Pagi itu Marni memulai aktivitasnya sebagai seorang pedagang kue keliling dengan senyum khas dan pakaian yang sederhana. Bakul berisi kue buatannya telah penuh tertata dan siap untuk dijajakan. Marni menutup pintu rumahnya dnamenguncinya dengan sangat teliti. Kembali dia memeriksa gembok yang baru saja dipasangkan pada pintu rumah sederhananya.Â
"Mak, Marni pergi, yaaa...", Â pamit Marni pada seorang ibu tua di sebelah rumahnya. Bu Hasanah yang dipanggil Mak oleh Marni tersenyum kecil. Usianya yang sudah renta membuat langkah kakinya agak lamban menyusul Marni ke pagar pembatas rumah mereka yang saling berdekatan.Â
"Jangan terlalu sore pulangnya, Nduk. Hati-hati di jalan". Bu Hasanah mengingatkan Marni. Marni tersenyum mengangguk lalu menyodorkan sebuah bungkusan kue pisang yang tadi sengaja disisihkannya untuk Bu Hasanah. Bu Hasanah tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Marni adalah tetangganya sejak bertahun-tahun yang lalu, mungkin sejak orang tua Marni lahir dan menikah, bahkan sampai Marni lahir dan menjadi dewasa.Â
Marni seorang janda muda yang hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. Usianya baru menginjak 25 tahun ketika dia diceraikan oleh mantan suaminya yang konon adalah laki-laki yang tidak tahu diri serta bertangan besi. Marni memilih bercerai karena tidak tahan dengan perilaku suaminya yang kasar, dan sering memperlakukannya dengan buruk. Terkadang tak jarang jika marah atau tersinggung Marni selalu mendapatkan perlakuan kasar seperti di tarik rambutnya hingga sampai rumahnya di depan banyak orang. Entahlah bagaimana seorang gadis cantik dan pintar seperti Marni bisa tertarik dengan laki-laki kasar seperti Basri. Mungkin itulah kebutaan sebuah cinta anak muda kala itu.
Marni hanyalah wanita lulusan SMA kala itu. Belum lama setelah tamat sekolah dia melamgsungkan pernikahan dengan meriah. Basri adalah anak kepala pasar di daerah itu. Orang tua Basri memiliki bisnis yang cukup menjanjikan dan sangat berhasil untuk ukuran sebuah desa seperti desa Marni. Marni masih berkeliling menjajakan kuenya di sekitar desanya dan desa tetangga yang masih terjangkau oleh kayuhan sepeda tuanya. Sesekali nampak Marni menyeka keringat yang membasahi dahinya.Â
"Marni...", salah satu pelanggan tetap kue Marni memanggil Marni dengan suara yang keras. Marni menghentikan kayuhan sepedanya dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Bu RT melambaikan tangannya ke arah Marni sambil tersenyum. Marni membalikkan sepedanya, dan menuntunnya hingga tiba di depan Bu RT.Â
"Iya, bu. Mohon maaf, apakah kembaliannya kurang ya, bu?". Tanya Marni dengan sopan.Â
"Bukan. Kembaliannya cukup kok". Bu RT menatap Marni dengan tersenyum manis.Â
"Lalu, ada apa ya, bu...ibu memanggil saya?. Tadi saya pikir uang kembaliannya kurang, bu?" ucap Marni pelan sambil berbagai pertanyaan memenuhi otaknya.
"Mmm, anu, Marni...", Bu RT ragu ingin bertanya sesuatu. Marni menatap bu RT dengan penuh tanda tanya. "Apa dagangan kamu masih banyak?" Bu RT mencoba mencari cara untuk menyampaikan niatnya. Marni tersenyum sambil memperlihatkan bakul dagangannya yang hanya tinggal sedikit lagi.
"O...alhamdulillah tidak, bu. Saya hanya tinggal mengantarkan pesanan Bu Faesal di RT sebelah, bu. Apakah ada yang perlu saya bantu, bu?". Marni mencoba menebak. Karena memang terkadang bu RT yang paling sering memintanya untuk membantu beberapa pekerjaan yang menyangkut laporan keuangan di tokonya jika telah akhir bulan. Marni selalu senang membantunya, selain mendapatkan upah yang lumayan banyak ilmu Marni jadi bertambah tentang akuntansi.Â