Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Riana

18 April 2024   23:57 Diperbarui: 18 April 2024   23:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Luar sore itu menangis, hujan menggenangi permukaan aspal. Kopi-kopi di meja kafe mendingin tak kunjung diminum. Warna-warni payung menghiasi jalan trotoar. Jas-jas hujan berkeliaran melawan arus hujan. Remang cahaya membias pada butiran air, yang membuat senja tampak elegan. Sayangnya hujan tak lagi menyimpan kerinduan dalam bola mata bocah-bocah. Semua manusia meringkuk di bawah naungan atap, kecuali mereka yang sengaja memadati jalanan untuk pulang. Punggung-punggung berbalik. Nuansa yang manis di tepian jembatan kota menjadi hal yang paling dirindukan, saat sepasang pemuda saling sandar membicarakan kesemuan masa depan. 

Hari itu, hujan membawa kabar duka bagi sebuah kota, meluluhlantahkan gedung dan bangunan-bangunan tua, menyapu bersih orang-orang yang ada di pusar jalan, meleburkan pasar dan pusat perbelanjaan. Gagang payung lepas dari genggaman tuannya. Cangkir-cangkir kopi pecah, seiring dengan ambruknya kafe yang menaungi. Waiters-waiters kalang-kabut, tunggang-langgang mencari pegangan agar tidak terseret banjir. Mayat-mayat hanyut, lalu tersangkut di tiang listrik yang roboh. 

Seorang Pelacur meratap mencari bantuan di hotel teratas, ia menjerit, memohon pertolongan kepada Tuhan yang telah lama dilupakan. 

Sungai-sungai yang semula dipenuhi dengan sampah membuat banjir bandang yang tak pernah diinginkan mereka itu terjadi. Kabar duka mengalir sederas air. Keluarga tak lagi lengkap. Sementara Pelacur itu, pasrah dengan takdir menunggu penyelamat membenarkan lift hotel yang rusak. 

Di bening bola matanya sendiri, ia menyaksikan musibah itu. Ia meraung-raung bukan karena kesakitan, namun penuh  dengan ketakutan. Yang ada di dalam benaknya, jika ia mati, siapakah yang akan menanggung dosa berzinanya dengan orang-orang berdasi selama ini? Ia tak tahu, akan mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri, atau menenggelamkan diri. Orang  yang dikencaninya jatuh pingsan beberapa menit lalu karena tak tahan melihat keadaan di luar sana yang dipenuhi dengan pengakhiran. Ia aman. Ya, ia aman namun jiwanya tak tentram. 

Satu bulan pasca musibah banjir bandang, ketika rakyat masih berebut makan di tenda-tenda pengungsian, Timsar masih mencari mayat-mayat dalam lumpur, ia memutuskan pergi. Merantau ke Kota Dalam, menutup masa lalu kelamnya, menyembunyikan riwayat hidupnya. Ia menghapus rekaman jejak dalam ingatannya tentang semua orang yang telah menidurinya, bahkan ia sangat bersyukur media masa mengabarkan diri mereka hilang. Mulai waktu itu, ia ingin mempercayakan hidupya kepada hati nurani, bukan nafsu duniawi. 

Di Kota Dalam ia tinggal di rumah kontrakan sederhana. Setiap Minggu, ia aktif beribadah dan berdoa di Gereja, sementara kebutuhan hidup sehari-harinya ia mengandalkan pekerjaannya sebagai Kurir Penjualan Barang Online. 

***

Pagi ini, Riana mengepak barang yang akan dikirim ke konsumen, beberapa produk kecantikan dan pakaian gamis syar'i. Ia memasukkannya ke dalam kardus yang proporsional. Melapisi permukaannya dengan lakban kuning, kemudian membawanya ke Kantor Pos. Begitulah pekerjaan Riana sehari-hari selain mendapatkan komplain dari konsumen mengenai paket yang tak kunjung datang, atau paket yang cacat ini dan itu. 

Ia selalu berpikir rasional, bahwa paket di negara ini tidak hanya untuk satu orang, maka pending ke alamat tujuan merupakan hal yang wajar, sementara mengenai isi brang yang tak sesuai dengan keinginan konsumen, ia serahkan sepenuhnya kepada pencipta alam. Lantas baginya sendiri, pekerjaan diomeli dan dibom dengan pesan-pesan tak sabaran itu merupakan anugerah.  

Di Kota Dalam, Riana terkenal sebagai Seorang kurir yang ramah dan baik hati dalam melayani konsumen-konsumennya, ia juga sering mendapatkan reward dari atasan. 

Bagi Riana, melayani pembeli, tak jauh berbeda dengan kisahnya lampau lalu, sebelum banjir besar-besaran mengilhami kesadarannya. Ia sering mendengar obrolan sembarang dari beberapa lelaki yang mengajaknya kencan, "istriku baik hati dan penurut jika kantongku penuh dengan dompet, kadang aku korupsi karena itu, selain juga karena nafsuku yang tak tahan melihat godaan dari mata-mata rupiah dan wanita-wanita." 

Kisah mereka, di lain waktu pindah pada keluhan yang datar. "Aku malu pulang menemui istriku karena tak membawa banyak uang, sementara diriku sudah tak tahan melawan... maka kupinang..." sambil tersendat-sendat mereka mengungkapkan, kalimat-kalimatnya sering menggantung, atau bisa juga menjadi sebuah pertanyaan retorik. 

Riana akan diam beribu bahasa, ia menyelami dan melakukan pekerjaannya dengan baik, jika perlu mendengarkan kisah mereka maka akan didengarkan, asalkan sewanya bertambah. Telinganya ditegakkan untuk mendengarkan curahan batin apa saja, tanpa meresponnya kecuali, 'Oh ya? Oh my God! Aku tak pernah tahu kehidupan orang-orang penting, bagiku semuanya tak penting! Mengeluh adalah hal yang manusiawi, tak mengapa Anda mengeluh, semuanya akan selalu seperti itu jika tidak segera diatasi."  

Adanya wanita yang bekerja sebagai pelacur, justru seperti sebuah buku diary yang siap ditumpahi tinta merah dari penulisnya. "Aku bingung bagaimana mengembalikan citra diriku di mata publik, kasus narkoba membuatku muak! Kau tahu? Padahal beberapa orang kepercayaanku sudah kusumpal dengan uang untuk merahasiakannya, tetap saja narkoba di gudangku terendus." Bagi Riana suara-suara itu tidak menguntungkan baginya. Ia juga tak mempunyai nyali kuat untuk merekam setiap inci huruf yang dikeluarkan lalu dilaporkan ke pihak berwenang. 

Sekelompok manusia cenderung menyukai pakaian-pakaian ketat dan seksi, itu artinya sosok yang tergambar adalah manusia yang gemar menonjolkan dirinya. Produk kecantikan yang harganya mahal dan jelas-jelas sudah diketahui kandungan buruknya tetap dipinang, atas dasar memenuhi penampilan. Ada pula konsumen yang menjadi langganan produk tas-tas terbaru, seolah-olah ia tak ingin ketinggalan. Riana selalu bertanya-tanya untuk apa semua itu? 

Bagi Riana, orang awam yang mulia tak perlu belanja banyak barang sebagai gaya-gayaan, tampillah secukupnya yang rapi dan elegan, tanpa harus membubadzirkan uang-uang. Kadang ia menimbang data statistik pembeli dengan tingkat kemiskinan di pelosok-pelosok negeri. Yang bersembunyi di balik rerimbunan hutan dan luasnya lahan, hanya meratap, memimpikan keindahan kota metropolitan, bisa juga mereka tak paham transaksi jual beli online, yang terpenting besok ada beras dan lauk di meja makan.

Beda cerita jika mereka bekerja sebagai pelacur, fashion dan performance fisik merupakan daya tarik sendiri dalam melayani pacar-pacar sesaatnya. Dahulu, riasan wajah Riana tebal dan menor, parfumenya menyengat ke penjuru ruangan. Lain cerita pada tahun itu, ia cukup mandi tiga kali sehari dan melumasi tubuhnya dengan handbody.  

Di sebuah halte ketika Riana pulang dari Kantor Pos, ia bertemu dengan seorang pria. Ia memakai ransel besar dengan jaket tebal yang entah apa isinya. Telapak kakinya dibungkus sepatu boot sementara kedua matanya dilindungi dengan lensa. Ada arloji mewah yang melingkar di lengan kirinya. 

Riana singgah di halte tersebut, berteduh dari reruntuhan air langit yang mengamuk. Jalanan dipenuhi dengan riak-riak air, roda dua menabrak genangan air, terciptalah ombak daratan yang berhamburan sesaat di udara. Riana tak membawa jas hujan, sepeda motor inventarisnya diparkir di tepi halte. Pria itu menjabat tangannya. 

"Aland, kau mau ke mana?" tanpa basa-basi pria itu memperkenalkan diri dan menaruh simpati pada Riana. 

"Pulang."

Riana menatap titik-titik air hujan yang menetas dari langit, ia diam menyelami waktunya dan kesendiriannya. Ada orang yang berteduh dan menunggu bus Kota Dalam di sana, kesemuanya sibuk menatap layar ponsel, kecuali Riana, yang justru menenggelamkan pikirannya pada tragedi setahun silam. Ia tidak pedih seperti korban banjir lainnya, sebab ia merasa tak memiliki sanak keluarga, dari umurnya lima tahun, ia sudah tinggal di Panti Asuhan Kristen dengan belbagai peraturan yang membuat kepalanya pening. Ia tak tahu siapa ayah dan ibunya, pergi ke manakah mereka, ia juga tak ingin tahu. Siapa yang melahirkannya lantas tega meninggalkannya? Ia mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang baginya tidak memiliki jawaban tersebut.

 Ia hanya kesal dengan pemilik panti yang mewajibkannya belajar dan berdoa kepada Yesus. Ia malas berdoa, karena sadar doanya tidak akan pernah membuat kedua orangtuanya datang menjemputnya. Ia benci belajar karena baginya saat itu, pandai tak akan membuat bangga siapa pun, termasuk pemiliki panti asuhan. Pendeta yang merawatnya dari kecil telah lelah mendengar tangisan anak-anak lainnya, ia tak sempat memerhatikan Riana. Sebab itulah, ketika panti asuhannya dikabarkan luluhlantah, Riana diam saja, tak sedih, juga tak berduka cita. Yang ia khawatirkan hanya ia takut jika dirinya mati. Ia trauma dengan hujan besar yang mendatangkan badai. Ia belum siap mati. 

Wajah Riana terlihat sangat Bimbang. Aland dapat menangkap gerak-gerik gesture mimik wajahnya. Aland memutuskan mengikuti Riana. 

"Di mana rumahmu?"

"Perumahan Sekar, Gang 05 Timur."

"Kebetulan aku sedang mencari tempat tinggal, bisakah aku ikut denganmu? Aku ingin menyewa rumah yang tersisa."

Pada akhirnya mereka tinggal bersebelahan. Aktivitas Riana terekam oleh Aland, begitupun sebaliknya. Aland orang yang jarnag keluar rumah, entah apa pekerjaannya, sehari-hari ia berkutat di dalam rumah bermodalkan dengan beberapa laptop dan ponsel. 

Jika pun pergi maka hanya pada hari Sabtu dan Minggu, sama dengan penghuni kontrakan rumah yang lain, kebanyakandi hari-hari tersebut mereka akan berlibur, namun entah Aland pergi ke mana, ia tak pernah memberitahu Riana. Setahun mereka bertetangga, kedekatan mulai terjalin. Riana yang terkadang kelelahan seringkali mencurahkan isi batinnya kepada Aland secara spontan tanpa sadar ketika otaknya dibius oleh minuman keras. 

Pada suatu malam Riana membeberkan jati dirinya yang dulu pernah bekerja menjadi pelacur. Ia tampak menjadi wanita yang sangat putus asa. Ia juga membocorkan semua protes-protes konsumen. Apa saja yang mengganjal di benaknya ia muntahkan di hadapan Aland. Keesokan harinya, ia malu dan menyesali kebodohannya. 

"Tak apa, aku memahaminya," 

Sejak saat itu, mereka menjadi tetangga yang sangat dekat, bahkan lebih sering makan bersama di teras rumah. 

"Kau ingin hidup nikmat penuh dengan fasilitas, Riana?"

"Kau pasti sedang menawarkan pekerjaan yang berat. Zaman sekarang tak ada pekerjaan ringan, sekalipun itu menjadi seorang pelacur!"

"Kau tak perlu bekerja, kau hanya butuh kedamaian."

"Aku ikut sebuah organisasi..." Aland membisikkan nama Organisasi ke telinga Riana. "Itulah yang membuatku selama ini hidup nyaman tanpa harus membanting tulang, aku mendapatkan fasilitas mewah, seperti laptop, mobil, rumah, bahkan hotel kelas bintang tujuh."

"Kerjaannya?" Riana penasaran. Aland bangkit dari tempat duduknya, ia mengabaikan piring yang masih berisi setengah mie goreng, lenganya menarik tangan Riana. Mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. 

Riana didudukkan di ruang tamu. Sementara Aland, mengambil sesuatu dari kamarnya. 

"Kau hanya perlu meleburkan benda ini tanpa jejak."

Aland tampan dan seperti seorang cendekiawan, namun ia tak menyangka jika pekerjaannya sungguh naf. Bola mata Riana nyaris terpental dari kediamannya. Jantungnya seolah akan berhenti berdetak. Tubuhnya bergetar dan pandangannya menjadi buram. Perasaannya diliputi dengan kematian. 

Benda yang dibawa Aland adalah BOM!

Sebulan setelah makan siang bersama terakhir mereka, media masa dipenuhi dengan berita seputar Teroris dan Bom. 

***

Sebuah Canel Televisi menyiarkan 2 Teroris yang berhasil digiring oleh polisi. Seorang pria dan seorang wanita. 

***

"Kau bisa mulai bekerja pekan besok,"

"Terima kasih, Pak. Saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh." 

Wanita itu ke luar dari Perusahaan Jasa BUMN di Kota Dalam. Tangan munguilnya mengusap keningnya yang berlumuran dengan keringat. Tiga jam lebih ia diwawancarai, ditanya ini dan itu, beruntung ia berhasil lolos dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya. Sebenarnya hal itu bukan masalah utamanya ia berkeringat dingir. Ratusan kali hatinya berdoa kepada Yesus, semoga mata orang yang ada di hadapannya tak mampu membedakan ijazah asli dan ijazah palsu. 

Karena merasa diteror oleh publik dan media masa, Riana memutuskan pindah alamat. Dipenjaranya Aland sebagai tersangka Teroris, membuat tetangga-tetangganya menatapnya dengan aura gelap. Alasanya klasik, sebab Riana adalah rekan dekat Aland. Menurut mereka, Aland dan Riana telah mencemarkan nama baik perumahan. Riana juga sempat kesal karena diinterogasi oleh beberapa polisi mengenai Aland. Ia nekad membeli ijazah S2 palsu dari jasa pembuatan ijazah gelap. 

Sayangnya Riana tak betah lama-lama mengabdikan dirinya dengan menjual jasanya. Ia sering mendapatkan masalah dan protes dari sana sini karena pelayanan yang kurang memuaskan. Rakyat ada yang tak tahu malu dan asal ceplos jika bicara. Sedikit yang mau memahami pekerjaan Riana, mereka tak pernah paham jika selama ini Riana telah berusaha keras. Sekeras apa pun ia berusaha, ia sering salah input data, apalagi jika sudah berhubungan dengan nominal. Riana mengeluarkan diri sebelum mendapatkan surat peringatan. Ia sadar, ijazah palsu tak mampu menjadikannya pintar di muka publik. 

Ia tak mungkin menganggur, tak ada sanak dan saudara, tak ada anak dan suami. Ia harus bekerja demi mengganjal perut dan membayar sewa tempat berteduhnya. Kota Dalam kurang cocok dan ia merasa bosan, ia pergi ke kampung pelosok. Mencari tempat tinggal seadanya dan bekerja menjadi buruh tani. Kulit Riana yang putih mulus, berubah hitam legam karena sering dipanggang panas matahari. 

Di kampung pelosok, Riana tak pernah menyebutkan identitas aslinya. Ia mengubah namanya menjadi Nana. Data pribadi dan masa lalunya yang kelam disembunyikan rapat-rapat. Ia sering dipanggil Nana dan mendapat julukan perawan tua. Sampai umurnya menginjak angka 35 tahun, Riana belum menikah. 

Bukan tersebab tidak ada yang tertarik padanya, beberapa lelaki pernah berusaha untuk melamarnya, sayang, Riana tidak tertarik dengan laki-laki. Di matanya, sedikit laki-laki baik. Pengalamannya menjadi pelacur membuat dirinya sering ditakuti bayang-bayang gelap mengenai perselingkuhan, ia khawatir jika pria yang menikahinya kelak akan berkhianat, maka ia memutuskan TIDAK MENIKAH. Tak peduli orang kampung mau berkata apa dan memberikan julukan apa untuknya, yang terpenting baginya ia bisa makan dan minum. 

Di kampung itu ia merasa sangat bersyukur karena bisa merasakan kedamaian dan anugerah hidup yang indah. Jika dibandingkan dengan ujian-ujian hidupnya ketika di panti, menjadi pelacur, musibah banjir bandang, maupun diprotes konsumen, semuanya tak ada bandingannya dengan ujian yang menimpa Kek Avan. 

Ya. Kek Avan, ia pria tua yang memiliki kekayaan bermilyar-milyar, lengkap dengan beberapa obil dan fasilitas rumahnya yang sangat megah. Istrinya dikisahkan bunuh diri, sementara dirinya menjadi gila. Ia sering mondar-mandir di persimpangan jalan. Meratap-ratap. Kadang tertawa sendiri, meski lebih sering menangis. Kek Avan adalah potret manusia yang tak tahan dengan ujian hidup. Ia gila karena tak mampu memikul ujian yang Tuhan berikan. 

Riana sering mendapatkan nasihat-nasihat dari orang kampung tentang hidup. Sambil menenggak teh tawar yang diolah manual, mereka akan bercerita mengenai nenek moyang kampung pelosok dan tragedi-tragedi yang pernah terjadi di sana. Dahulu ketika listrik belum masuk kampung, sering ada harimau dan babi hutan yang kluyuran di sekitar rumah warga. 

Sepanjang malam tidur mereka tak nyenyak dan dirundung dengan ketakutan. Ada pula kisah sepasang pemuda-mudi yang hendak melangsungkan pesta pernikahan namun salah satu mempelainya kabur, yang terakhir adaah cerita Kek Avan, bagi mereka itu sebuah cerita yang melegenda. 

"Kenapa bisa sampai seperti itu?' Riana penasaran, ia sudah tak sabar ingin mengetahui seluk beluk penyebabnya. 

"Dulu Kek Avan kehilangan anaknya ketika sedang bertamasya ke Kota Dalam, istrinya stress dan memutuskan bunuh diri, anak mereka adalah seorang bocah kecil yang imut dan masih berumur empat tahun, belum tahu apa-apa kecuali menyebut namanya sendiri,

 'Riana'."  

Magelang, 18 Januari 2019. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun