Mohon tunggu...
Tiuruli Sitorus
Tiuruli Sitorus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

1996

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Pernikahan Lintas Agama

20 Oktober 2013   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Berbeda-beda tetapi tetap satu adalah sebuah kekayaan dan keindahan dalam pernikahan dan hidup.” Rev. Tom Chulak

Bangsa ini adalah bangsa yang beragam, tetapi masih perlu banyak belajar tentang toleransi dan menghargai perbedaan. Dengan demikian, “Berbeda-beda tetapi tetap satu” bukanlah hanya sebuah fatamorgana, melainkan cita-cita yang harus segera dicapai.

Indonesia adalah rumah dari keberagaman. Beragam budaya, suku, bahasa, dan agama. Semua itu membuat Indonesia menjadi layak untuk dicintai. Sayangnya, kita tidak sedang berada dalam dunia yang ideal. Konflik antar suku, ras, dan agama pun masih sering terjadi dalam masyarakat.

Jika kita mulai berbicara tentang masyarakat, maka pernikahan adalah sesuatu yang turut melekat di dalamnya, karena pernikahan merupakan salah satu tradisi masyarakat yang paling penting. Sejauh ini, pernikahan masih dianggap sebagai sesuatu yang suci dan sakral serta merupakan kewajiban bagi mereka yang dianggap sudah cukup dewasa. Disisi lain pernikahan juga salah satu cara yang terbaik untuk menghilangkan perpecahan dalam perbedaan, karena pernikahan menjadi media pemersatu dua orang yang berbeda latar belakangnya. Di Indonesia, perkawinan lintas agama sangatlah sulit untuk dihindari mengingat bangsa ini terdiri dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda. Saat ini Indonesia mengakui enam ajaran agama besar yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Walaupun pada kenyataannya masih banyak kepercayaan lain.

Akan tetapi, sebagian besar masyarakat masih menolak atau tidak setuju dengan perkawinan lintas agama. Tantangan pun semakin besar bagi mereka yang ingin mengukuhkan cintanya di tengah perbedaan agama. Dengan demikian, perkawinan lintas agama adalah topik layak untuk dibahas di tengah pluralisme bangsa ini.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal satu menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara  seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Seorang aktivis, Zoemrotin K. Susilo berkata bahwa Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan, melanggar kebebasan beragama dan kepercayaan yang telah diakui sebagai hak dasar, karena kebijakan tersebut mencegah orang untuk memperoleh status yang legal untuk pernikahan lintas agama.

Seorang desain grafis untuk periklanan perusahaan asing menyatakan, bahwa ia menjadi seorang Islam dan hari selanjutnya sang pasangan yang beragama Islam bersumpah disebuah gereja Katolik untuk melegalkan pernikahan mereka. Mereka mengaku sengaja untuk menjalankan ritual secara Islam dan Katolik untuk saling menghargai kepercayaan masing-masing. Setelah itu, keduanya menjalankan kepercayaannya masing-masing. Kejadian ini sering terjadi di masyarakat. Banyak orang yang tidak mengerti hukum dan tidak punya uang, memilih untuk pindah agama. Sedangkan, bagi mereka yang mampu, akan pergi ke luar negeri seperti Australia dan Singapur untuk mengesahkan pernikahan mereka.

Kejadian di atas merupakan potret perkawinan lintas agama yang sering terjadi di masyarakat kita. Prof. Dr. Harkristuti Harkriswono juga setuju dengan pernyataan Zoemrotin. Menurutnya, kebijakan itu hanya berujung kepada kemunafikan karena orang-orang cenderung melaksanakannya hanya untuk sebuah formalitas.  Buktinya,  setelah itu mereka akan kembali menjalankan agama dan kepercayaan yang dipeluknya masing-masing.

Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa Indonesia masih penuh dengan steorotyping. Status quo Indonesia sebagai negara yang plural masih belum diperlengkapi oleh toleransi masyarakatnya. Jangankan masyarakat, bahkan steorotyping itu sudah dimulai dari kebijakan yang dibuat. Tak salah jika kita beranggapan bahwa sebenarnya kebijakan tentang pernikahan tersebut masih perlu ditinjau kembali. Apalagi, agama adalah area privat yang seharusnya tidak layak untuk di intervensi oleh Negara. Seharusnya negara tidak ikut campur masalah ini. Lagi pula, masih ada banyak hal dan sektor lain yang lebih penting dan layak untuk menjadi perhatian negara, salah satunya adalah kasus korupsi.

Terlepas dari memperdebatkan masalah hukum dan kebijakan yang berlaku, penulis akan memberikan analisis yang lebih dalam lagi tentang bagaimana perkawinan lintas agama mempengaruhi masyarakat terlebih sang anak dalam memahami perbedaan-perbedaan yang ada di tengah masyarakat dan bagaimana perkawinan lintas agama bisa menjadi role-model yang tepat untuk mengajarkan keberagaamaan dan toleransi.

Masalah yang Sering Dihadapi dalam Perkawinan Lintas Agama

Cinta tidak mengenal batas. Seringkali perbedaan agama pun tidak menjadi batas antara dua orang yang sudah saling mencintai. Seperti yang penulis sampaikan bahwa sebagian besar masyarakat masih menolak perkawinan lintas agama. Bahkan, biasanya tekanan-tekanan terhadap orang yang melakukan pernikahan lintas agama itu berasal dari keluarga terdekat. ‘Perbedaan’ itulah hal yang seringkali jadi masalah. Banyak kasus yang menunjukan bahwa orang tua tidak mengijinkan anaknya untuk menjalankan pernikahan lintas agama karena mereka berharap supaya anaknya menikah dengan orang yang mempunyai latar belakang yang sama, termasuk agama (Fasya, 2011). Maka, selain mereka kesulitan dalam mendapatkan restu dari keluarga, seringkali para pasangan tersebut melakukan pernikahan tanpa kehadiran keluarga terdekat (orang tua).

Sebagai contoh, Jakarta Post pernah mengulas kisah seorang ibu bernama Gracia Febriani, yang menikah pada Juni 2009. Hingga sekarang ia masih harus berjuang untuk mendapat restu dari keluarga. Sebagai konsekuensi, Gladees (anak dari Gracia), belum pernah melihat neneknya sejak ia lahir karena sang nenek menolak mereka.

Tak jarang pula orang tua yang berusaha memisahkan anaknya yang ingin menikah dengan pasangan beda agama. Mungkin, seringkali usaha ini berhasil. Akan tetapi, secara tidak disadari usaha ini bisa berujung pada ketidaksetiaan pada pasangan tersebut. Mengapa demikian? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh State University of New York, membuktikan bahwa sistem otak seseorang ketika jatuh cinta adalah sama dengan kerja sistem otak ketika kecanduan narkoba (Susrini, 2012). Penelitian lain yang dilakukan oleh by New York Stony Brook University dan Harvey Mudd College di Claremont, California membuktikan bahwa perasaan cinta, yang mempengaruhi sistem otak, dapat bertahan sampai 10 tahun bahkan lebih (Nurlaila, 2012). Jadi, usaha memisahkan sang anak dari pasangannya memang berhasil, tetapi tujuannya tidak dapat tercapai karena rasa cinta mereka masih ada bertahun-tahun seperti hasil penelitian yang sudah dibuktikan. Bukan tidak mungkin pula, mereka masih memiliki sebuah kemistri meskipun sudah memiliki pasangan masing-masing. Kemungkinan untuk tidak setia terhadap pasangan pun terbuka. Jika pasangan sampai kepada titik ini, ada kemungkinan pula bahwa mereka akan bercerai.

Mindset masyarakat juga masih negatif terhadap perkawinan lintas agama. Banyak orang yang berpikir bahwa pasangan yang melakukan perkawinan lintas agama akan lebih rentan terhadap perceraian karena lebih sering terlibat konflik. Mengutip dari www.news.detik.com (2012), Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung berkata bahwa tahun 2011 tingkat perceraian di Indonesia meningkat hingga 81%. Dinyatakan juga bahwa 10.029 kasus disebabkan oleh kecemburuan dan 91.841 disebakan ketidak harmonisan dalam pernikahan.  Namun, asumsi bahwa pernikahan lintas agama selalu berujung pada perceraian dan ketidakharmonisan tidak dapat dibenarkan. Buktinya, cukup banyak orang yang menikah dengan orang yang seagama pun terlibat konflik dan tak jarang juga berujung pada perceraian.  Orang-orang cenderung hanya mendiskriminasi dan memandang sebelah mata perkawinan lintas agama, tanpa melihat sisi postifnya.

Masalah yang muncul selanjutnya adalah bagaimana anak dari perkawinan lintas agama akan tumbuh dan berkembang. Tak jarang para pasangan menganggap bahwa agama mereka adalah yang paling benar. Masalah ini bisa dibilang seperti soto di Indonesia. Seperti kita ketahui, soto adalah makanan yang cukup familiar di negeri ini. Uniknya, tiap daerah di Indonesia memiliki rasa soto yang khas dan bermacam-macam. Setiap soto itu adalah yang ‘nomor satu’, atau yang ‘terbaik’. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungin? Bukannya seharusnya hanya ada satu yang disebut sebagai yang ‘nomor satu’ atau yang ‘terbaik’?

Sejatinya, setiap soto memang dibuat dengan resep yang berbeda-beda, tetapi akan sangat memberatkan jika pembuatnya menyatakan bahwa sotonya adalah yang ‘nomor dua’. Alhasil, setiap  soto akan dicap sebagai yang ‘nomor satu’. Kita dapat membandingkan agama dan soto. Atau lebih tepatnya, setiap pengikut agama itu seperti pembuat soto. Mereka semua mengklaim sotonya untuk menjadi yang ‘nomor satu’.

Karen Amstrong, seorang penulis Inggris yang telah menulis 22 buku dan merupakan salah satu penulis tentang agama yang paling berpengetahuan luas di planet ini, menyatakan bahwa hal di atas adalah masalah yang paling utama yang banyak dihadapi orang pada saat ini. Menganggap diri dan agamanya adalah yang paling benar adalah salah satu indikasi yang menunjkan perpecahan dan ketidak haromonisan.

Cara Mengatasi Masalah dalam Perkawinan Lintas Agama

Menikah adalah kebebasan dan pilihan bagi setiap orang. Setiap orang memiliki hak untuk menikah dan memilih pasangan yang terbaik untuk mereka. Maka seharusnya, pernikahan tidak boleh dipaksakan. Banyak argumen yang berkata bahwa orang yang menikah dengan orang yang seagama akan hidup dalam keharmonisan. Namun sejatinya, haromonisasi bukanlah hal yang didapatkan, melainkan dicari, dibuat, dan diperjuangkan. Lagi pula, konflik sudah ada sejak kita mempersatukan dua orang yang punya idealisme yang berbeda. Hal ini terjadi baik pada perkawinan lintas agama atau pun pernikahan yang seagama.  Perbedaan inilah yang menjadi tantangan untuk menyatukan kita yang beragam ini. Memang tidak mudah untuk menerima sesuatu yang berbeda dengan gagasan kita. Akan tetapi, tidak mudah bukan berarti mustahil. Seperti gado-gado, walaupun berbagai macam bahan yang berbeda dicampur, rasanya tetap mantap. Tentu saja, gado-gado tidak akan lengkap tanpa sambal kacang. Demikian pula dengan kita, sambal kacang dalam kehidupan kita adalah ‘toleransi’.

Pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga dan membentuk keluarga berarti membentuk suatu komunitas baru untuk mengembangkan diri dan menghilangkan batasan-batasan yang seringkali ada dalam masyarakat. Batasan yang ada dalam kasus ini adalah perbedaan agama. Keluarga bukan hanya menyatukan dua orang yang berbeda, melainkan juga membentuk anak-anak yang mengerti keindahan dari perbedaan.

Di sisi lain, ketika pernikahan menjadi pilihan bagi sebuah pasangan, maka merekalah yang juga berhak untuk bertanggung jawab terhadap segala hal yang akan dihadapi selanjutnya. Hendaknya, sebelum melakukan pernikahan, para pasangan mengintropeksi diri satu sama lain untuk mencegah kekecewaan yang mungkin saja muncul di kemudian hari. Pernikahan sebaiknya juga dilaksanakan dengan persiapan yang matang, bukan hanya terbawa oleh emosi sesaat. Pasangan perkawinan lintas agama dapat bertahan lama dalam berumah tangga jika keduanya saling memegang komitmen. Mereka harus saling menghargai, bertanggung jawab, jujur dan tulus.

Sama seperti pernikahan, agama atau kepercayaan pun tidak dapat dipaksakan. Para orang tua dari pernikahan lintas agama juga diharapkan tidak memaksa sang anak mengikuti agama yang ia anut. Terlebih lagi, jangan sampai kedua orangtua saling menjelek-jelekkan agama satu dengan yang lain. Mereka harus mencoba menyediakan pengalaman positif dari semua agama yang dianut untuk anak-anak mereka. Ini memang terlihat lebih mudah diucapkan dari pada direalisasikan di dunia, tetapi usaha ini dapat dimulai dengan membangun rasa bangga terhadap agama dan kebudayaan dengan merayakan kedua agama yang dianut oleh orang tua. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anaknya dan memberikan pemahaman yang tepat kepada sang anak. Pemahaman yang tepat akan membekali sang anak dalam menghadapi masyarakat luas nantinya. Ia akan tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai perbedaan, tidak fanatik, tidak ekstremis apalagi anarkis. Sebagai realisasi dari kewajiban tersebut, orang tua harus memberi kebebasan kepada sang anak untuk memilih agama yang akan mereka tekuni. Setelah sang anak memilih, orang tua berkewajiban untuk mendukung dan tetap mengarahkan anaknya.

Ada satu fakta menarik dari penelitian kecil yang penulis lakukan di sekolah. Kebanyakan dari siswa-siswi yang berasal dari pernikahan lintas agama, mengikuti agama sang ibu. Beberapa siswa mengaku bahwa dari kecil sang ibu telah menanamkan agama yang dianutnya sekarang. Banyak ibu yang punya keinginan untuk menyampaikan agamanya kepada anaknya sendiri. Hal ini juga sangat masuk akal mengingat ibu punya waktu yang lebih banyak dengan sang anak dan secara emosional begitu dekat dengan anak. Mereka punya pengaruh yang sangat kuat. Penulis percaya bahwa perempuan harus menunjukkan pilihan kepada anak baik agamanya maupun agama sang suami. Walaupun demikian, kedua orang tua tetap punya peran yang sama dan cukup besar dalam perekembangan sang anak. Maka, mereka harus menjadi partner yang kuat sehingga harmonisasi dalam keluarga akan tercapai.

Sebaiknya, masyarakat luas juga tidak mendiskriminasi atau memandang sebelah mata pasangan pernikahan lintas agama. Ingat, segala hal itu memiliki keindahan, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya. Maka, kita harus mengubah cara pandang kita tentang kasus ini. Pasangan lintas agama juga bagian dari masyarakat yang butuh dukungan untuk berkembang. Dengan menghargai mereka yang melakukan pernikahan lintas agama, masyarakat telah belajar untuk menjadi lebih toleran dan lebih menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Keuntungan dari Perkawinan Lintas Agama

Hal yang sama belum tentu baik dan yang berbeda belum tentu buruk. Pernikahan lintas agama memang tidak dapat dipungkiri eksistensinya di tengah masyarakat Indonesia, tetapi ada beberapa keuntungan atau manfaat dari pernikahan lintas agama, diantaranya:

1) Toleransi

Ahchmad Nurcholis, seorang penulis beberapa buku tentang pernikahan lintas agama menyatakan bahwa perakwinan lintas agama harus menjadi contoh modul, inkubator, dan implementasi dari toleransi itu sendiri (Akbar, 2012). Dua orang yang punya keinginan untuk menikah dengan pasangan yang beda agama biasanya mempunyai kesadaran dan pemahaman bahwa setiap agama itu baik. Maka dari itu, mereka tidak akan memaksa pasangannya untuk pindah agama atau memaksa pasangannya untuk berdoa seperti caranya berdoa. Sebaliknya, mereka akan belajar satu sama lain dan memperkaya pengetahuan mereka tentang agama lain. Jika mereka mengerti agama lain dengan baik, maka keinginan mereka untuk hidup harmonisasi tidak akan pupus hanya karena perbedaan.

Terlebih lagi, pemahaman ini dapat dibagikan dan diajarkan kepada anak mereka. Sebagai hasilnya, mereka akan mampu untuk hidup dengan orang yang berbeda agama atau pun kepercayaan. Ini saat yang tepat untuk mengajarkan mereka tentang perbedaan. Perbedaan membantu mereka memahami tentang toleransi. Anak dari perkawinan lintas agama akan belajar tentang toleransi dari pengalamannya sendiri. Ia dapat menyaksikan bagaimana agama yang berbeda bisa menjadi sebuah harmoni yang disebut sebagai keluarga. Ikatan keluarga akan menghapuskan steorotyping yang ada selama ini. Bahkan pemahaman yang didapat anak akan bertahan jauh lebih lama, karena berasal dari pengalamannya sendiri.  Mereka tidak sekedar menggunakan otak untuk mengingat, melainkan seluruh jiwa dan raganya. Akhirnya, anak yang berasal dari perkawinan lintas agama akan hidup dengan orang yang berbeda agama secara damai dan harmoni.

2) Memperkaya pengetahuan

Apakah ada aturan yang mengatakan bahwa seseorang tidak harus membaca Kitab Suci iman yang tidak mereka ikuti? Tentu saja tidak, pasangan pernikahan lintas agama memiliki kesempatan untuk belajar tentang agama lain, yang memungkinkan mereka untuk memahami iman pasangan mereka dan menghormati itu. Pengetahuan yang diperoleh adalah sesuatu yang tidak pernah sia-sia.

Marriageshas antar-agama mengajarkan kita tentang berbagai agama dan keyakinan mereka, serta bagaimana orang yang berbeda agama dapat hidup dalam satu rumah.. Mereka punya banyak hal yang berbeda yang bisa dibagi dan direnungkan. Bahkan, mereka tidak tinggal dengan pembicaraan biasa dan sederhana, tetapi memiliki pembicaraan yang unik dan mendalam.

3) Perayaan

Kita hidup di negara di mana semua orang merayakan agama lain. Ini adalah sesuatu yang menarik dan sangat berharga ketika semua orang turut bersukacita dengan merayakan perayaan agama yang lain.

Dari perayaan, para pasangan lintas agama dapat menyelipkan nilai-nilai harmonisasi dari perbedaan. Sebuah pernikahan lintas agama yang sukses akan memberi dorongan kepada dua keluarga yang berebda latar belakang untuk terus berkomunikasi dari waktu ke waktu, sekaligus secara potensial turut mempromosikan pendidikan tentang agama dan toleransi. Mereka belajar untuk saling berpartisipasi pada perayaan agama satu dengan yang lain. Anak pun punya pengalaman luar biasa dalam merayakan kedua agama orang tuanya, karena pasangan perkawinan lintas agama lebih cenderung untuk salng membuka mata untuk melihat keindahan, kesamaan, dan perbedaan dari masing-masing tradisi.

Simpulan

Terkadang terdengar sangat klise ketika mendengar seseorang berkata bahwa cinta itu buta. Namun, tidak salah jika cinta memang buta ketika seseorang tidak menjadikan agama yang sebagai syarat untuk mengukuhkan cintanya. Kesempatan emas telah terpancar dari pemuda sekarang dan generasi mendatang untuk berpikir outside the box dan secara potensial bisa menjadikan dunia ini tempat yang lebih damai dan toleran melalui pernikahan lintas agama.

Masyarakat harus mengubah cara pandang mereka tentang pernikahan lintas agama. Pernikahan lintas agama tidaklah buruk karena pada akhirnya pernikahan lintas agama memiliki tujuan akhir yang sama dengan pernikahan biasa, yaitu membentuk keluarga dan harmonisasi. Para pelaku pernikahan lintas agama butuh dukungan dari masyarakat luas sehingga mereka tidak merasa terdiskriminasi. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan potensi yang ada dalam keluarga.

Sangat mudah untuk menikah tetapi sangat sulit untuk tetap menikah. Terutama, sekarang ini kita hidup dikondisi yang penuh tekanan. Pernikahan tidaklah satu-satunya hal yang harus diperjuangkan, tetapi toleransi dan harmonisasilah yang harus diperjuangakan lebih lagi demi  terciptanya dunia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun