Sebab di benaknya sebagian lagi dipakai untuk memikirkan jalinan kata demi kata, untuk menyusun kalimat demi mengembangkan pokok pikiran yang didapatnya siang hari. Â Begitu istrinya lelah, ia akan mengetik sehalaman dua artikel. Â Baru kemudian tidur dengan perasaan lega, mendengar dapat ilmu, menulis mendapat kepuasan batin dan rasa lega sudah berbicara.Â
Dahulu kala di warung kopi, di kampung sang pria yang sudah paham seluk beluk komunikasi tadi, selalu ada sesesorang yang menjadi tokoh yang getol berbicara. Â Ia biasanya sangat disukai dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Â Segala cerita baik yang benar atau pun tidak, baik yang serius maupun tidak, senantiasa mengalir dari mulutnya. Â
Nyaris setiap hari ia datang ke warung kopi, berbual-bual hingga senja hari. Â Namun tak satupun orang yang tak suka kepadanya, semuanya menerima kehadirannya sebagai pelengkap di warung kopi. Â Entahlah saat ini, masih adakah tipe orang yang demikian atau tidak, sebab konsep warung kopi di kota, berbeda dengan di kampung.
Komunikasi
Berkomunikasi pada prinsipnya adalah kegiatan menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan dengan tujuan-tujuan tertentu, dengan mengharapkan umpan balik. Â Pada saat saat komunikator menyampaikan, komunikan mendengarkan. Â
Jika ada efek, maka komunikan menyampaikan umpan balik dan pada saat itu pula serta merta sang komunikan berubah menjadi komunikator. Demikianlah seterusnya, dan komunikasi tersebut dianggap sebagai komunikasi dua arah. Â Untuk saat ini jarang adanya terjadi komunikasi satu arah. Â
Sebab komunikasi satu arah biasanya hanya terjadi pada tahun pertama dan kedua sebuah perkawinan. Â Urutannya sebagai berikut: Â Pada tahun pertama perkawinan suami yang berbicara, dan istri mendengarkan. Â Pada tahun kedua perkawinan giliran istri bicara dan suami mendengarkan. Â Sedangkan pada tahun ketiga, suami dan istri saling bicara, dan tetangga yang mendengarkan.
Kendatipun komunikasi didefinisakan sebagai penyampaian pesan dengan tujuan tertentu, namun pada dasarnya komunikasi yang baik justru ada pada posisi di mana komunikator lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik, daripada sebagai pembicara yang nyinyir. Â
Misalnya, seorang pria diajak berbincang-bincang ngalor ngidul oleh seseorang, dan pada saat percakapan  sang pria yang diajak berbincang-bincang tadi lebih banyak mendengarkan, menyimak dengan seksama, menanggapi di mana perlu lalu tertawa-tawa gembira, maka dapat dipastikan sang pria tadi dianggap oleh si pengajak sebagai orang yang hebat komunikasinya. Â
Tak peduli sebetulnya sang pria bosan tak alang kepalang, hanya saja kebetulan dulunya ia pernah dididik tentang komunikasi yang baik, maka sejatinya ia jadi korban pendidikan.
Di samping itu, dalam berkomunikasi jika kita lebih banyak mendengar pada hakekatnya kita lebih banyak mendapatkan ilmu, karena siapa tahu lawan bicara kita berbicara tentang sesuatu yang dimiliki olehnya dan tidak kita miliki. Â