Lebih dari sekadar keindahan arsitekturalnya, bangunan ikonik juga memiliki peran penting dalam membentuk identitas suatu tempat. Keunikan dan kemegahan desainnya menjadikan bangunan ikonik sebagai lambang yang mudah dikenali dan melekat dalam benak masyarakat. Ketika menyebut nama suatu kota atau negara, bangunan ikonik seringkali muncul sebagai gambaran yang paling representatif dan ikonik.Â
Sebut saja Menara Eiffel yang identik dengan Kota Paris, Taj Mahal yang menjadi kebanggaan India, atau Candi Borobudur yang melambangkan kejayaan peradaban Buddha di Indonesia. Keberadaan bangunan-bangunan ikonik ini tidak hanya memperkaya estetika perkotaan, tetapi juga menjadi sumber kebanggaan dan jati diri bagi masyarakat setempat.
Pelestarian Cagar Budaya  Â
Cagar budaya, sebagai warisan tak ternilai dari para leluhur, menghadapi ancaman kerusakan dan bahkan kepunahan seiring berjalannya waktu. Kerentanan ini menuntut adanya upaya pelestarian yang serius dan berkelanjutan. Mengingat usia cagar budaya yang seringkali telah mencapai puluhan bahkan ratusan tahun, proses pelapukan menjadi musuh utama yang mengintai. Tanpa perawatan yang tepat, benda-benda bersejarah ini lambat laun akan kehilangan keindahan dan nilai pentingnya.Â
Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya telah menetapkan kriteria usia minimal 50 tahun bagi suatu objek untuk dapat diusulkan sebagai cagar budaya. Ketentuan ini menggarisbawahi fakta bahwa cagar budaya, baik berupa benda, bangunan, maupun situs, rentan terhadap kerusakan akibat dimakan usia. Semakin tua usia suatu cagar budaya, semakin tinggi pula risiko kerusakan yang dihadapinya.
Namun, ancaman terhadap kelestarian cagar budaya tidak hanya datang dari faktor usia. Modernisasi kota yang pesat seringkali menjadi bumerang bagi keberadaan bangunan-bangunan bersejarah. Demi memenuhi tuntutan pembangunan dan estetika modern, tak jarang cagar budaya harus rela dibongkar dan digantikan dengan struktur-struktur baru yang dianggap lebih sesuai dengan perkembangan zaman.Â
Hilangnya eksistensi cagar budaya akibat pembangunan kota menjadi ironi tersendiri, mengingat nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya justru menjadi korban dari kemajuan peradaban (Harjiyatni & Raharja, 2011). Meskipun pemerintah telah mengatur perlindungan cagar budaya melalui perangkat hukum, realita di lapangan menunjukkan bahwa implementasi dan penegakan aturan tersebut masih jauh dari harapan.Â
Lemahnya perlindungan hukum terhadap cagar budaya tercermin dari masih maraknya kasus-kasus pembongkaran dan alih fungsi bangunan bersejarah. Hal ini mengindikasikan perlunya penguatan komitmen dan sinergi dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya, dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya bangsa.
Pelestarian cagar budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga menjadi kewajiban moral bagi setiap individu. Kesadaran akan pentingnya menjaga warisan leluhur perlu ditanamkan sejak dini melalui edukasi dan sosialisasi yang intensif.Â
Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam upaya pelestarian, mulai dari proses identifikasi, pendataan, hingga perawatan berkala. Dengan partisipasi dan dukungan dari berbagai elemen, ancaman kerusakan dan kepunahan cagar budaya dapat diminimalisir.Â
Selain itu, diperlukan pula terobosan-terobosan inovatif dalam mengintegrasikan cagar budaya dengan pembangunan kota yang berkelanjutan.Â