Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkah

11 Oktober 2023   11:25 Diperbarui: 12 Oktober 2023   08:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hujan, kau mau sakit untuk dijadikan alasan berkelit dari dosen pembimbing skrikpsimu?" Wanita berjilbab abu-abu menyapanya, ia menegakkan payung, tersenyum manis kepadanya, "ayo ke perpustakan lalu temui dosenmu, ia sudah datang."

"Erin! Kenapa kau belajar Ilmu Ekonomi? Kau ingin bekerja di kantor kelak? Rin, tak perlu aku lulus kuliah, aku sudah bisa menjadi presdirmu," selera humornya tidak lucu, gadis yang dipanggilnya Erin hanya tersenyum sinis, mengembuskan napasnya.

"Aku bukan hanya belajar Ilmu Ekonomi, Fa! Ilmu agama, sosial, alam pun aku kupas pelan-pelan."

"Untuk apa? Apakah semua itu akan berguna bagi masa depanmu? Bukankah cukup kau bekerja makan dan minum? Semua manusia pada dasarnya hanya membutuhkan makan dan minum, rumah mewah kuanggap makanan, mobil mewah kuanggap makanan, keluarga juga kuaggap makanan, minumannya jalan-jalan, bahagia, lelah, lantas kembali lagi mencari makan keesokan harinya."

"Itu dirimu, Alfa! Tidak denganku yang dari kecil hidup susah,"

"Kau hidup susah? Bukankah kau punya mobil? Kuamati kau juga jarang dipanggil karena kekurangan biaya,"

Erin tersenyum. Ia menyeimbangkan gagang payung. Gerimis hinggap di rambut Alfa, namun ia tidak peduli.

"Aku tidak ingin bercerita panjang tentang hidupku, Fa! Namun coba kau tafsirkan sendiri, andaikan dirimu gagal belajar, dari mana kau akan membangun istana cinta keluarga? Ralat dari mana kelak di masa depanmu akan mencari makan? Hidup memang tidak membutuhkan banyak teori, namun ia perlu teori dasar, kau harus memupuk otakmu dengan ilmu agama, bubuhi aspek sosiologi, rangkum kiat-kiat mendidik anak, lantas akhirnya kau harus memecahkan pokok terpenting 'makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.' Akan kau dapatkan ilmu tersebut dari mana? Jika kesempatan belajar itu kau sia-siakan? Seperti merekakah? Yang menikah dini lantas cerai berkali-kali? Anaklah yang menjadi korban, kedewasaan tidak tertanam, selingkuh dengan sembarang pasangan. Itulah kehidupan realis. Agama tinggal nama di dada. Siapa yang akan menyelamatkan generasi jikalau kau sendiri hanya duduk di kafe-kafe malam?"

"Apakah makan serumit itu, Rin?"

"Buktikan saja di masa depanmu!"

"Bolehkah aku menikah denganmu? Setidaknya untuk menjauhi hal negatif, jika aku terjatuh lagi maka kau bisa kujadikan sandaran."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun