Mohon tunggu...
Tita Carol
Tita Carol Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

menulis untuk menyenangkan hati^^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyambut Duka di Negeri Oma Maluku Tengah

24 November 2018   19:08 Diperbarui: 24 November 2018   19:11 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini diawali tanggal 17 November 2018, hari Sabtu pagi persis seminggu yang lalu. Mendadak  saya menerima kabar tentang  mama mantu (mertua), 83 tahun di Negeri Oma, Pulau Haruku, Maluku tengah.  

Kondisi mama menurun  setelah terjatuh dini hari dari tempat tidur. Mama -yang baik-baik saja kondisinya pada Jumat malam- mendadak tidak lagi bisa membuka mata, tidak bisa bicara dan ngorok. 

Kaki dan tangan kiri tidak  bisa digerakkan. Saya menenangkan hati. Menyiapkan beberapa pakaian di tas, membereskan sejumlah pekerjaan di kantor dan  menyempatkan diri membesuk seorang teman kuliah yang melahirkan bayi kembarnya di usia 45 tahun. 

Yang terakhir ini memang diniatkan karena rasanya seperti melihat keajaiban lagi, ketika seorang teman melahirkan bayi-bayi kembar tampan di usia  paruh baya, dengan berbagai resiko keracunan ketika hamil dan pendarahan pasca melahirkan.

Selesai membesuk teman dan menginformasikan berbagai rencana yang mesti dibatalkan selama satu minggu ke depan, saya membeli tiket sekali jalan ke Maluku. 

Dalam waktu 1 jam saya sudah berada di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta Timur. Penerbangan yang tertunda sekitar 80 menit membuat saya dapat menyaksikan lebih lama keramaian di ruang tunggu. 

Libur kejepit di hari Selasa 20 November 2018 membuat lonjakan penumpang. Keramaian malam itu ditambah dengan keseruan menyaksikan pertandingan sepakbola piala AFF Indonesia VS Thailand. 

Dalam waktu 8 jam, saya berada di 3 zona waktu, ketika berada di Bandara Halim Perdanakusuma, Bandara Sultan Hasanuddin dan Bandara Pattimura. 

Ketika transit di Bandara Sultan Hasanuddin dinihari, saya melihat aktivitas di restoran, pertokoan, ruang tunggu bahkan kursi pijat ramai seperti layaknya siang hari. Pemberitahuan via pengeras suara juga disampaikan dalam bahasa daerah. Bangga rasanya, bahasa daerah bisa dilantangkan sekelas bahasa Inggris!

Sudah pukul 6 ketika tiba di Bandara Pattimura di Laha, Teluk Ambon. Seorang sepupu menjemput dan menemani saya ke Tulehu, pelabuhan menuju Pulau Haruku. Tiba di Tulehu pukul 8 pagi, kami mendapati bahwa speedboat menuju Negeri Oma Pulau Haruku baru akan tersedia setelah selesai ibadah Minggu di gereja. 

Kami menunggu sampai pukul 1 siang sambil makan ikan bakar dan istirahat. Perjalanan menuju Negeri Oma ditempuh dengan speedboat kecil berkapasitas 5-8 orang penumpang dengan waktu tempuh sekitar 30-40 menit, bergantung pada kondisi ombak.  Tidak tersedia jaket pelampung jadi harus siap segala resiko! Saya mengamankan ponsel dan dompet ke dalam kantong plastik dan berharap semua akan baik-baik saja.

Saya kemudian mendapatkan kondisi mama yang tidak membaik. Mencoba berdiskusi dengan keluarga untuk penanganan medis, namun harus menghargai keinginan mama dan adik ipar bahwa mama tidak akan dibawa ke kota Ambon. 

Beberapa hari sebelumnya, mama sudah menyiapkan baju untuk dikenakan pada hari terakhirnya dan berpesan untuk tidak dibawa ke rumah sakit dan memilih untuk mengakhiri hidupnya di rumah.  

Jadi disanalah kami berkumpul, berbicara dengan mama (kami percaya mama masih mendengarkan dengan baik) dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Sesekali ipar saya mencoba membasahi bibir mama dengan menyuapkan susu sebanyak 1-2 sendok teh.

Pintu rumah selalu terbuka. Kerabat, teman dan pengerja gereja selalu bergantian datang melihat kondisi mama. Kerabat yang berada di luar kota terhubung dengan video call. 

Hari Senin sore, ketika salah seorang cucu tiba dari Ambon, kondisi mama sudah berbeda. Mama sudah lebih tenang. Kaki dan tangan kanannya sudah tidak lagi banyak digerakkan. 

Saya mengumpulkan adik dan seluruh keponakan untuk tidak lagi berada jauh dari tempat tidur mama. Cucu-cucu mama berbicara bahwa mereka akan lebih baik lagi ke depan, belajar lebih sungguh-sungguh mengikuti pesan mama selama ini.  Mereka juga berjanji akan rajin membaca kitab suci, seperti yang biasa mama lakukan. Menyanyikan lagu-lagu kesukaan mama adalah yang kemudian dilakukan diiringi air mata.

Saya terjaga hingga pukul 2.05, lalu memilih  istirahat sebentar. Ketika pukul 2.26  dibangunkan, mama sudah tiada. Adik ipar saya terlihat sudah cukup tegar. Pengerja gereja yang ikut menginap di rumah lalu mengajak berdoa. Sudah selesai, mama sudah menghadap Tuhan. Deritanya sudah berakhir.

Kami menghubungi para kerabat dan membuat persiapan pemakaman. Pada pukul 8 pagi, para pria  menyiapkan tenda di halaman rumah. Beberapa ibu membantu di dapur. Mereka menyiapkan konsumsi untuk kami dan kerabat yang datang dari tempat yang cukup jauh. Adik ipar saya pergi ke Ambon untuk membeli berbagai keperluan di peti jenasah dan memesan kue untuk dibagikan setelah pemakaman. Para nelayan membawakan ikan bagi keluarga yang berduka. Peti jenasah dibuat mulai siang hari oleh sekumpilan pria dari Persekutuan Pattikawa. 

Mengawetkan jenasah dengan kearifan lokal adalah menuangkan cuka sekitar 50-75 ml ke dalam mulut jenasah tak lama setelah dinyatakan meninggal. Sekitar pukul 7 malam, jenasah dimandikan dengan mengoleskan serbuk kamper ditambahkan sedikit spritus. Lalu mama siap untuk menggunakan baju hitam pilihannya. 

Pada pukul 9 malam diadakan ibadah penghiburan. Para kerabat dekat membawakan kue-kue untuk disuguhkan setelah ibadah. Pemusik terompet, terdiri atas 8-10 orang pemuda menyuguhkan permainan yang menguatkan sekaligus menghibur. Sudah hampir pukul 10 malam ketika mama dipindah dari tempat tidur ke peti jenasah. Alunan suara terompet terdengar hingga pukul 23.30.

Sudah menjadi tradisi, dari kapal ikan akan dikirimkan ikan-ikan segar kepada keluarga yang berduka. Jumlahnya cukup banyak untuk dimakan  bersama. 

Sekitar pukul 9 saya menyempatkan melihat sekelempok pria menggali makam. Sekitar 15-20 orang bergantian menggali tanah bercampur bebatuan dan akar pohon kelapa. Kerabat yang berdatangan dari Kota Ambon dan desa Haruku yang berdatangan sejak pukul 11 diminta untuk makan. Mereka biasanya makan di belakang rumah, di tepi pantai Negeri Oma yang indah

Pukul 1 siang sudah ramai sekali orang berkumpul. Beberapa oma mengenakan kebaya putih dan sarung khas Maluku. Para pengerja gereja pria mengenakan baniang hitam.  Pengerja gereja wanita mengenakan setelan hitam dan kain pikul. Pukul 2 ibadah dimulai. Kata sambutan dari keluarga disampaikan melalui seorang pengerja gereja. Sambutannya sungguh efisien. 

Ucapan terima kasih kepada seluruh bapak, Ibu, pendeta, kerabat dan semua pihak yang sudah membantu mengerjakan semua hal sejak mama sakit. Ibadah diisi kotbah, nyanyian jemaat, doa dan persembahan pujian dari 10 paduan suara. Keluarga menyanyikan lagu "S'mua Baik" dan benar kami imani bahwa Tuhan sungguh telah mengatur segalanya dan membuat rencana yang baik buat kami ke depan. 

Kami berjalan beriringan menuju pemakaman yang berjarak sekitar 350 meter dari rumah duka diiringi pemusik terompet. Prosesi di pemakaman berjalan tak lebih dari 30 menit. Mama sudah terbaring di peristirahatan terakhir, tak jauh dari makam papa.  Kami kembali ke rumah duka dimana banyak orang masih menunggu untuk melakukan ibadah syukur. 

Pukul 5 sore pemakaman dan seluruh rangkaian ibadah berakhir. Pukul 5.30 para pria membongkar tenda dan mengembalikan bangku-bangku. Kelompok Ibu yang bekerja di dapur mulai menyimpan (beres-beres).  Pengerja gereja mengajak keluarga berkumpul, berdoa mengucap syukur. Saya dan beberapa kerabat menggunakan speed boat terakhir menuju Tulehu untuk selanjutnya Kamis pagi akan kembali ke Jakarta. Sore itu ombak sedikit lebih besar.

Sebagai seorang perempuan Batak bersuami pria Maluku, kedukaan kali ini terasa berbeda. Seluruh warga Negeri Oma bersatu membantu keluarga yang berduka selama 2 hari terakhir dalam berbagai hal. 

Bantuan tenda, bangku, peti jenasah, menggali makam, mengangkat peti, ikan-ikan segar, kue-kue, bantuan di dapur, pendampingan para pengerja gereja dan banyak bantuan lain membuat kedukaan ini terasa dipikul bersama. Prosesi   pemakaman yang berlangsung efektif sangat berbeda dibandingkan prosesi kedukaan adat Batak yang amat sangat panjang. Tapi, begitulah Indonesia sungguh kaya budaya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun