Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkah

11 Oktober 2023   11:25 Diperbarui: 12 Oktober 2023   08:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ayahku mungkin tidak akan membiarkanku menikah dengan orang yang hanya mengandalkan warisan rahim keluarganya. Aku ke perpustakaan dulu,"

"Aish, jawabanmu serius! Aku juga tidak akan menikah denganmu! Aku hanya bercanda!"

Erin meninggalkannya diamuk gerimis. Taman hening. Tak seorang pun mahasiswa yang mau bermain-main dengan gerimis yang berubah menjadi hujan kecuali dirinya, dirinya yang malang. Erin? Siapakah Erin, mengapa sedekat itu dengannya? Peduli dengan kalimat panjang untuk menasehatinya? Bahkan meluangkan waktu mencarinya di taman? Kau tahu? Mereka adalah teman satu jurusan. Bidang mereka sama. Orangtua Alfa menyuruhnya belajar Ilmu Ekonomi sebagai bekal masa depannya menjalankan perusahaan.

***

Tahun berakhir, sebagian mahasiswa menganggap tahun berakhir. Dalam tanda kutib, 'tahun pahit mengerjakan skripsi' wajah mereka beberapa bulan tegang di hadapan layar komputer, bersungut-sungut ketika mencari referensi bacaan, bermalas-malasan menganalisis lapangan. Terbayar lunas hari itu. Ada beberapaa orang yang berwajah gelap, namun banyak yang riang, seperti Erin. Toga dikenakannya, ia mendapat predikat Cum Laude. Ia sangat manis dengan riasan salon di wajahnya. Entah sepagi apa ia pergi ke perias wajah, merengek didandani untuk merayakan keluusannya. Kawan, jika kau lihat sekitar, maka mahasiswa-mahasiswa terlihat memesona, wajahnya ranum, manis-manis, tampan-tampan, apalagi yang singgah di atas podium, rektor mengalungkan penghargaan, memberikan ijazah, menyalaminya bangga.

Prosesi wisuda usai.

Erin menghampiri kedua orangtuanya, memeluk hangat, melelehkan airmata di bahu ringkih ayahnya. Alfa melihat dari kejauhan, ada sesak yang mengganjal ulu hatinya. Ada ketakjuban yang membungkam bibirnya, ada hormat yang membuat langkahnya tak mau bergerak. Ia mematung, merasa dirinya hina sebab melalaikan kesempatan, kedua orangtuanya menggeleng-gelengkan kepala, berceloteh atas dasar kecewa. Ia mengabaikan, fokus pada Erin dan kedua orangtuanya.

"Hidupmu sudah senang! Apa-apa tercukupi! Bagaimana mungkin kau tidak lulus, Fa? Tugasmu hanya belajar, tak perlu kau perpusingkan biaya, uang jajan dan tempat tinggal! Belajar dan belajar! Kurang apalagi?"


              "Bagaimana kau kalah dengan anak penjual jamu? Ia bahkan mendapatkan predikat manis, kau sungguh memalukan harga diri keluarga, Fa!"

Lelaki tua itu mengecup pipi putrinya. Menangis haru karena bangga.

"Bagaimana lelaki tua itu mampu menyekolahkan anaknya, Yah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun