Akibatnya kian hari, semakin bertambah orang yang ingin memuaskan segala keinginannya yang acapkali pula keinginan tersebut menggilas kebutuhan orang lain. Bayangkan jika dalam kasus listrik padam, setiap rumah berlomba-lomba membeli lilin sebanyak sepuluh batang, sementara kebutuhan akan lilin cukup dua batanng saja, maka dapat dipastikan sebagian besar penduduk kampung lainnya tak akan kebagian lilin kendatipun hanya satu batang saja.
Oleh sebab itu, keserakahan pada umumnya hanya menimpa orang-orang yang sudah kaya atau hidup berkecukupan. Â Rasa ingin berbaginya menghilang entah ke mana. Â Tombol di kalkulatornya pun, konon sudah kehilangan lambang "bagi" dan lambang "kurang", yang masih lestari lambang "perkalian" dan lambang "penambah".Â
Lihatlah orang yang kaya, mereka acapkali menimbun harta, jika pun harus memberi, maka prosentase pemberiannya jauh di bawah harta benda yang dimilikinya. Â Bandingkan dengan orang yang tak berpunya, bisa jadi apa yang didapatnya akan dibagi habis kepada orang yang lebih membutuhkan. Â Lihatlah sopir angkot pahlawan kita di atas, mendapat sembilan puluh ribu, mendermakan tiga puluh ribu.Â
Persis seperti kata filsuf Konfisius, "Apabila engkau mendapatkan harta, maka berikanlah sepertiga bagiannya kepada orang yang lebih membutuhkan."
Dan kini, kadangkala kita lupa, harta yang kita dapat senantiasa akan kita kuasai sepenuhnya. Â Dalam dunia politik pun demikian, jika kita sudah mendapatkan tampuk kekuasaan, maka kekuasaan tersebut akan kita pertahankan sampai mati, setidaknya akan kita pertahankan mati-matian.
Tangerang, 19 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H