Sekelompok bapak-bapak, yang terdiri dari ayah-ayah muda belia di sebuah pemukiman baru di Tangerang sedang menjalani kewajiban jaga malam bersama, biasa disebut siskamling. Tentunya hampir setiap orang paham belaka, bahwa menjaga keamanan lingkungan yang dilakukan para warga secara swadaya di pemukiman yang masih baru, nyaris sama dengan melakukan kerja bakti pada hari minggu, juga di pemukiman yang masih baru. Paling satu dua orang saja yang bekerja dengan serius, sisanya hanya menjadi pengawas dan pemerhati saja.
Sambil berbual-bual bercerita kian kemari, tak sedikit juga yang bercengkerama atau bercanda seperti anak kelas satu SD. Satu dua orang yang agak cerdik, membawa peralatan kerja yang rawan patah atau tumpul. Jadi jika pada sepuluh menit pertama, alat kerjanya: bisa cangkul atau golok mengalami patah mematah, maka kegiatan kaum cerdik pandai tersebut sampai habis waktu kerja bakti tiada lain dari sibuk memperbaiki perkakas usang yang dibawanya tadi. Â Itulah arti penting kegiatan kerja bakti bagi para warga.
Alkisah, semangat menjaga keamanan lingkungan secara swadaya, pun mengacu kepada semangat kerja bakti tersebut, yang biasanya hanya dilakukan pada malam-malam libur mingguan atau malam libur nasional, di mana pada malam lainnya keamanan lingkungan diserahkan kepada petugas satpam, yang mendapat kesempatan libur pada malam minggu dan malam libur nasional tersebut.Â
Namun, untuk kegiatan siskamling pada malam libur tersebut, terdapat suatu perbedaan khusus dibandingkan pada malam-malam libur lain pada umumnya. Perbedaan tersebut terjadi karena beberapa hari sebelumnya, salah seorang wanita warga perumahan telah meninggal dunia pada saat tengah berjuang melahirkan anak pertamanya. Alhamdulillah bayinya dapat diselamatkan, namun takdir mengatakan lain untuk sang ibu, beliau gugur sebagai pahlawan kehidupan.Â
Celakanya, para bapak-bapak muda ini, kendati pun di masa mudanya dididik dengan pendidikan modern, pada masa kecilnya dijejali legenda lokal yang mungkin si pembuat legenda pun berjenis kelamin pria, sehingga dengan enteng mengisahkan kepada rakyat pada masanya bahwa seorang ibu yang meninggal saat melahirkan, akan mati penasaran lalu arwahnya menjelma menjadi "kuntilanak".Â
Sungguh pembuat legenda yang tak tahu diri, dan bukan tak mungkin jika yang membuat legenda adalah kaum perempuan, bisa dipastikan mereka pun akan berkisah bahwa seorang bapak yang meninggal saat sedang bekerja, akan mati penasaran dan arwahnya menjadi "kuntilanak pria".Â
Akibat adanya kepercayaan terhadap legenda tersebut, kegiatan menjaga siskamling menjadi kegiatan yang mencekam, dan menakutkan. Akhirnya belum lewat jam dua belas malam, para bapak dan ayah muda yang penakut dan berpikiran terbelakang tersebut membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing, dengan tengkuk terasa berat dan berjalan tergesa-gesa. Sesampai di rumah, sang istri menyambut dengan riang gembira, tanpa perlu bertanya kenapa pulang lebih cepat dari biasanya.
Beberapa waktu lalu, dalam jagat perfilman Indonesia yang baru bangkit dari mati surinya bermunculan film-film nasional, yang sebagian besar bergenre horror. Terlepas dari minat penonton, yang berimbas kepada minat produser sebagai pemilik modal untuk memproduksi film, upaya tersebut semestinya harus diapresiasi, dari pada film nasional kita mati betulan. Namun yang sangat disayangkan, di antara film-film horror yang diproduksi, terdapat sebuat film dengan tema yang nyaris sama dengan tema "kuntilanak" tersebut di atas, yaitu film dengan tema "suster ngesot".
Terlepas dari sejarahnya sehingga terlahir dua versi "suster ngesot", di mana versi pertama menceritakan suster ngesot merupakan arwah penasaran karena meninggal setelah dilecehkan dan dibunuh secara brutal saat sedang bertugas jaga malam hari di rumah sakit oleh seorang penjahat, dan versi yang kedua merupakan arwah penasaran suster Belanda yang membunuh para lansia yang dirawatnya dengan alasan membalas dendam kemudian dirinya dibunuh oleh massa, tetap saja dua-duanya kurang ajar.Â
Mengapa demikian? Karena profesi sebagai suster/perawat merupakan profesi yang mulia. Tidak semua orang bersedia menjadi suster, apalagi jika individu tersebut tidak memiliki jiwa atau sifat yang bersedia melayani sesama, bahkan sesama yang dalam keadaan sakit atau tidak berdaya.Â
Nyaris tak ada indahnya sama sekali, karena mereka harus memandikan, menyuapi, bahkan membantu pasien di toilet yang mana orang yang dibantunya tidak dikenal bahkan tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Sedangkan orang lain pada umumnya, jika harus mengurus orang sakit, baru bisa agak serius apabila orang yang sakit memiliki hubungan saudara atau setidaknya hubungan pertemanan.