dengan resep yang berbeda-beda, tetapi akan sangat memberatkan jika pembuatnya menyatakan bahwa sotonya adalah yang ‘nomor dua’. Alhasil, setiap  soto akan dicap sebagai yang ‘nomor satu’. Kita dapat membandingkan agama dan soto. Atau lebih tepatnya, setiap pengikut agama itu seperti pembuat soto. Mereka semua mengklaim sotonya untuk menjadi yang ‘nomor satu’.

Karen Amstrong, seorang penulis Inggris yang telah menulis 22 buku dan merupakan salah satu penulis tentang agama yang paling berpengetahuan luas di planet ini, menyatakan bahwa hal di atas adalah masalah yang paling utama yang banyak dihadapi orang pada saat ini. Menganggap diri dan agamanya adalah yang paling benar adalah salah satu indikasi yang menunjkan perpecahan dan ketidak haromonisan.

Cara Mengatasi Masalah dalam Perkawinan Lintas Agama

Menikah adalah kebebasan dan pilihan bagi setiap orang. Setiap orang memiliki hak untuk menikah dan memilih pasangan yang terbaik untuk mereka. Maka seharusnya, pernikahan tidak boleh dipaksakan. Banyak argumen yang berkata bahwa orang yang menikah dengan orang yang seagama akan hidup dalam keharmonisan. Namun sejatinya, haromonisasi bukanlah hal yang didapatkan, melainkan dicari, dibuat, dan diperjuangkan. Lagi pula, konflik sudah ada sejak kita mempersatukan dua orang yang punya idealisme yang berbeda. Hal ini terjadi baik pada perkawinan lintas agama atau pun pernikahan yang seagama.  Perbedaan inilah yang menjadi tantangan untuk menyatukan kita yang beragam ini. Memang tidak mudah untuk menerima sesuatu yang berbeda dengan gagasan kita. Akan tetapi, tidak mudah bukan berarti mustahil. Seperti gado-gado, walaupun berbagai macam bahan yang berbeda dicampur, rasanya tetap mantap. Tentu saja, gado-gado tidak akan lengkap tanpa sambal kacang. Demikian pula dengan kita, sambal kacang dalam kehidupan kita adalah ‘toleransi’.

Pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga dan membentuk keluarga berarti membentuk suatu komunitas baru untuk mengembangkan diri dan menghilangkan batasan-batasan yang seringkali ada dalam masyarakat. Batasan yang ada dalam kasus ini adalah perbedaan agama. Keluarga bukan hanya menyatukan dua orang yang berbeda, melainkan juga membentuk anak-anak yang mengerti keindahan dari perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun