Menembus 210 negara di dunia, Corona Virus Disease (Covid-19) terus melesat. Tak pelak jika kondisi ini berdampak pada perlambatan yang cukup signifikan pada pertumbuhan ekonomi global. Tak hanya itu, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) secara global ikut terancam.
Dikutip dari Woldometer hingga Senin (13/4/2020) tercatat 1.848.503 kasus corona di seluruh dunia. Angka yang cukup fantastis, imbas dari pandemi covid-19. Urutan lima negara terdampak paling besar yakni Amerika Serikat, Spanyol, Itali, Perancis dan Jerman.
Melihat kondisi ini banyak negara yang akhirnya mengambil kebijakan untuk memberlakukan lockdown (menutup diri). Morgan Stanley memperkirakan pertumbuhan global dapat terkontraksi hingga 0,9 % di tahun ini bisa dibilang terendah sejak krisis keuangan global 2008-2009 lalu. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,5 % lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 3,0 %. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia, Morgan memprediksikan di kisaran 4,6 % lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Kondisi Indonesia
Terhitung per 13 April 2020 positif corona merangkak menuju angka 4.241. Dinyatakan sembuh 359 dan meninggal dunia 373. Kondisi ini telah merata di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Lonjakan yang cukup signifikan, menunjukkan bahwa penyebaran covid-19 di Indonesia sudah sampai pada level kritis mengkhawatirkan.
Melihat kenyataan ini, tentu Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi dampak wabah virus corona yang lebih buruk dibanding krisis moneter yang terjadi tahun 2007.
Terhentinya semua aktivitas dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid-19 semakin dirasakan masyarakat terlebih pada level bawah. Penerapan berbagai kebijakan mulai dari social distancing, physical distancing, stay at home, work from home hingga terakhir pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di ibu kota Jakarta dan beberapa wilayah lain, tentunya menambah deretan panjang tanda-tanda melemahnya perekonomian global.
Dampak Covid-19 pada Stabilitas Sistem KeuanganÂ
Tak bisa dipungkiri, jika kondisi ini dibiarkan tanpa penanganan yang jelas bakal mengguncang stabilitas sistem keuangan. Â Diberlakukannya kebijakan makroprudensial merupakan salah satu upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Tentunya, kebijakan dan strategi yang diberlakukan menyesuaikan gejala yang terjadi mengingat latar belakang permasalahan di setiap negara tak mesti sama meskipun tampak serupa.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bisa jadi dari sektor ekonomi, perbankan, industri, perdagangan, geografis, iklim negara termasuk gaya hidup/habit masyarakatnya.Â
Tak ada satu ramuan tunggal yang manjur untuk mampu mengatasi segala jenis penyakit. Ibarat seorang dokter yang tak harus memberikan antibiotik untuk menyembuhkan semua jenis penyakit. Kompleksitas permasalahan satu negara akan berbeda dengan negara lain meskipun dampaknya sama, yakni mengancam stabilitas sistem keuangan.
Tak hanya itu, bentuk negara kesatuan (unitaris) dan negara serikat (federasi) memiliki keunikan dan karakteristik masing-masing. Belum lagi pengklasifikasian mana negara maju dan mana negara berkembang, jelas akan berpengaruh pada percepatan pemulihan stabilitas keuangan negara. Berpijak pada solusi yang sama dengan penerapan kebijakan makroprudensial dalam upaya menjaga stabilitas keuangan negara setidaknya memberi harapan untuk keluar dari permasalahan ekonomi global yang kini tengah mengancam. Â
Kebijakan Makroprudensial di Indonesia
Jika dianalogikan, kebijakan mikroprudensial tak ubahnya seperti upaya memantau setiap pohon untuk memastikan pertumbuhan yang sehat. Sedangkan kebijakan makroprudensial menyangkut ruang lingkup yang lebih luas. Yakni, bagaimana strategi menjaga kondisi hutan secara keseluruhan.
Kebijakan makroprudensial mendorong terealisasinya stabilitas sistem keuangan. Dengan adanya sistem ini akan meminimalkan risiko yang ditimbulkan dari perkembangan perekonomian yang ada.
Tujuan utama makroprudensial sendiri adalah mencegah terjadinya guncangan terhadap stabilitas ekonomi. Menghadapi hal tersebut tentunya harus melakukan berbagai upaya mulai dari monitoring terhadap sistem keuangan, identifikasi risiko, penilaian risiko, pemberian sinyal risiko, desain dan implementasi kebijakan hingga evaluasi dan efektivitas kebijakan yang diambil.
Di Indonesia, ketika risiko instabilitas sistem keuangan berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang diambil oleh Bank Indonesia (BI) akan selalu mengarah kepada usaha untuk menuntaskan kedua masalah tersebut.
Ketika suku bunga acuan naik secara otomatis akan mengerek bunga kredit perbankan. Akibatnya permintaan kredit akan melambat. BI sengaja mengambil kebijakan ini untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi.
Dalam hal ini, BI benar-benar serius untuk mengerem kredit. Selain menaikkan suku bunga juga menaikkan batas pinjaman untuk kredit perumahan dan kendaraan. Sementara, nilai rupiah dijaga agar tetap stabil.
Berperilaku Bijak Upaya Dukung Stabilitas Sistem Keuangan
Hal terpenting menghadapi kondisi pandemi covid-19 adalah berperilaku bijak sebagai upaya menjaga  Stabilitas Sistem Keuangan. Lima perilaku bijak tersebut:
1. Berpartisipasi aktif mengedukasi masyarakat agar turut serta memutus mata rantai pencegahan penyebaran covid-19Â
Edukasi ini penting mengingat heterogenitas masyarakat Indonesia dengan jangkauan yang cukup luas. Tidak semua orang memahami bagaimana penyebaran virus ini, apa yang sebaiknya harus dilakukan, apa yang harus dihindari untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Saling peduli, saling menjaga diri dengan mematuhi semua imbauan yang telah disampaikan pemerintah baik pusat maupun daerah adalah bukti bahwa kita telah berpartisipasi mendukung stabilitas sistem keuangan.
Pembiasaan diri untuk selalu mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker dimanapun berada, menghindari memegang area hidung, mata, dan mulut saat berada di luar rumah, menjaga jarak dengan yang lain minimal 1 meter (physical distancing), menghindari kerumunan (social distancing), dan selalu menjaga kesehatan fisik (dengan makan bergizi) dan kesehatan rohani.
Mungkin imbauan terlihat sepele namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang tidak patuh bahkan terkesan cuek, lebih parahnya lagi ada yang sengaja melanggar dengan tetap berkerumun tanpa alat pelindung diri (APD).
Jika imbauan ini pun tak diindahkan bisa jadi penyebaran covid-19 semakin sulit dicegah dan lingkupnya semakin meluas. Jelas, butuh waktu lebih lama dan anggaran yang lebih banyak untuk menuntaskannya. Imbasnya pada stabilitas sistem keuangan.
2. Menggalang solidaritas untuk meringankan beban sesama
Dampak pandemi covid-19 terbesar adalah hilangnya mata pencaharian. Mungkin tak ada problem bagi mereka yang tercatat sebagai pegawai pemerintahan atau BUMN. Imbauan work from home (kerja dari rumah), stay at home untuk melakukan semua aktivitas di rumah mulai belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah pun tak jadi soal.
Karena saat mereka tak bekerja di kantor namun secara finansial tetap terpenuhi. Bukan hanya gaji bulanan termasuk hak-hak lain seperti tunjangan kinerja dan uang makan tetap diterima.
Lain halnya dengan buruh pabrik atau pegawai swasta dengan gaji harian/mingguan. Dengan dalih perusahaan tak lagi mampu membayar gaji mereka, pemutusan hubungan kerja (PHK) terpaksa menjadi alternatif terakhir yang harus mereka terima.
Bisa dibayangkan, usai dirumahkan mereka total menganggur. Lalu keluarga mau makan apa, jika tak punya lagi mata pencaharian? Uang pesangon yang tak seberapa jelas tak akan mampu menopang hidup selama masa pandemi. Bahkan ada yang terang-terangan mengaku tak dapat gaji karena perusahaan kolaps. Lalu kelanjutan hidup mereka bagaimana?
Di sinilah pentingnya saling menopang. Dibentuknya satuan gugus tugas dalam rangka menggalang solidaritas agar saling membantu. Menggalang donasi khusus bagi mereka yang berlebih untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Mungkin terkesan berat jika dilakukan seorang diri namun secara bersama-sama gerakan ini akan dapat meringankan beban yang lain.
3. Bijak bermedia sosial dengan tidak menyebarkan berita hoaks
Masyarakat saat ini berada dalam kondisi krisis, bukan hanya krisis pendapatan namun lebih pada krisis kepercayaan terlebih dengan bertebaran informasi yang terkadang membuat mereka panik. Tak tahu lagi mana informasi yang valid, mana yang hoax, semuanya membanjiri media sosial secara berdampingan.
Bahkan terkadang masyarakat banyak yang termakan berita hoax yang justru menyesatkan. Imbasnya secara masif mereka melakukan panic buying. Jika kondisi ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan menggoyang stabilitas sistem keuangan.
Panic buying dalam jangka panjang akan berdampak pada ketidakseimbangan harga. Logikanya, produk menjadi minim di pasaran karena masyarakat secara masif memburu produk yang dianggap penting saat itu, sementara demand terus merangkak naik akibatnya harga produk tidak dapat terkontrol dengan baik. Terjadilah lonjakan harga yang tak masuk akal. Jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang panjang bukan tidak mungkin akan terjadi inflasi.
Menyikapi hal tersebut, mulai sekarang bijaklah bermedia sosial. Jangan asal sharing tanpa menyaring konten yang disampaikan. Lihat sumbernya, pesan yang disampaikan. Jika terdapat permintaan untuk share jelas itu hoax.
4. Menghindari panic selling terhadap investasi yang dimiliki
Panik saat pandemi juga dialami para investor. Tak dipungkiri anjloknya pasar saham terimbas oleh wabah corona yang mendorong para investor untuk secara besar-besaran (rush) menjual saham.
Padahal dalam kondisi tersebut, harga saham pada titik terendah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta agar investor tidak panik dan tetap bersikap bijak. Ini bukan saat yang tepat untuk menjual saham. Karena aksi masif panic selling investor akan merugikan diri sendiri disamping berdampak pada stabilitas kistem Keuangan. Hal yang paling disarankan adalah investor tetap bertahan (defensive) hingga harga kembali normal.
5. Turut serta mengembangkan industri bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)Â
Penyelamatan ekonomi rakyat bagi pelaku UMKM saat pendemi ini sangat perlu dilakukan untuk menyokong stabilitas sistem keuangan. Karena kondisi yang terjadi saat ini berbeda dengan krisis yang terjadi sebelumnya (1998). Penerapan social distancing, karantina wilayah hingga lockdown sementara menimbulkan efek signifikan pada UMKM di Indonesia.
Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi (COVID-19).
UMKM terus didorong dan mendapatkan prioritas untuk mengembangkan usahanya. Tujuannya menggerakkan perekonomian yang berujung pada penciptaan lapangan pekerjaan. Karena usaha rakyat kecil termasuk kelompok ekonomi yang terdampak pertama akibat pandemi.
Harapannya dengan bantuan Kredit Usaha Rakat (KUR), pembebasan tagihan listrik termasuk insentif selama 3 hingga 6 bulan mampu memulihkan ekonomi nasional.
Semoga Bermanfaat
Titik Nur Farikhah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H