Â
BUNGA DAN TEMBOK MILIK THUKUL
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Begitulah Thukul mengawali puisi Bunga dan Tembok. Bait ini merepresentasikan kondisi yang telah dijabarkan di muka. Perampasan tanah atau dalam hal ini disamakan dengan penggusuran adalah fenomena yang terjadi di masa puisi ini diciptakan, yaitu sekitar 1987-1988.Â
Tepat di masa ini juga pemerintah yang diwakilkan oleh Kabinet Pembangunan IV dan V melaksanakan program pembangunan lima tahun (Pelita) IV, yang salah satu fokusnya adalah meningkatkan pembangunan sektor industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.Â
Dua kasus yang telah disebutkan di awal, intriknya masih berlangsung pada tahun tersebut. Gencarnya pemerintah untuk melakukan pembangunan pada masa Orde Baru berujung pada langkah perampasan tanah milik rakyat. Tanah-tanah ini yang kemudian dijadikan lahan industri, yang katanya "akan kembali juga kok pada rakyat". Kondisi ini yang kemudian dipotret oleh Thukul dalam bait pertama Bunga dan Tembok, yang kemudian dilanjutkannya sebagai berikut..
Â
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Nomina bunga yang menganalogikan rakyat dipandang Thukul sebagai sesuatu yang tidak menjadi prioritas pemerintah. Usaha yang sering kali digaungkan pemerintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat tampaknya tidak tercapai bagi Thukul, melainkan sebaliknya -- menjadikan rakyat sebagai korban kepentingan berlatar pembangunan.Â
Seperti yang direpresentasikan dalam bait kedua, yaitu tertuju pada pemerintah yang lebih suka membangun jalan, daripada menaruh atensi terhadap kepentingan rakyat.
Hal ini dipertajam lagi melalui bait ketiga, yang salah satu lariknya bertulis kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri. Larik ini merupakan bentuk representasi kondisi rakyat yang termarginalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan tak jarang sering mendapat kriminalisasi.Â