Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkah

11 Oktober 2023   11:25 Diperbarui: 12 Oktober 2023   08:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kau sedang berkelit, Nak. Orangtuamu bahkan membiarkan punggung mereka diguyur hujan, kepala dipanggang matahari, kau? Hujan belum turun sudah membuat alasan atas nama hujan?'

"Orangtuaku tidak seperti itu, Pak. Mereka hidup senang dan penuh dengan kecukupan."

Lelaki tua mengembuskan napas. Ia melepas tudung kepalanya, mengibaskan di depan muka usai memaarkir sepedanya. Botol-botol jamu masih meninggalkan setengah cairan. Perjalanan belum pendek, ada tiga kampung lagi yang menunggu ramuan kuatnya.

"Kalau begitu apa yang kau berikan untuk mereka? Mentang-mentang hidupmu nyaman, kau punya kekuasaan untuk bermalas-malasan? Bisa jadi masa depanmu tidak semanis kehidupan orangtuamu, jangan sampai Tuhan memberimu azab, murka karena kebiasaan burukmu yang mengabaikan hal positif, kau akan hidup susah, dan tidak mampu berbuat apa-apa, sebab dari kecil kau hidup dalam kesenangan," kalimat Lelaki tua itu menghujam ke palung hatinya yang paling dalam. Ia telah air liurnya. Hendak menyanggah, namun tidak ada kalimat tepat yang dapat dirangkai pikirannya.

"Berangkatlah belajar, jangan belok-belok ke tempat-tempat tidak penting. Kau tahu betapa susahnya diriku menyekolahkan ketiga anak-anakku? Jangan kau lukai aku dengan sikapmu yang seperti itu, Nak. Hal itu membuatku berpikir negatif kepada mereka, mungkinkah mereka juga enggan belajar sepertimu?"

"Kelas berapa?"

"Yang paling kecil masih duduk di bangku dasar, yang satu kelas tiga SMA, yang satunya..."
              "Aku berangkat kuliah, Pak."

Ia belum mendengarkan nasib pendidikan anak pertama lelaki tua.

***

Lagi, ia duduk di bangku taman kampus, membiarkan jasadnya dikerubungi gerimis. Mahasiswa berteduh di perpustakaan, di lorong-lorong kampus, bergurau di kantin, sebagian masuk kelas masing-masing, ia termenung dengan kesendiriannya, menyadari kehidupan linunya di rumah. 

Adakah jamu yang mampu menyembuhkan linu perasaannya? Seperti kisah orang-orang kaya pada umumnya, apa saja memang dapat diraih dalam sekejab mata, namun ia kesepian. Jangan salahkan dirinya jika terjun di dunia luar mencari keramaian, menghamburkan uang karena memang itu yang dimilikinya, berkumpul dengan teman-teman, berceloteh asal-asalan, menanggapi persoalan manusia-manusia yang tidak penting, justru menganggap hal berat menjadi ringan, semisal kuliah! Ia tidak menganggap itu akan memengaruhi kehidupannya kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun