“Bukan, Bu.” Bapak menjawab seketika menepis tanya ibu padahal melihat pun saja belum.
“Lagi pula untuk apa aku menyimpan masker warna perempuan begitu, merah jambu? Cucok nian jika aku yang pakai. Bapak sambil mempraktikkan dengan gaya kemayu. Bukankah masker milikku semua warna hitam? Itupun karyamu semua.” Jawaban Bapak tambah meyakinkan.
Dari balik kamar, Si Nanut berteriak.
“Itu milikku, milikku.” Nanut merebut masker yang ada pada genggaman ibunya.
“Itu masker milikku, Bu.” Ia mengulang kata-kata.
“Niam memberiku sewaktu kami bercerita, sebelum ia dijemput ayahnya, dan berkabar ibunya meninggal.” Nanut mematahkan rasa penasaran ibunya.
“Niam punya banyak masker yang dijahit ibunya dengan tulisan surgaku, Bu.” Nanut kemudian melanjutkan cerita kemarin yang sempat tertunda karena adiknya menangis.
Surga itu selalu bersamaku kata Niam menahan hampa sesak karena ibu yang ia cinta tak membersamai tepat dihari ulang tahunnya, kemarin. Sengaja sebungkus kado ia buka sebelum hari ulang tahun Niam. Ya, ia membukanya sebelum hari H itupun atas permintaan sang ibu via telepon. Kado tersebut dititipkan melalui ayah. Bungkusan warna biru dongker gambar mobil-mobilan berisi dua lusin masker warna merah jambu hasta karya ibu selama isolasi bertuliskan “Surgaku” dan surat singkat dari ibu, seolah sudah firasat.
“Ibu tidak pergi. Kamu adalah surga ibu, ibu adalah surgamu. Kelak kita akan bertemu dengan penuh rindu. Selamat hari ulang tahun surga ibu.”
Kata Niam, ia selalu dilindungi ibunya dengan selalu memakai masker ini. Virus covid tidak akan berani menyerang, Bu.