Desa Kedung Ombo, 1985. Hari-hari di tahun tersebut bukan saja menjadi hari yang paling sibuk bagi mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, namun juga jadi hari paling emosional bagi ribuan kepala keluarga, atas wacana penggusuran tempat tinggal mereka oleh pemerintah untuk pembangunan waduk.Â
Pemerintah dalam hal ini adalah pihak yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas pembangunan yang dilakukan. (baca: Tirto.id) Alangkah kepalang, boro-boro untuk ganti rugi, pembicaraan pun tak kunjung disampaikan kepada mereka yang akan tergusur, di sisi lain pemerintah daerah sudah main pasang harga untuk tanah yang hendak dilakukan pembangunan -- yang pastinya memakan korban, ribuan kepala keluarga harus rela pindah dari tempat yang bertahun-tahun telah mendewasakan mereka.Â
1986 silam, menyebrang sejenak ke Pulau Sumatra. Seluas 20 ribu hektar lahan dilepaskan oleh pemerintah untuk diberikan hak guna usaha (HGU) kepada PT Bangun Desa Utama (PT BDU), salah satu perusahaan kelapa sawit di Jambi, yang belakangan berganti nama menjadi PT Berkat Sawit Utama.Â
Di dekat tanah tersebut, sekitar 3.550 hektar lahan merupakan kepemilikan masyarakat Suku Anak Dalam yang tak lama setelahnya dilakukan penggusuran. (baca: CNN Indonesia) Tak kunjung selesainya kasus ini membuat masyarakat setempat mengadakan aksi berjalan kaki hingga Jakarta, pada tahun 2019 lalu untuk menuntut keadilan.
Dua kasus di atas adalah realitas sosial yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Kasus tersebut hanya sedikit contoh dari banyaknya pelik yang dihadapi masyarakat pada era terdahulu. Meski dianggap riskan, pelik ini tidak melulu mematikan upaya rakyat untuk bersuara -- walaupun sejarah membuktikan kalau memang kemerdekaan aspiratif dibungkam.Â
Wiji Thukul adalah seorang yang cukup vokal untuk bersuara di masa itu. Thukul, salah satu penyair yang keberadaannya dianggap mengancam eksistensi pemerintah pada masa itu, turut menyuarakan mengenai kasus penggusuran. Bunga dan Tembok adalah salah satu puisinya yang membicarakan tentang hal ini. Ia menganalogikan nomina bunga dan tembok untuk mengiaskan masyarakat dan pemerintah.Â
Si Penyair Pelo, begitu julukan penyair yang kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan wong cilik. Thukul lahir di Solo, 26 Agustus 1963.
Sejak kecil, sosok Thukul dikenal oleh orang-orang di sekitarnya sebagai seorang yang berjiwa seni. Pada tahun 1977, ketika masih duduk di kelas satu di SMP Negeri 8 Solo, ia aktif menjadi anggota kor kapel di gereja tempatnya biasa beribadah. Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, menuturkan bahwa kakaknya selalu berangkat lebih pagi ke gereja setiap mendapat giliran menyanyi di kor.Â
Jiwa sosial juga lekat pada diri Thukul. Pada tahun 1994, ia bersama rekan-rekan senimannya mendirikan organisasi jaringan kesenian bernama Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat). Organisasi yang berpihak kepada rakyat dalam upaya penyelesaian permasalahan sosial ini, dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antarseniman sebagai upaya menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung tindakan represif pemerintah.Â
Meskipun beberapa tahun kemudian, tepatnya pada April 1996, Semsar, Moelyono, dan Hilmar -- rekan-rekan Thukul yang turut mendirikan Jaker, memutuskan untuk tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker, setelah keputusan sepihak dari Thukul yang memasukkan Jaker pada afiliasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), yaitu partai di mana Thukul bergabung di dalamnya setelah terjun ke dunia politik praktis.Â
Â
BUNGA DAN TEMBOK MILIK THUKUL
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Begitulah Thukul mengawali puisi Bunga dan Tembok. Bait ini merepresentasikan kondisi yang telah dijabarkan di muka. Perampasan tanah atau dalam hal ini disamakan dengan penggusuran adalah fenomena yang terjadi di masa puisi ini diciptakan, yaitu sekitar 1987-1988.Â
Tepat di masa ini juga pemerintah yang diwakilkan oleh Kabinet Pembangunan IV dan V melaksanakan program pembangunan lima tahun (Pelita) IV, yang salah satu fokusnya adalah meningkatkan pembangunan sektor industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.Â
Dua kasus yang telah disebutkan di awal, intriknya masih berlangsung pada tahun tersebut. Gencarnya pemerintah untuk melakukan pembangunan pada masa Orde Baru berujung pada langkah perampasan tanah milik rakyat. Tanah-tanah ini yang kemudian dijadikan lahan industri, yang katanya "akan kembali juga kok pada rakyat". Kondisi ini yang kemudian dipotret oleh Thukul dalam bait pertama Bunga dan Tembok, yang kemudian dilanjutkannya sebagai berikut..
Â
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Nomina bunga yang menganalogikan rakyat dipandang Thukul sebagai sesuatu yang tidak menjadi prioritas pemerintah. Usaha yang sering kali digaungkan pemerintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat tampaknya tidak tercapai bagi Thukul, melainkan sebaliknya -- menjadikan rakyat sebagai korban kepentingan berlatar pembangunan.Â
Seperti yang direpresentasikan dalam bait kedua, yaitu tertuju pada pemerintah yang lebih suka membangun jalan, daripada menaruh atensi terhadap kepentingan rakyat.
Hal ini dipertajam lagi melalui bait ketiga, yang salah satu lariknya bertulis kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri. Larik ini merupakan bentuk representasi kondisi rakyat yang termarginalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan tak jarang sering mendapat kriminalisasi.Â
Melipir kembali ke pulau Jawa, Suhdin, salah satu petani di Badega, Garut harus rela dipenjara selama tujuh bulan ketika memperjuangkan legalitas tanahnya pada tahun 1987 (baca: Merdeka.com). Realita ini merupakan contoh interpretasi bunga yang dirontokkan; rakyat yang disisihkan juga dikriminalisasi.Â
Â
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Rakyat kecil serupa bunga digambarkan tersisih oleh tembok yang menghalanginya tumbuh di tanah; hidup di tanah air sendiri. Perlawanan rakyat sering kali dianggap sebagai subversi, pemerintah juga tak jarang turut mendiskriminasi. Pelayanan masyarakat umumnya untuk semua, padahal kenyataan di lapangan hanya kroni yang merasakannya.Â
Thukul bukan saja mendayu-dayu meminta belas kasih lewat puisinya, diungkapkan pula olehnya perlawanan rakyat untuk pemerintah, dalam upaya mendapat keadilan -- walau nyatanya ini adalah proses panjang yang tidak bisa dilakukan sendiri. Thukul menebar benih, dengan nada harapan bahwa perjuangannya tetap tersambung di masa depan, untuk menghancurkan tindakan yang tak berasas kemanusiaan.
Â
Dalam keyakinan kami
Di manapun -- tirani harus tumbang!
Sampai pada bait terakhir, puisi ini kokoh berpihak pada rakyat untuk mengambil peran dalam perjuangan. Subjek lirik yang diwakilkan oleh bunga, mengandung lirih rakyat kecil di masa itu.Â
Secara umum, Thukul membuat puisi ini dengan pilihan kata yang sederhana, hal ini memungkinkan siapa saja yang membaca, dapat mengerti maksud yang hendak disampaikan penyair.Â
Benar jika dikatakan puisi adalah refleksi dari fenomena sosial, Bunga dan Tembok buktinya. Meskipun hadir dengan bahasa konotatif, puisi ini tetaplah membuktikan peristiwa-peristiwa yang memang nyata di dunia kita, yang nyata nan semu ini. Â
23 Juli 1998, Wiji Thukul tidak lagi menampakkan dirinya ke ruang publik. Hingga kini ia menghilang -- kabarnya sengaja dihilangkan oleh rezim karena aktivitas seni yang dilakukannya.Â
Thukul melalui puisinya bukan saja menumbuhkan minat literasi sejarah yang pelik di masa silam, namun mendorong semangat pembaca untuk menyambung pergerakan. Jika ada acara seremonial khususnya, mari sambut Wiji Thukul sebagai penyambung pergerakan, meski saat ini entah di mana keberadaannya. (@tokads)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H