Bila ditanya hal apa yang paling dirindukan saat saya masih kecil adalah kumpul lengkap dengan semua saudara di rumah kakek dan nenek saya. Hal yang sangat susah sekali untuk terulang saat ini.
Keluarga besar ibu saya sebenarnya masih di dalam satu kota Surabaya. Ada satu tante saya di Bali, ada satu tante yang lain, tinggal di Gresik. Gak jauh memang dari Surabaya.
Namun, untuk bertemu dan berkumpul seperti dahulu lagi sangat susah. Terlepas sebelum pandemi pun juga begitu.
Jadi hal yang wajar jika saya sangat merindukan hal tersebut. Tepatnya tahun 90an akhir, terakhir kali kumpul untuk foto bersama.
Biasanya keluarga besar ibu saya kumpul tepat pada malam takbiran. Tepat pada pukul 7 malam.
Saat itu, semua keluarga berkumpul lengkap. Kita semua lalu duduk melingkar. Acara dimulai dengan doa dari kakek saya atau yang biasa saya sebut dengan sebutan Mbah Kung.
Sebutan ini merupakan sebutan yang jamak digunakan oleh keluarga jawa untuk kakek. Sedangkan nenek disebut dengan Mbah Uti, namun saya terbiasa panggil Mbah Ti (selain karena nama nenek adalah Murti).
Usai berdoa, kakek dan nenek saya beri "wejangan" alias pesan untuk semua anak cucunya. Di momen ini biasanya satu per satu orang akan dapat raportnya.
Misalnya, saya puasanya gak bolong, saya dapat bonus THR dari Mbah Kung saya. Jika tidak, ya Mbah Ti saya. Tapi jika saya nakal selama setahun, saya dapat bonus jewer. Mungkin itu alasannya telinga saya agak lebar.
Biasanya jika sudah ketahuan nakal, saudara yang lain langsung menyahuti "Huuuuu....." dengan lantang. Malunya minta ampun meskipun sama saudara sendiri.
Usai pembagian raport itu, bagi-bagi uang adalah momen yang paling ditunggu. Gak cuma dapat THR dari kakek dan nenek saja, semua om dan tante giliran kasih uang.
Saya juga kadang minta dari bapak dan ibu saya. Saking nakalnya jaman dahulu, jika saya diberi nominal uang yang sama dengan saudara sepupu saya, saya protes.
"Saya kan anak bapak dan ibu, masa sama seperti saudara yang lain. Gak sayang sama aku?," sambil saya memelas.
Cuma gitu aja? Bagi saya, setelah itu dengan saudara-saudara yang lain saling pamer uang baru. Bukan nominalnya yang dipamerin, tapi jumlah uang barunya.
Apalagi jika ada om dan tante kasih "angpao" dengan amplop atau dompet kecil yang menarik. Pasti akan jadi ajang pamer, punya saya amplopnya bagus, sedangkan yang lain pamer kepunyaannya.
Biasanya, sudah ada yang "unjung-unjung" alias keliling ke saudara atau tetangga yang lain. Karena itu, ada yang sudah dapat amplop sebelumnya.
Adat keluarga saya saat itu, setiap keluarga wajib bawa makanan masing-masing. Meskipun kakek dan nenek saya sudah masak banyak.
Namun, entah kenapa seringnya semua makanan itu habis tak bersisa. Kalaupun ada sisa sedikit, ya dibagi rata dibawa pulang om dan tante saya.
Selesai acara makan-makan, keluarga yang dewasa bagi tugas, ada yang cuci piring, ada pula yang bersih-bersih ruang tengah. Sedangkan anak-anak main bareng.
Tidak ada satu orang pun tertinggal atu dibiarkan sendirian. Pasti kakek saya akan duduk disebelahnya kalau sendirian.
Kalau sudah kakek saya yang duduk di sebelahnya, wah panjang urusannya. Kakek saya emang seneng dongen dan bercerita banyak hal, membuat saudara saya yang lain kadang merasa sudah bukan jamannya.
Gak jarang semua saudara, anak-anak maupun dewasa kumpul kembali di depan rumah. Entah itu main kembang api bareng ataupun mainan yang lain.
Pastinya seru. Apalagi main tekong-tekongan alias petak umpet. Kita harus bersembunyi, saat penjaganya mencari kita harus lari untuk menepuk dinding tempat si penjaga berjaga.
Selain itu, kadang mainan lompat tali. Biasanya saya dan saudara saling pamer trik dan skill bermain lompat tali. Mulai dari 'kayang' hingga 'gaya kupu-kupu'.
Awal tahun 2000an, semua itu hilang. Saudara sepupu saya, cucu tertua kakek dan nenek saya meninggal karena sakit. Nenek saya sangat terpukul dan bersedih, seminggu kemudian nenek saya menyusul berpulang.
Tahun depannya, giliran kakek saya usai jatuh dari kamar mandi. Saat itu saya masih sekolah SMA.
Tidak hanya itu saja, berikutnya bapak saya menyusul. Setahun setelah kepergian kakek saya. Saya sangat terpukul.
Beberapa tahun kemudian om dan pak dhe saya meninggal. Keluarga besar saya sangat kehilangan.
Alasan-alasan inilah yang membuat saya merindukan suasana seperti dulu lagi. Sesuatu yang tidak mungkin akan terulang, tidak ada kakek nenek, tidak ada saudara. Tidak ada bapak saya.
Jika bisa ditukarkan dengan uang, saya mau kembali ke masa lalu untuk merasakannya sekali lagi. Namun, waktu berjalan maju, saatnya untuk jalin kedekatan dengan keluarga baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H