Malam itu merupakan malam yang tak ingin dikenang, saksi suratan pahit yang seharusnya tak pernah terbuka apalagi sampai terbaca. Pemuda tanggung itu terpaksa menanggung derita selama 432.000 detik, di dalam ruang hening minim cahaya, beradu dengan siut angin yang masuk melalui celah-celah dinding bambu. Tak ada hujan, namun mendung menggantung gagah, menelan bintang-bintang, menyembunyikan rembulan, suasana alam pun liar. Semak-semak berembun, mata burung hantu melotot, ia tak sudi dengan tamu asingnya. Nisan-nisan berwajah masam. Malam jumat menjadi pelengkap aura seram. Sesekali terdengar suara kemerosok dari sela-sela kuburan. Tak ada anjing menggonggong, namun jantung waktu yang berdetak pada pukul satu pagi membuat bulu kuduk Gandi merinding.
Ia menelan sesal sepanjang waktu, meratapi kecerobohannya meletakkan kepercayaan kepada orang abstrak. Sayang sesal itu tak pernah mampu membelanya. Jika ia boleh menangis, gudang dengan isi keranda itu akan penuh dengan banjir air mata. Ia disekap oleh orang-orang berwajah lembut. Dunia sudah gila, orang secantik Juliet menyeretnya ke gubuk di sebelah kuburan, ia menganggap otak ibu tiga bocah di depannya terlihat sinting, sebab tega menyumpal mulutnya dengan kain, dan yang terakhir ia tak pernah memahami alasan lelaki tua berpakaian rapi dengan jas yang membuat tubuhnya tampak berkarisma itu mengikat tangannya. Ruang 6 x 5 m terhuni debu-debu, jaring laba-laba, tiga bocah seumuran SMP, satu ibu rumah tangga, satu gadis cantik, seorang lelaki separuh baya dan terakhir Gandi, sang korban. Â Di luar ruangan mobil lamborgini bercat darah terpakir tanpa tuan.
 Malam semakin larut, namun orang-orang di dalam tetap diam tak melakukan kegiatan apa-apa, kecuali duduk melingkar dengan mata terpejam seperti sedang melakukan sebuah ritual gaib. Gandi bingung dan merasa tersiksa. Ia tak bisa menghubungi kedua orangtuanya, sebab ponsel beserta dompetnya dirampas.
Pada pukul tiga pagi, Gandi dibius, ia tak sadarkan diri.
***
Dani melongok ke kamar Gandi, ruang kubus itu senyap tanpa nyawa, 24 jam rekan kerjanya tak memberi kabar, pergi tanpa ucap pamit dan tak kunjung pulang. Puluhan kali ia menghubungi kontak Gandi, hasilnya nihil. Tak seperti biasanya Gandi pergi sampai larut, tanpa keterangan. Tiga jam lalu waktu Dani habis untuk mencari sosok Gandi di sudut-sudut jalanan remang, barangkali ada tubuh tergeletak di trotoar, untungnya tidak, ia bukan pemabuk seperti Dani. Ia bertanya kepada penjual angkringan yang sering dijadikan tempat nongkrong Gandi, pedagang-pedagang malam itu menggeleng tak tahu. Ia putus asa, lantas melaporkannya ke pemilik konter. Dani dan Gandi karyawan konter di Kota Kenangan, mereka saling bahu-membahu ketika ada pelanggan rewel menawar harga, bergantian mengantarkan barang jika ada yang pesan online.
Pemilik konter menyuruh seluruh karyawannya mencari Gandi, mereka menerka-nerka keberadaan Gandi, pergi ke tempat yang biasanya dikunjungi Gandi, setibanya di sana tak seorang pun mirip dengan Gandi.
Malam telah larut, fajar menyibak tirai langit. Jalanan kota mulai dipadati kendaraan pribadi. Halaman konter bising, dan Gandi belum juga berkabar.
Tiga hari setelah kepergian Gandi, pemilik konter memutuskan beranjangsana ke kampung halaman Gandi, menemui kedua orangtuanya, mengantongi harapan semoga karyawannya berpulang ke rahim ibunya, tidak hilang seperti gosip yang beredar dari bibir-bibir karyawan. Ia sangat cemas, seingatnya ia jarang marah kepada Gandi, seringkali ia memuji bahkan memberikan uang tips kepada Gandi karena bagusnya, tak ada hal  yang membuat sakit hati hingga pemuda itu nekad meninggalkannya dengan alasan marah. Tidak mungkin, sekalipun ia membuat marah, Gandi merupakan sosok penyabar dan mau mendengarkan kritik orang lain. Gandi bukan orang pedendam. Lalu kenapa? Beruntung pemilik konter bukan seorang wanita yang sering menumpahkan kebimbangannya dalam air mata.
"Maaf Bapak dan Ibu, apakah Gandi telah pulang?"