Bapak dan Ibu Gandi yang baru pulang dari sawah merasa seperti tersambar petir, gerangan apa yang menggiring majikan Gandi singgah di rumah sederhananya? Mereka yakin pasti ada hal penting, yang akan disampaikan. Bapak tak sadar jika cangkul yang dibawanya dijatuhkan begitu saja di ruang tamu, bahkan lupa mencuci kaki kotornya yang dipenuhi dengan lumpur. Ibu buru-buru membuatkan kopi.
Kalimat kelima setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan keadaan tubuh itu membuat mata kedua orangtua Gandi melotot.
"Loh, dia kan ada di kota, bersama jenengan. Lagi kerja," Ibu menjawab dengan kening berkerut-kerut.
"Memangnya Gandi tidak ada di tempat kerja, Pak?" Bapak langsung paham dengan situasi saat itu. Perasaannya campur aduk, suaranya bergetar. Ia sangat khawatir jika-jika kabar buruk datang tanpa persiapan.
Pemilik konter tak bersuara, ia menganggukkan kepalanya.
"Di mana anak saya?"
"Saya sudah mencarinya ke mana-mana, tapi belum juga ketemu. Saya pikir ia pulang ke sini, Pak, Bu."
"Tidak mungkin anak saya pulang jika belum pamit ke jenenengan." Ibu berkata dengan air mata yang berlinang.
"Ia hilang tanpa kontak Bu, terakhir mengantarkan ponsel pesanan konsumen, setelahnya tak kembali ke konter."
Tubuh Ibu lemas, "Tubuhnya tidak dimutilasi untuk diperdagangkan ke luar negeri kan, Pak?"
"Ini penculikan namanya!" Bapak menggebrak meja.