Penulis: Lisa Erisca
Â
Saat ini pemerintah Indonesia tengah fokus melakukan hilirisasi industri, di antaranya di sektor pertambangan. Upaya ini dilakukan pemerintah sejak tahun 2010 lewat berbagai kebijakan dan kerap digaungkan oleh Presiden Joko Widodo selama periode kedua pemerintahannya. Pelaksanaan hilirisasi di dalam negeri dianggap penting dilakukan dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditas, di samping akan menumbuhkan industri turunan yang akan membuka lapangan kerja baru. Nilai tambah komoditas meningkat karena komoditas yang diekspor ke luar negeri tidak lagi berwujud bahan baku mentah, tetapi sudah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang nilai jualnya lebih tinggi.
Kebijakan hilirisasi tambang dianggap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat di berbagai daerah mengingat Indonesia memiliki SDA yang melimpah. Selama ini sektor pertambangan memberikan kontribusi yang signifikan pada penerimaan negara, baik berupa deviden, pajak, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Â Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi PNBP sektor ESDM tahun 2023 mencapai Rp300,3 triliun atau 116 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp254 triliun. Dari total PNPB sektor ESDM tersebut, sub sektor mineral dan batubara (minerba) memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar Rp172,96 triliun atau 58 persen dari total PNBP.Â
Kebijakan hilirisasi tambang diharapkan juga dapat memperkuat daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan ketidakpastian kondisi perekonomian global saat ini. Jika Indonesia terus bergantung pada ekspor komoditas mentah, Indonesia akan terpuruk ketika nilai jual komoditas tersebut turun. Sebaliknya, jika Indonesia mengekspor barang setengah jadi atau barang jadi yang nilai jualnya lebih tinggi, maka ini akan meningkatkan pendapatan negara.
Â
Nikel, Komoditas Primadona Baru
Nikel merupakan bahan baku utama baterai lithium, yang akan menjadi sumber energi masa depan karena merupakan komponen utama baterai dan mobil listrik. Karena manfaatnya tersebut menyebabkan banyak negara asing mengejar nikel, khususnya nikel dari Indonesia. Cadangan nikel Indonesia masih menjadi yang terbesar di dunia atau setara dengan 23 persen cadangan di dunia. Saat ini Indonesia menyuplai sekitar 37 persen kebutuhan bijih nikel dunia.
Dengan hilirisasi, nilai tambah yang dihasilkan dari bijih nikel dapat meningkat berkali-kali lipat. Harga jual antara bijih nikel mentah dengan komoditas nikel yang telah diolah setengah jadi di pasar internasional sangatlah berbeda. Ketika bijih nikel mentah diolah menjadi Nickel Pig Iron (NPI), harganya bisa naik tiga kali lipat. Biila diproses menjadi Feronikel, maka harganya naik 6,76 kali lipat. Ketika diproses menjadi Nickel Matte, maka nilai tambahnya akan naik menjadi 43,9 kali. Terlebih, sekarang Indonesia sudah mempunyai smelter yang menjadikan MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali.
Iming-Iming Hilirisasi Nikel
Dengan potensi yang terkandung dalam nikel, pemerintah terus menggenjot program hilirisasi di dalam negeri dengan melarang kegiatan ekspor bahan mentah ke luar negeri dan terus mendorong pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) di berbagai wilayah.
Dengan diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel mentah sejak 2020 berdampak pada kinerja ekspor nikel Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Indonesia melakukan ekspor nikel sebanyak 777,4 ribu ton, meningkat 367 persen dibanding setahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Nilai total ekspor nikel Indonesia pada 2022 juga melonjak 369 persen (yoy) menjadi USD5,97 miliar. Angka-angka tersebut merupakan rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Kebijakan hilirisasi juga berdampak positif pada perekonomian Indonesia. Â Pada 2017-2018, ekspor nikel Indonesia hanya USD3,3 miliar, tapi setelah ekspor nikel dihentikan, Indonesia berhasil meraup keuntungan hingga USD30 miliar atau setara Rp450 triliun pada 2022, naik sepuluh kali lipatnya.
Kebijakan hilirisasi nikel juga tak pelak berdampak pada semakin menjamurnya smelter nikel. Â Jumlah smelter nikel di Indonesia, baik yang sudah beroperasi, dalam masa konstruksi, dan ingin dibangun, terakumulasi mencapai 116 smelter yang tersebar di beberapa daerah. Keberadaan smelter-smelter ini diklaim berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang mampu menyerap angkatan tenaga kerja setiap tahunnya. Berdasarkan data produksi 2022, Provinsi Sulawesi Selatan telah mengolah 2,6 juta ton bijih nikel dan dapat membuka lapangan kerja baru hingga 36.207 orang.
Kerusakan Lingkungan
       Hilirisasi nikel di Indonesia bukannya tanpa masalah. Kebijakan ini justru membawa dampak negatif pada lingkungan. Kerusakan lingkungan semakin parah. Perusahaan-perusahaan tambang yang menyuplai bijih nikel ke smelter-smelter nikel di Sulawesi berkontribusi dalam menghancurkan hutan yang secara langsung juga menghancurkan rumah bagi hewan-hewan endemik Sulawesi.  Pemerintah telah menerbitkan 188 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah yang menyebabkan 372.428 hektare hutan dikorbankan. Begitu juga dengan kompleks industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera (Maluku) telah menyebabkan deforestasi hingga pencemaran udara dan air, yang menyebabkan masyarakat di sekitar kawasan industri mengalami kesulitan hidup.
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi
Hilirisasi nikel memang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, bahkan di beberapa daerah pertumbuhan ekonominya mencapai dua digit. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini harus dibayar mahal dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang dalam. Seperti yang terjadi di Maluku Utara. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada triwulan II-2023 mencapai 23,89 persen, hampir lima kali lipat dari rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah justru menjadi dua daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Berdasarkan data BPS, hingga awal 2023, tingkat kemiskinan di Halmahera Timur tercatat 13,14 persen, sementara Halmahera Tengah 12 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan tingkat provinsi sebesar 6,46 persen.
TKA Dimanjakan
Tenaga Kerja Asing (TKA), terutama dari Cina, banyak didatangkan ke berbagai proyek tambang dan smelter nikel. Bahkan, jumlahnya mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, keberadaan TKA ini bukannya tanpa masalah. Keberadaan mereka dianggap menggerus tenaga kerja yang berasal dari dalam negeri. Belum lagi perbedaan gaji yang sangat mencolok antara gaji pekerja lokal dengan TKA Cina. Rata-rata gaji TKA Cina mencapai Rp21 juta per bulan, sementara gaji pekerja lokal hanya Rp3 juta per bulan. Artinya, gaji TKA Cina tujuh kali lipat pekerja lokal, dengan jabatan dan tingkat pendidikan sama.
Oligarki dan Investor Cina Merampok SDA Nikel Nasional
       Dari sisi ekonomi, hilirisasi nikel ternyata tidak memberi manfaat besar bagi negara dan rakyat. Jika kita mengira negara akan mendapat untung besar dari hilirisasi nikel sebagaimana yang diklaim Presiden Jokowi, maka itu hanya ilusi. Pada faktanya, yang mendapatkan keuntungan terbesar itu adalah para investor (asing) dan oligarki.
       Presiden Jokowi mengatakan bahwa dengan hilirisasi bijih nikel menjadi produk ekspor akan memberi nilai tambah 10 kali lipat. Ini hanya klaim saja karena ternyata mayoritas produk puluhan smelter Cina di Indonesia hanyalah hasil pemurnian yang menghasilkan barang setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Hidroxite, serta sedikit hasil "forming" berupa stainless steel. Karena masih jauh dari siap pakai, produk-produk ini diekspor ke Cina untuk proses fabrikasi. Sesuai target yang ingin diraih Cina, proses hilirisasi maksimal hingga mencapai nilai tambah 19 kali yang merupakan target ideal, hanya terjadi di Cina. Hasil produk hilirisasi di Cina ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk diimpor kembali ke Indonesia sebagai bahan jadi.
       Cina sebagai negara investor terbesar dalam industri tambang nikel ini memiliki peran yang dominan dalam menentukan level hilirisasi yang dapat diraih Indonesia. Cina mendikte Indonesia sesuai target produk akhir yang diinginkan, teknologi dan pasar yang dikuasai, serta dana yang dimiliki. Jika pemerintah mengikuti kemauan Cina dengan mengeluarkan sejumlah regulasi yang menguntungkan Cina, nilai tambah yang diperoleh Indonesia hanyalah sekitar 3-4 kali saja, bukan 10 kali lipat seperti yang diumbar oleh Presiden Jokowi. Nilai ini telah dikonfirmasi oleh LPEM-UI (2019).
       Ternyata nilai tambah 3-4 kali yang sudah rendah ini pun sebagian besar tidak masuk menjadi pajak atau PNBP, tetapi justru lebih banyak dinikmati Cina dan oligarki. Para investor smelter memperoleh berbagai insentif dari pemerintah Indonesia, baik berupa fiskal maupun non fiskal. Insentif tersebut diberikan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) dan UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Insentif fiskal berupa pemberian royalti nol persen dan berbagai insentif perpajakan, seperti fasilitas bea impor, tax allowance, dan tax holiday.
Oleh karena itu, penerimaan negara dari keuntungan hilirisasi nikel menjadi sangat minimalis. Negara diperkirakan hanya mendapat pemasukan dari pembayaran PBB dan iuran tetap yang jumlah sebenarnya sama besar dengan pemasukan tanpa program hilirisasi, sehingga secara keseluruhan diperkirakan negara hanya akan memperoleh pemasukan sekitar 10 persen saja. Keuntungan terbesar justru dinikmati investor Cina dan oligarki kekuasaan.
Sistem Kapitalisme Tidak Berpihak Kepada Rakyat
       Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kebijakan hilirisasi nikel adalah kebijakan yang menguntungkan asing dan oligarki. Rakyat bukanlah penerima manfaat terbesar SDA nikel nasional. Keberadaan penguasa hanya sebagai regulator bagi para investor dengan mengeluarkan berbagai regulasi agar penguasaan nikel di Indonesia menjadi legal berdasarkan undang-undang. Regulasi merambah hampir seluruh lini industri nikel, mulai dari hulu hingga hilir. Dan ini bisa terjadi karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme.   Â
Selama sistem kapitalisme masih diterapkan di negeri ini, kekayaan negeri ini akan terus dieksploitasi demi kepentingan asing dan oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat. Perlu ada perubahan sistem untuk mengelola sumber daya alam Indonesia, termasuk di dalamnya nikel, agar dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yakni dengan menerapkan sistem Islam yang berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebaik-baik pembuat aturan.
Pengelolaan Tambang dalam Islam
Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyediakan bumi dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan manusia. Di antaranya dengan menetapkan aneka bahan tambang dengan deposit berlimpah sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallaahu 'alaihi wassalam, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu, tambang dan industri tambang, termasuk di dalamnya smelter dan berbagai fasilitas pengelolaan barang tambang, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu, oligarki maupun swasta lokal/asing. Negara hanya diperkenankan mengelola tambang untuk dikembalikan dalam kemanfaatan yang besar bagi rakyat. Negara melakukan ini semua karena negara bertanggung jawab atas pengurusan dan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan sabda Rasulullah shalallaahu 'alaihi wassalam, "Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad)
Islam juga mengharamkan negara menerbitkan peraturan perundangan yang dapat memindahtangankan kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu atau korporasi. Islam bahkan akan memakzulkan penguasa yang melanggar ketetapan syariat tentang pengelolaan kepemilikan umum sebab Islam menempatkan kedaulatan di tangan syariat, bukan di tangan rakyat.
Adapun industri tambang, sebagaimana industri-industri lainnya, wajib dibangun di atas politik perang. Dan semua pabrik, baik industri berat ataupun industri ringan, dibangun di atas asas politik ini untuk memudahkan pengalihan produksinya ke produksi perang kapan saja negara memerlukan hal itu karena negara terus-menerus melakukan jihad sebagai politik luar negerinya. Juga dirancang peraturan sedemikian rupa agar jangan sampai industri tambang menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan merusak sumber kehidupan rakyat.
Khatimah
       Kebijakan hilirisasi nikel yang diterapkan di negeri ini semakin memperjelas bukti kerusakan dari sistem kapitalisme. Sistem yang bersumber dari akal manusia yang lemah ini tidak akan pernah membawa kebaikan, baik kepada manusia maupun lingkungan. Sistem yang hanya berpihak pada segelintir orang saja, dan rakyat lagi-lagi terus menjadi objek penderita. Sistem ini harus segera diganti dengan sistem yang shahih, yakni sistem Islam yang diterapkan secara kaffah. Wallaahu a'lam bishshawwab.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H