Mohon tunggu...
Tita Rahayu Sulaeman
Tita Rahayu Sulaeman Mohon Tunggu... Lainnya - pengemban dakwah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ibu Rumah Tangga,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ilusi Kesejahteraan di Surga Mineral Dunia

3 Februari 2024   21:35 Diperbarui: 3 Februari 2024   21:43 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kompas

Dengan potensi yang terkandung dalam nikel, pemerintah terus menggenjot program hilirisasi di dalam negeri dengan melarang kegiatan ekspor bahan mentah ke luar negeri dan terus mendorong pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) di berbagai wilayah.

Dengan diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel mentah sejak 2020 berdampak pada kinerja ekspor nikel Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Indonesia melakukan ekspor nikel sebanyak 777,4 ribu ton, meningkat 367 persen dibanding setahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Nilai total ekspor nikel Indonesia pada 2022 juga melonjak 369 persen (yoy) menjadi USD5,97 miliar. Angka-angka tersebut merupakan rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Kebijakan hilirisasi juga berdampak positif pada perekonomian Indonesia.  Pada 2017-2018, ekspor nikel Indonesia hanya USD3,3 miliar, tapi setelah ekspor nikel dihentikan, Indonesia berhasil meraup keuntungan hingga USD30 miliar atau setara Rp450 triliun pada 2022, naik sepuluh kali lipatnya.

Kebijakan hilirisasi nikel juga tak pelak berdampak pada semakin menjamurnya smelter nikel.  Jumlah smelter nikel di Indonesia, baik yang sudah beroperasi, dalam masa konstruksi, dan ingin dibangun, terakumulasi mencapai 116 smelter yang tersebar di beberapa daerah. Keberadaan smelter-smelter ini diklaim berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang mampu menyerap angkatan tenaga kerja setiap tahunnya. Berdasarkan data produksi 2022, Provinsi Sulawesi Selatan telah mengolah 2,6 juta ton bijih nikel dan dapat membuka lapangan kerja baru hingga 36.207 orang.

Kerusakan Lingkungan

              Hilirisasi nikel di Indonesia bukannya tanpa masalah. Kebijakan ini justru membawa dampak negatif pada lingkungan. Kerusakan lingkungan semakin parah. Perusahaan-perusahaan tambang yang menyuplai bijih nikel ke smelter-smelter nikel di Sulawesi berkontribusi dalam menghancurkan hutan yang secara langsung juga menghancurkan rumah bagi hewan-hewan endemik Sulawesi.  Pemerintah telah menerbitkan 188 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah yang menyebabkan 372.428 hektare hutan dikorbankan. Begitu juga dengan kompleks industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera (Maluku) telah menyebabkan deforestasi hingga pencemaran udara dan air, yang menyebabkan masyarakat di sekitar kawasan industri mengalami kesulitan hidup.

Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi

Hilirisasi nikel memang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, bahkan di beberapa daerah pertumbuhan ekonominya mencapai dua digit. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini harus dibayar mahal dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang dalam. Seperti yang terjadi di Maluku Utara. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada triwulan II-2023 mencapai 23,89 persen, hampir lima kali lipat dari rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah justru menjadi dua daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Berdasarkan data BPS, hingga awal 2023, tingkat kemiskinan di Halmahera Timur tercatat 13,14 persen, sementara Halmahera Tengah 12 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan tingkat provinsi sebesar 6,46 persen.

TKA Dimanjakan

Tenaga Kerja Asing (TKA), terutama dari Cina, banyak didatangkan ke berbagai proyek tambang dan smelter nikel. Bahkan, jumlahnya mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, keberadaan TKA ini bukannya tanpa masalah. Keberadaan mereka dianggap menggerus tenaga kerja yang berasal dari dalam negeri. Belum lagi perbedaan gaji yang sangat mencolok antara gaji pekerja lokal dengan TKA Cina. Rata-rata gaji TKA Cina mencapai Rp21 juta per bulan, sementara gaji pekerja lokal hanya Rp3 juta per bulan. Artinya, gaji TKA Cina tujuh kali lipat pekerja lokal, dengan jabatan dan tingkat pendidikan sama.

Oligarki dan Investor Cina Merampok SDA Nikel Nasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun