[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Martin Luther King Day, photo by Phia Sennett"]
Tari Saman
Bulan Maret lalu, seperti kebiasaan di sekolahku tahun-tahun sebelumnya, terdapat 10 hari tanpa kelas yang digunakan siswa untuk melakukan project sesuai keinginan masing-masing. Ada teman-temanku yang pergi ke Seattle untuk menceritakan kisah mereka yang berasal dari daerah konflik: Afganistan, Palestina, Israel, dan sebagainya. Ada pula yang pergi ke pegunungan di Colorado untuk menikmati ski. Lalu, ke mana aku pergi?
Aku bersama ke-13 temanku lainnya dan 3 chaperones, pergi ke perbatasan Amerika Serikat-Meksiko, tepatnya di Kota Agua Prieta untuk berkeliling ke sekolah dasar dan sekolah menengah, menampilkan pentas internasional yang kami persiapkan. Untuk itu, kami saling bertukar pengalaman dan mengajari satu sama lain tarian tradisional dari daerah masing-masing.
Apakah tari yang kuperkenalkan pada teman-temanku?
[caption id="attachment_105384" align="alignnone" width="648" caption="Mengajari Tari Saman, photo by Inviolata Chami"]
Percayalah, mengajari Tari Saman pada teman yang berbeda-beda asalnya: Nepal, Singapura, Tanzania, Uganda, Denmark, Meksiko, dan Venezuela; tak semudah membalikkan telapak tangan. Menjelaskan esensi dari tari tersebut pun tak mudah, karena ada saja hal yang terlalu luas untuk dijelaskan dalam Bahasa Inggris.
Tetapi, karena "kebersamaan" adalah hal yang paling utama dari tarian ini, aku pun mencoba meniupkan jiwa itu pada tarian kami. Dan hasilnya adalah tepuk tangan gegap gempita dari remaja hispanik di sebuah sekolah yang kami kunjungi.
[caption id="attachment_105391" align="aligncenter" width="600" caption="Tari Saman, photo by Tom Lamberth"]
Jangan tanya perasaanku seperti apa ketika akhirnya tari itu selesai dipertunjukkan. Teriakan remaja Meksiko yang menggema dan meminta kami untuk tampil kembali rasanya kurang lebih seperti saat aku melihat bendera merah putih dikibarkan di Istana Negara tiap 17 Agustus, walaupun hanya dari tabung sinar katoda.
Batik