Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Sudah Kaya, Jangan Lagi Serakah

19 Februari 2020   22:23 Diperbarui: 19 Februari 2020   22:41 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pexels.com

Dalam sebuah kesempatan menggunakan angkutan kota di Cileungsi, seorang pria paruh baya pekerja kelas menengah menumpang  bersama dengan lima orang lainnya. Dua penumpang pertama turun, sang sopir menolak ongkos yang disodorkan kedua penumpang tersebut. Sang pria berpikir, mungkin karena tak ada kembaliannya, karena kedua penumpang tersebut masing-masing menyodorkan uang lima puluh ribuan, untuk ongkos yang hanya lima ribu rupiah per orangnya. 

Kedua penumpang pun bingung bukan kepalang, terlihat dari raut wajahnya yang terheran-heran seperti orang habis melihat ayam mengendarai kuda.  Tiga penumpang lagi turun, dan sang sopir menolak, kali ini karena kebetulan yang menumpang terdiri dari dua anak sekolah dan satu remaja pengangguran, mereka berterima kasih dengan ceria dan turun dengan riang gembira.

Saking penasarannya, sang pria yang kebetulan duduk di sebelah sopir tak tahan untuk berdiam diri dan menduga-duga, lalu menanyakan ada apakah gerangan sehingga sang sopir begitu murah hatinya menolak ongkos lima orang penumpang yang jika ditotal semuanya berjumlah dua puluh lima ribu rupiah.  Jumlah yang jika dibelikan sebungkus rokok oleh si sopir, masih sisa lima ribu rupiah dan jika dibelikan sekilogram telur anak dan istri di rumahnya tak akan kekurangan gizi.  

Dengan santai sang sopir menjawab, "Tadi ada penumpang yang membayar dengan uang seratus ribuan, dan menolak kembaliannya. Padahal ongkos angkot kan hanya lima ribu rupiah."

Di tengah keterkejutannya, sang pria menyambung, "Tapi dek, saya di Tangerang cukup kaya, jadi saya tetap akan membayar ya?!" Sang pria merasa tak enak hati, karena menurutnya uang sejumlah sembilan puluh lima ribu rupiah, bukanlah jumlah yang cukup besar untuk zaman sekarang, apalagi Cileungsi kan merupakan daerah pinggiran ibukota. 

"Maaf pak, bapak boleh saja kaya raya di tempat bapak, tapi di sini bapak tamu saya, jadi bapak tetap saya gratiskan juga, karena saya diajarkan untuk memuliakan tamu...", sang sopir menjawab sambil cengengesan.  Sang pria mati angin, tak tahu mesti berkata apa, dan turun dengan keharuan yang tiada terperi.

Masih pengalaman si pria paruh baya juga, suatu hari di pasar tradisional yang  buka hanya seminggu dua kali, di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya Kutoarjo, ia melihat seorang lelaki tua, berusia kurang lebih enam puluh lima tahunan sedang berjualan nangka muda yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Tak ada barang dagangan lain kecuali tumpukan nangka muda tadi.

Dengan standar harga kota, sang pria kaget bukan kepalang ketika bertanya berapa harga semua nangka tersebut jika laku semua, ternyata hanya lima puluh ribu rupiah. Merasa ingin menyenangkan hati sang kakek penjual nangka, si pria paruh baya tadi menyatakan ingin membeli semua nangka yang dijual, dengan harapan sang kakek bisa segera pulang ke rumah dan bermain bersama anak atau cucunya.  

Namun apa yang terjadi, sang kakek menolak menjual semua barang dagangannya kepada satu orang saja, dengan alasan; jika dibeli oleh satu orang, nanti kasihan sama pembeli lain yang ingin membeli nangka yang sudah dikupas. Jika ingin membeli dalam jumlah besar, beli saja di tukang nangka yang menjual dalam bentuk utuh, belum dikupas. Harganya pun bisa lebih murah, demikian anjuran sang kakek.     

Di peristiwa lainnya, tatkala terjadi pemadaman listrik di hampir seantero pulau Jawa beberapa waktu lalu.  Tersebutlah seorang ayah bersama putri remajanya, yang sedang berjalan keliling kampung di Tangerang mengisi waktu libur mingguannya. Sekira jam dua belas siang, sang ayah mendapat informasi bahwa listrik yang padam akan berlanjut setidaknya dua puluh empat jam ke depan. Itu artinya nanti malam mereka akan kegelapan karena tiada penerangan. 

Sang ayah berinisiatif mampir ke toko kelontong, untuk membeli lilin guna penerangan malam harinya, sambil menginformasikan kepada anaknya, bahwa berdasarkan informasi resmi pemadaman akan terjadi minimal dua puluh empat jam ke depan.   Sesuai berita tersebut, sang ayah berencana membeli setidaknya sekotak lilin berisi sepuluh batang. 

Namun apa kata sang anak, "Jangan ayaah, kekuatan lilin menyala kan selama enam jam, jadi dua batang saja sudah berlebihan. Kalau kita beli banyak-banyak, kasihan nanti akan ada orang yang tidak kebagian, apalagi warung ini juga persediaan lilinnya pasti tak banyak." Sang ayah tersentak, dan serta merta merasa ingin memeluk sang istri yang telah memberinya putri yang memiliki tenggang rasa tinggi. 

Namun ternyata, begitu tiba di rumah, bukan pujian yang didapat, melainkan omelan sang istri; "Bagaimana sih? Masak beli lilin hanya dua, padahal sudah tahu listrik akan padam sampai besok siang." Sang ayah bertukar pandang dengan sang anak, dan kemudian keduanya berdiam diri seperti ular pyton baru selesai berbuka puasa.

Berdasarkan ilustrasi di atas, menggambarkan betapa individu-individu yang terlibat merupakan pribadi-pribadi yang tidak memikirkan dirinya sendiri.  Mereka ingin berbagi barang miliknya kendatipun barang tersebut besar artinya bagi dirinya, namun mungkin tidak begitu berarti bagi orang lain.  

Bayangkan, seorang sopir angkot, mendermakan uang tiga puluh ribu miliknya kepada enam orang penumpangnya, yang bukan tak mungkin kehidupannya jauh lebih baik dari sopir angkot itu sendiri, hanya karena ia baru saja menerima sedekah sejumlah sembilan puluh lima ribu dari orang tak dikenal. Artinya dari uang sembilan puluh lima ribu yang seharusnya utuh menjadi miliknya, harus dikurangi tiga puluh ribu rupiah yang dibagi kepada enam orang penumpang lain.  Dan ia ikhlas seikhlas ikhlasnya.

Dan bayangkan, seorang kakek penjual nangka, yang seharusnya menerima seluruh hasil penjualan pada saat baru beberapa menit menggelar dagangan, namun ia memilih menunggu entah sampai kapan, untuk menjual barang dagangannya kepada yang lebih membutuhkan, dengan hasil serupa apabila ia menjual secara sekaligus pada saat ditawar pertama kali tadi. Demikian juga dengan si anak, yang rela membeli dua batang lilin, padahal ia bisa membeli sepuluh bahkan dua puluh lilin sekaligus, karena orang lain belum mendapat informasi untuk menyiapkan lilin sedini mungkin.

Keserakahan

Keserakahan, sering juga disebut dengan ketamakan.  Pada umumnya diartikan sebagai keinginan yang sangat besar untuk memiliki kekayaan, barang atau benda, baik yang bernilai maupun tidak bernilai dengan maksud menyimpannya untuk dirinya sendiri, jauh melebihi kenyamanan dan kebutuhan dasar untuk hidup yang berlaku pada umumnya. Pengertian ini diterapkan kepada keinginan yang besar dan mencolok dalam upaya mengejar kekayaan, status social maupun kekuasaan.

Dalam ilmu psikologi keserakahan acapkali digambarkan sebagai jurang tanpa dasar yang menguras energi seseorang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi satu kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan. Egoisme juga dipandang sebagai satu jenis keserakahan. Orang yang serakah adalah budak dari hasrat atau gairahnya, aktivitasnya dalam kenyataannya adalah pasif karena ia dikendalikan;  orang tersebut adalah si penderita, bukan actor.  

Iri hati, kecemburuan, ambisius, dan semua jenis keserakahan adalah hasrat; sebaliknya cinta kasih adalah suatu aktivitas atau tindakan, suatu praktek kekuatan manusia yang mana hanya dapat dipraktekkan dalam kebebasan dan tidak pernah sebagai akibat dari paksaan.  Dalam artian, cinta kasih tak dapat dipaksakan, dan orang yang mencintai sesama tak segan untuk berbagi, berbeda dengan orang yang serakah.

Sementara ajaran agama menganggap, bahwa keserakahan merupakan cinta yang tidak wajar terhadap harta dunia, sedangkan harta dunia hanyalah titipan yang Maha Kuasa, yang setiap saat dapat diambil kembali olehnya. Maka dari itu, agama apapun melarang adanya sifat serakah, karena sifat tersebut menjauhkan diri dari keinginan untuk berbagi kepada sesama. 

Sifat serakah pada umumnya, terjadi apabila seseorang ingin memenuhi keinginannya, sebab keinginan seseorang tiada berbatas. Berbeda dengan kebutuhan, yang jelas tampak batas-batasnya. Namun kadangkala seseorang mengalami kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan, sebab saking hebatnya para pedagang, membuat seolah-olah keinginan seseorang sudah merupakan kebutuhan. 

Akibatnya kian hari, semakin bertambah orang yang ingin memuaskan segala keinginannya yang acapkali pula keinginan tersebut menggilas kebutuhan orang lain. Bayangkan jika dalam kasus listrik padam, setiap rumah berlomba-lomba membeli lilin sebanyak sepuluh batang, sementara kebutuhan akan lilin cukup dua batanng saja, maka dapat dipastikan sebagian besar penduduk kampung lainnya tak akan kebagian lilin kendatipun hanya satu batang saja.

Oleh sebab itu, keserakahan pada umumnya hanya menimpa orang-orang yang sudah kaya atau hidup berkecukupan.  Rasa ingin berbaginya menghilang entah ke mana.  Tombol di kalkulatornya pun, konon sudah kehilangan lambang "bagi" dan lambang "kurang", yang masih lestari lambang "perkalian" dan lambang "penambah". 

Lihatlah orang yang kaya, mereka acapkali menimbun harta, jika pun harus memberi, maka prosentase pemberiannya jauh di bawah harta benda yang dimilikinya.  Bandingkan dengan orang yang tak berpunya, bisa jadi apa yang didapatnya akan dibagi habis kepada orang yang lebih membutuhkan.  Lihatlah sopir angkot pahlawan kita di atas, mendapat sembilan puluh ribu, mendermakan tiga puluh ribu. 

Persis seperti kata filsuf Konfisius, "Apabila engkau mendapatkan harta, maka berikanlah sepertiga bagiannya kepada orang yang lebih membutuhkan."

Dan kini, kadangkala kita lupa, harta yang kita dapat senantiasa akan kita kuasai sepenuhnya.  Dalam dunia politik pun demikian, jika kita sudah mendapatkan tampuk kekuasaan, maka kekuasaan tersebut akan kita pertahankan sampai mati, setidaknya akan kita pertahankan mati-matian.

Tangerang, 19 Februari 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun