Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib Tragis Para Ibu dan Suster

26 Maret 2020   21:00 Diperbarui: 26 Maret 2020   21:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian dengan teganya si pembuat cerita, sama halnya dengan pembuat cerita tentang "kuntilanak", membuat para tokoh yang semestinya menjadi pahlawan tadi malah dijadikan tokoh "hantu" yang menakutkan serta jahat.  Padahal sejatinya, seorang ibu yang meninggal karena melahirkan, atau seorang suster yang meninggal pada saat sedang bekerja merupakan pahlawan-pahlawan kehidupan yang harus dihargai setinggi-tingginya.

Berangkat dari ilustrasi di atas, marilah kita lihat nasib para ibu dan para suster, pada saat terjadinya pandemi virus corona yang melanda bumi pertiwi beberapa hari terakhir ini.

Ibu-Ibu dan Suster di Tengah Pandemi

Dalam sejarah umat manusia di muka bumi, coba amati: ibu dari mahluk hidup mana yang tidak senang dan bahagia berada dekat-dekat dengan anak dan suaminya, entahlah jika hewan, mungkin mereka hanya berkepentingan dengan anak-anaknya saja. Namun yang pasti sebagian besar dari para ibu, nalurinya selalu ingin berada dekat-dekat dengan buah hatinya.

Setiap hari yang ditunggu para ibu tersebut, setelah anak dan suaminya pergi beraktifitas ke luar rumah, adalah menunggu sore hari menjelang anak dan suaminya pulang dengan perasaan berbunga-bunga.  Demikian juga bagi para ibu yang memilih berkarir di luar rumah, sepanjang hari yang dipikirkannya adalah keberadaan anak-anaknya, mengenai keberadaan suaminya tak jelas, entah dipikirkan entah tidak.

Dengan adanya wabah corona, yang memaksa sebagian orang di daerah-daerah terjangkit untuk berdiam diri di rumah, terutama anak sekolah bahkan kuliah yang diliburkan, beberapa perusahaan memberlakukan para karyawan tertentu untuk bekerja dari rumah pada awalnya membuat bahagia para ibu yang sepanjang hidupnya setiap hari harus melepas anak dan suaminya berangkat beraktivitas dan dengan rasa was-was menunggu sore hari menjelang kepulangan orang-orang yang dicintainya.

Namun hari-hari berlalu, belum genap seminggu beberapa para ibu mulai "senewen", karena di samping harus menyiapkan makanan, yang entah kenapa jika berada di rumah mendadak para ayah dan anak menjadi mahluk yang sangat rakus dan banyak kehendak, sang ibu juga harus membantu para anak-anaknya mengerjakan tugas-tugas sekolah yang dilakukan secara daring. 

Sang ayah, seperti biasa hanya menjadi pengawas dan pemerhati belaka. Dan berlagak sibuk dengan pekerjaannya, yang juga dilakukan secara daring. Ada juga seorang pria tua di sebuah keluarga yang supaya terlihat sibuk, tekun mengetik di depan computer, padahal hanya mengetik artikel celotehan yang tidak terlalu perlu untuk dikirim ke Kompasiana. Beruntung kedua anaknya sudah masuk usia kuliah, jadi tidak membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan tugas sekolahnya.

Lewat seminggu masa berdiam diri di rumah, di media social muncul celotehan yang bertendensi merendahkan peran ibu yang sudah nyaris "senewen" melayani ayah dan anak-anaknya. Dari pihak para bapak, muncul anekdot: seminggu masa lockdown, tingkat kejahatan 0, tingkat kecelakaan 0, tingkat pencurian 0, tingkat pertengkaran rumah tangga 34.750.  

Para bapak tertawa terbahak-bahak membaca anekdot tersebut, karena berasumsi pertengkaran terjadi akibat sang ibu atau istri terlalu cerewet. Jadi ibu atau istri yang disalahkan, tanpa menimbang betapa tugas sang ibu menjadi tiga kali lipat beratnya, karena harus melayani tambahan setidaknya dua mahluk hidup yang tak tahu diuntung.

Para anak tak mau kalah, mereka menjerit di media social: "Ibu guruuu, masuk sekolah lagi dong, kami nggak mau belajar di rumah, sebab ibu kami ternyata lebih galak jika jadi guru." Sebagian lagi menulis, "Baru tahu, ternyata ibuku nggak berbakat jadi guru." Bayangkan betapa tidak sopannya para anak tersebut, sebelas dua belas dengan para ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun