Abstak
Indonesia merupakan negara berdaulat yang terdiri dari ribuan pulau, oleh karena itu menjaga keutuhan bangsa memerlukan pengamanan yang sangat ketat. Hal ini tidak menutup kemungkinan munculnya kelompok yang ingin mencaplok wilayah Indonesia. Kelompok tertentu dirugikan ketika melakukan aksi separatis, baik dalam hal hak atas keamanan maupun tempat berlindung. Koalisi kelompok separatis yang dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka, atau disingkat OPM, didirikan sebagai tanggapan atas perselisihan yang timbul mengenai Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Tentu saja, para korban sangat menderita akibat tindakan kelompok ini, dan besar kemungkinan tindakan tersebut melanggar hak asasi manusia.
Kata kunci : hak asasi manusia, penegakan hukum, organisasi papua Merdeka
Abstrack
Indonesia as a sovereign country that has thousands of islands makes for such strict guarding to maintain the integrity of the country. This does not rule out the possibility that there will be parties who want to seize Indonesian territory. Attempts to take separatist actions by certain groups have resulted in losses, both in terms of the right to security and the right to have a safe place. The Free Papua Organization, which is shortened to OPM, is a group of organizations that are separative in nature, this group was formed due to the conflict that was created between Indonesia and the Netherlands over West Irian. Of Course the actions taken by the group caused a lot of harm to the victims and the actions of the group could have violated human rights.
Keywords: human rights, law enforcement, independent Papuan organizations
A.PENDAHULUAN
Dilatarbelakangi konflik Indonesia dan Belanda terkait wilayah Irian Barat, gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) melakukan tuntutan pemisahan diri dari wilayah NKRI. Pada buku II bab I KUHP, pemerintah menetapkan peraturan subversif tentang kejahatan terhadap negara dalam upaya menumpas gerakan separatis OPM. Undang-undang mengenai kejahatan terhadap negara harus ditinjau ulang untuk mengakhiri gerakan OPM, dan pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan karakteristik unik masyarakat Papua, yang berbeda dari daerah lain di negara ini dalam hal kesenjangan sosial. , sumber daya alam, dan pencapaian pendidikan. Pada tahun 2020, Koes Dirgantara
Melalui faksi bersenjata yang berfungsi di tiga lokasi berbeda, kelompok yang mengorganisir protes dan demonstrasi, serta organisasi berbasis asing, OPM berupaya untuk meningkatkan pengakuan dan dukungan internasional terhadap upaya kemerdekaan Papua (Hadi, 2007). OPM telah beberapa kali terlibat dalam perlawanan bersenjata terhadap populasi migran non-Papua, dimulai di Manokwari pada tanggal 26 Juli 1965, seperti diberitakan dalam artikel BBC Indonesia tahun 2018. Selain itu, banyak terjadi insiden penembakan pada tahun 2018 yang menyasar anggota Brimob, karyawan PT Istaka Karya, dan pekerja proyek Trans Papua, serta pemenjaraan para pendidik dan tenaga medis.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan tindakan non-represif lainnya adalah beberapa cara yang kini coba dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Inisiatif penelitian dan temuan sebelumnya, termasuk yang dilakukan oleh Sugiyanto (2017), Sefriani (2003), dan Sugandi (2008), yang menggunakan perspektif lembaga internasional sebagai solusi penyelesaian konflik, membantu meningkatkan pengetahuan tentang konflik di Papua. Suratman (2015) menunjukkan bagaimana Indonesia masih terlibat dalam perang proksi, terbukti dengan adanya gerakan separatis di Papua Nugini. Kajian Safitri (2012) dan Viartasiwi (2018) menunjukkan bagaimana unsur sejarah dapat dijadikan senjata politik dan sumber legitimasi dalam perang sektarian antara pemerintah Indonesia dan kelompok nasionalis West Papua. Berdasarkan temuan Hadi (2016), gerakan kemerdekaan Papua sebagian besar bergantung pada cara-cara non-kekerasan, seperti pemanfaatan teknologi dan media propaganda, untuk mencapai tujuan politiknya, termasuk menggalang dukungan global. (2019, Febrianti Wulan)
Gerakan organisasi di Indonesia dilandasi oleh identitas tertentu dan berfungsi sesuai dengan itu. Diantaranya adalah gerakan berbasis identitas etnis yang dipelopori dan dibantu oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang bertujuan menjadikan Papua dari sebuah provinsi di Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Papua telah menjadi korban ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh negara, khususnya terkait dengan alokasi sumber daya yang tidak merata antara Papua dan wilayah lain (Dirgantara Adi Mulia dkk., 2020). Namun, politik identitas Papua tidak hanya didorong oleh ketimpangan ekonomi. Kemunculan fenomena ini juga dibantu oleh masyarakat Indonesia lainnya. (Nehemia 2023)
B.PEMBAHASAN
1.Sejarah terbentuknya (OPM) Organisasi Papua Merdeka
 Pemerintah telah menangani perselisihan serupa dengan yang terjadi di Papua Barat sebelumnya. Masyarakat Papua Barat merasa tertekan untuk bergabung dengan Indonesia, itulah sebabnya hal ini terjadi. Akibatnya, ketidakpuasan masyarakat West Papua atas hasil referendum berujung pada terbentuknya gerakan politik militer yang dikenal dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM mulai mendeklarasikan kemerdekaan Papua Barat pada tahun 1971, dan mereka juga mengadopsi konstitusi dan menggunakan simbol-simbol nasionalis. OPM dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin sering bentrok akibat penambahan pasukan militer Indonesia di wilayah perbatasan dengan Papua Barat. Untuk mengkaji pengelolaan konflik dan tantangan atau hambatan yang dihadapi dalam penanganan sengketa Organisasi Papua Merdeka (OPM), penulis berencana menggabungkan studi literatur dengan penelitian deskriptif kualitatif. Kerangka teori pilihan penulis adalah teori manajemen konflik. Berdasarkan pemimpin Indonesia yang saat ini menjabat, penelitian penulis menunjukkan bahwa manajemen konflik OPM di Papua ditangani secara berbeda. Sayangnya, tuntutan dan keinginan masyarakat Papua masih belum terpenuhi oleh praktik manajemen konflik yang diterapkan pemerintah Indonesia. Akibatnya, kekerasan yang terjadi di Papua belum berakhir dan kini berdampak pada wilayah sekitarnya. Assifa (2023)
Intinya, kemampuan orang atau kelompok untuk mengambil keputusan atau membentuk masa depan mereka sendiri akan membawa pada perubahan sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metodologi strukturalis (Lioyd, 1993, hlm. 91--100) untuk mengungkap bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh struktur sosial individu atau kelompok. "Faktor penyebab" fenomena integrasi nasional di Papua pada masa transisi hingga empat tahun pertama pasca peristiwa Penentuan Opini ini diperkirakan akan terungkap melalui realitas individu (agen) dan struktur sosial (peran, peraturan, interaksi, dan mentalitas) yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah. Elemen-elemen kunci yang mendorong integrasi nasional pada masa di Papua dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode struktural.
Langkah selanjutnya dalam penelitian sejarah adalah mengumpulkan sumber, mengevaluasi sumber, menganalisis sumber, dan mengklarifikasi sebab akibat (Bloch, 1989, hlm. 22--25). Coleman dan Rosberg menyatakan bahwa proses suatu bangsa dalam mencapai persatuan nasional mempunyai dua dimensi: vertikal (elit-massa) dan horizontal (teritorial), dalam Bahar dan Tandililing, 1996, hal. 4. Tujuan integrasi vertikal adalah untuk menciptakan masyarakat politik yang partisipatif dan proses politik yang terintegrasi dengan mengatasi permasalahan di bidang vertikal dan menjembatani kesenjangan yang mungkin ada antara masyarakat dan elit. Integrasi teritorial adalah proses integrasi pada bidang horizontal guna mengurangi diskontinuitas budaya dan ketegangan antar wilayah dalam kerangka masyarakat politik yang homogen.Â
Sjamsuddin dalam pandangan Coleman dan Rosberg hanya berkonsentrasi pada komponen-komponen yang terintegrasi (Bahar dan Tandililing, 1996, hlm. 3--7). Faktanya, kesenjangan teritorial dan kesenjangan elite-massa dipengaruhi oleh dan bahkan mungkin disebabkan oleh berbagai faktor lainnya. Komponen tambahan tersebut, yang mencakup komponen politik, ekonomi, sosial, dan budaya, merupakan aspek eksistensi manusia yang melampaui batas waktu, tempat, dan hambatan lainnya. Oleh karena itu, cara pengaruh masyarakat mempengaruhi proses ini merupakan aspek yang paling penting untuk dipertimbangkan. Yambeyapdi (2018)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan separatis yang berasal dari Indonesia bagian timur dan didirikan pada tahun 1965. Menurut Hakim (2010), yang dimaksud dengan "Organisasi Papua Merdeka" (OPM) adalah kelompok atau faksi mana pun yang dipimpin oleh orang Papua. masyarakat dan digunakan oleh pemerintah Indonesia, baik di Papua maupun di luar. Dengan tujuan membebaskan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), OPM melancarkan upaya "bawah tanah" untuk mengembangkan kekuatan politik dan militer terhadap pemerintah Indonesia. Djopari (2003) menyatakan bahwa karena ulah OPM, gerakan separatis bersenjata dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan NKRI dan upaya melemahkan semangat nasionalisme.Â
OPM dianggap bertindak sebagai pemberontak melawan pemerintah yang sah dan berdaulat. Terdapat 250 suku berbeda yang membentuk Tanah Papua, yang merupakan rumah bagi masyarakat yang tinggal di sana (Provinsi Papua dan Papua Barat) dan dikenal sebagai Orang Asli Papua (Rumansara, 2015). Dibandingkan daerah lain, sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI terbilang luar biasa. Hal ini dimulai pada tahun 1945, ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya, ketika timbul perselisihan mengenai siapa yang harus mengelola provinsi Papua Barat, yang dianggap Belanda sebagai koloni terpisah dari Indonesia. Akibatnya kemerdekaan Papua Barat di bawah kekuasaan Belanda tertunda sementara Indonesia menjalani dekolonisasi. Belanda bersikeras untuk melindungi Papua Barat, dengan alasan perbedaan etnis antara orang Papua dan kebanyakan orang Indonesia. Papua Barat baru diberikan kemerdekaan oleh Belanda pada bulan Desember 1949.Â
Dengan maksud untuk merebut kemerdekaan, OPM (Organisasi Papua Merdeka) adalah organisasi pembebasan yang telah ada sejak tahun 1965, menurut Kaisiepo, dikutip dalam Blling dan Johansson (2006). sebuah proyek pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik di Papua Barat. Tujuan OPM saat ini adalah kemerdekaan penuh, karena semua tetua suku pada referendum "Act of Free Choice" pada tahun 1969 memberikan suara untuk bergabung dengan negara Indonesia, menyusul ketidakpuasan mereka terhadap perkembangan politik pada pertengahan tahun 1960an. Sementara itu, banyak warga Papua yang menyatakan bahwa pekerjaan ini dilakukan karena ketakutan. Meskipun hanya merupakan salah satu dari beberapa organisasi yang mengkritik pemerintah Indonesia karena fokusnya pada pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan sosial (Bideman & Munro, 2018), OPM lebih merupakan ideologi dan cara hidup yang tertanam dalam pikiran dan hati masyarakat. banyak orang Papua. (Puri, Amelia, 2021)
2. Dampak dari (OPM) Organisasi Papua Merdeka Terhadap Kedaulatan Indonesia
 Dampak psikososial pertama dari klasifikasi teroris adalah bahwa hal ini dapat memperkuat "stigmatisasi" negatif terhadap kelompok tersebut dan semakin memperjelas bahwa masyarakat Papua baik di dalam maupun di luar Papua terus menghadapi prasangka (terutama dari luar negeri). Siklus kekerasan kemungkinan besar akan kembali terjadi, yang mungkin akan mengakibatkan kekerasan meluas yang akan meningkatkan jumlah korban---korban warga sipil---dan menambah catatan pelanggaran hak asasi manusia. Ini adalah dampak buruk yang kedua. Berdasarkan laporan Taher (2021), terdapat 299 peristiwa kekerasan di Papua antara awal tahun 2010 hingga April 2021. Dari jumlah tersebut, 395 orang meninggal dunia dan 1.579 orang luka-luka akibat terkena tembakan, panah, atau tusukan benda tajam. Tentu saja, dengan merenggut nyawa orang yang tidak bersalah, hal ini merugikan orang yang melihatnya dan membungkam umat manusia.
Tak ayal, strategi keamanan yang mengaitkan KKB dengan terminologi teroris melemahkan peluang perdamaian di Tanah Papua. Meningkatnya kekerasan yang terus terjadi akan lebih merupakan hasil dari upaya mereka dan bukannya upaya mewujudkan perdamaian. Secara definisi, perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala bentuk kekerasan, menurut Johan Galtung (1967) yang menyatakan bahwa perdamaian tidak dapat terwujud jika tidak adanya segala bentuk kekerasan. Di sisi lain, kejadian di Papua menunjukkan bahwa upaya perdamaian di wilayah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan strategi keamanan. Menurut Neles Tebay (2011), teknik "dialong" yang tidak melibatkan kematian dapat digunakan sebagai cara non-kekerasan untuk mewujudkan perdamaian di Papua. Hal ini semakin menegaskan betapa pemerintahan Susilo Bambang Yudhono di Papua ditandai dengan penyebutan dialog sebagai sarana untuk mencapai perdamaian. Pada tanggal 27 Desember 2014, Jokowi memberikan pernyataan semasa menjabat sebagai pemerintah, yang menyatakan, "Saya ingin menjadikan semangat mendengarkan dan berdialog dengan hati sebagai landasan dalam menatap masa depan Tanah Papua." Inilah sebabnya mengapa proses dialog penyelesaian damai sangat ditunggu-tunggu, dan tentu saja kerja sama semua pihak yang terlibat sangat penting untuk memastikan Papua Nugini tetap damai. (Melpyanty, 2021).
Kekerasan yang berkepanjangan di Papua telah menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia dan telah menarik perhatian global. Selanjutnya, kelompok OPM yang bertujuan untuk merdeka dari NKRI beberapa kali melakukan konfrontasi langsung dengan aparat keamanan di Indonesia. Pada periode tersebut, banyak warga sipil yang menjadi korban konfrontasi antara OPM dan faksi lain yang menganjurkan kemerdekaan Papua dari Indonesia. Akibatnya, perang Papua kini diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pemahaman teori dan konsep separatisme dan terorisme. Laporan ini juga berupaya memberikan wawasan berharga bagi para pembuat kebijakan yang tertarik untuk menyelesaikan konflik Papua.
Secara historis, para peneliti telah menggunakan beberapa perspektif dan prioritas penelitian untuk menyelidiki isu konflik di Papua, sebagai bagian dari upaya negara untuk mencapai kemerdekaan dari Indonesia. Hal ini terlihat pada upaya yang dilakukan kelompok OPM. Dalam upaya menemukan wawasan baru yang dapat berkontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengkaji konflik antara OPM dan pemerintah Indonesia di Papua, penulis telah mengkaji secara menyeluruh banyak temuan penelitian sebelumnya.Â
Selain itu, pemeriksaan komprehensif terhadap temuan penelitian sebelumnya dilakukan untuk menggunakannya sebagai sumber data berharga untuk dimasukkan ke dalam penelitian ini. Penulis telah mengkaji beberapa temuan penelitian, beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut: Karya Sefriani berjudul "Studi Kasus Organisasi Papua Merdeka: Separatisme dalam Perspektif Hukum Internasional". Sefriani mengkaji konsep pemisahan diri dari sudut pandang hukum internasional dalam artikel ini. Sesuai dengan prinsip hukum internasional, penulis makalah tersebut menyimpulkan bahwa kelompok OPM memenuhi kriteria untuk digolongkan sebagai kelompok separatis. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mempunyai yurisdiksi tunggal dalam menentukan cara OPM menangani gerakan separatis. Johan Kusuma akan aktif pada tahun 2022.
Pemerintah mengklasifikasikan OPM sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dan setiap gangguan sipil atau kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh OPM (KKB) diperlakukan oleh polisi sebagai tindakan kekerasan biasa. Seiring berjalannya waktu, OPM (KKB) telah memicu kekerasan dan kekacauan, sebuah situasi yang menurut pemerintah semakin memprihatinkan. Akibatnya, pemerintah menganggap OPM sebagai organisasi teroris dan bukan sekedar kelompok kriminal. KKB dan partai afiliasinya mendalangi berbagai serangan teroris. Setelah BIN awalnya mengklasifikasikan KKB sebagai kelompok teroris, pemerintah resmi mengukuhkan klasifikasi tersebut. Menyusul meninggalnya Brigjen I Gusti Putu Danny, Kepala BIN Daerah Papua, di Kabupaten Puncak, Papua, labelnya dicabut.
Keputusan penetapan kelompok Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris kabarnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang fokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme. OPM diyakini telah menimbulkan kerusuhan dan kegelisahan yang merasuki seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, OPM secara luas dipandang sebagai organisasi yang berdedikasi untuk mengadvokasi penentuan nasib sendiri. Tentu saja, ada interpretasi yang berbeda-beda mengenai hal ini; Khususnya di ranah internasional, gerakan kemerdekaan dinilai memiliki tujuan yang dapat menimbulkan sentimen empati. Pembentukan kelompok Papua Merdeka (OPM) harus memenuhi syarat hukum dan tidak boleh menyimpang dari klasifikasinya sebagai kelompok teroris.Â
Hal ini berkaitan dengan penyelidikan keselarasan penetapan kelompok Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris dengan peraturan perundang-undangan terkait, khususnya undang-undang yang menjadi landasan penggolongannya---UU no. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Narkoba. Kejahatan yang berkaitan dengan terorisme dan aturan terkait. Persoalan apakah pengklasifikasian kelompok Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, serta potensi akibat hukum dari pengklasifikasian tersebut, patut menjadi perhatian, Nafa Afrillia, 2023)
3. Upaya Mengatasi Separatisme OPM Terhadap Kedaulatan Indonesia
 kubu OPM Papua dan pemerintah Indonesia dalam berdamai dan hidup berdampingan di wilayah NKRI. Meskipun negara harus berasumsi bahwa orang-orang yang terlibat konflik adalah warga negara yang taat hukum, pemerintah pusat tidak boleh mengambil sikap yang terlalu protektif. Hal ini sejalan dengan arahan Ma'ruf Amin, Wakil Presiden RI, bahwa sebaiknya digunakan pendekatan alternatif untuk menyelesaikan konflik di Papua. humanis (NBC, 2021). Untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, ada baiknya kita memperhatikan tujuan berbagai kelompok dalam masyarakat Papua, seperti perempuan, pemuda, pemimpin adat dan agama, dan perempuan pada khususnya.
Untuk mengatasi konflik di Papua, penggunaan mediasi humanistik memerlukan pembentukan saluran komunikasi yang transparan dan tidak terbatas. Membangun kesepakatan mengenai hal-hal yang dapat diterima bersama sangat penting dalam upaya menyelesaikan perselisihan internal antara pemerintah Indonesia dan kelompok OPM. Papua telah mengalami banyak permasalahan akibat meningkatnya ketidakpuasan masyarakat. Keprihatinan tersebut meliputi peningkatan pelayanan publik, pelestarian nilai-nilai budaya dalam pertumbuhan manusia, kemajuan infrastruktur, penegakan keadilan politik, pemberantasan rasisme, dan hal-hal lain yang menjadi perbincangan nasional, tidak termasuk separatisme. Partisipasi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua, organisasi massa, komunitas adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan lainnya, sangat penting bagi masyarakat Papua. Mereka adalah faksi otonom selain gerakan separatis di Papua Nugini, yang mampu melakukan dialog produktif dengan pemerintah pusat untuk memperbaiki hubungan.
Setelah sesi mediasi, pemerintah Indonesia memberikan kewenangan dan bekerja sama dengan masyarakat Papua untuk mengatasi permasalahan pembangunan yang berkaitan dengan politik, pendidikan, ekonomi, dan budaya asli daerah tersebut. Tujuan pemberdayaan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat (Supardan, 2020). Pemberdayaan masyarakat dapat dicapai dengan upaya terfokus untuk meningkatkan standar kesehatan dan pendidikan. Sistem kesehatan dan pendidikan di Papua saat ini berada dalam ancaman yang signifikan, sebagaimana disoroti oleh Budiarti (2017) dalam penelitian yang dilakukan oleh Rusdiarti dan Pamungkas (2017). Pemberdayaan masyarakat merupakan komponen krusial dalam proses penciptaan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan (Thomas, 2022).
Banyaknya peristiwa kekerasan menjadi bukti bahwa pendekatan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini masih dipandang kurang memadai. Catatan Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa pasukan keamanan di Papua diduga melakukan 69 eksekusi di luar hukum antara bulan Januari 2010 dan Februari 2018. Petugas polisi bertanggung jawab atas sebagian besar tindakan kekerasan, yang mencakup 34 peristiwa, sementara anggota TNI terlibat dalam 23 kasus. Saat ini, petugas TNI dan Polri merangkap menangani sebelas kasus tambahan. Satuan polisi pamong praja untuk sementara waktu menangani satu kasus. Sebanyak 85 warga Papua tewas akibat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Terima kasih telah mengunjungi Kompas.com. Selain itu, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang bertanggung jawab atas pembunuhan aparat keamanan belakangan ini juga terlibat dalam aksi kekerasan.
Untuk mengatasi kekerasan di Papua secara efektif dan cepat, sangatlah penting untuk menerapkan strategi yang kolaboratif dan menyeluruh. Halkis, M. (2020) berpendapat bahwa hanya mengandalkan penegakan hukum untuk mengatasi permasalahan Papua saja tidaklah cukup, karena permasalahan yang ada sebagian besar bersifat politis. Strategi diplomasi pertahanan merupakan langkah tambahan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik Papua.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan pemerintah bisa saja menggunakan pendekatan percakapan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dialami masyarakat Papua, seperti kesenjangan dan bias. Dalam diskusi virtual bertajuk "Menunggu Perdamaian di Papua: Urgensi Menghentikan Kekerasan" pada Kamis, 5 Juni 2021, Beka menegaskan, dialog perdamaian menjadi pendekatan strategis untuk mengatasi kekerasan yang berulang dan memfasilitasi penyelesaian berbagai isu seperti ketidakadilan, diskriminasi, dan hak-hak adat. Selain perdebatan, pemerintah juga dapat melakukan upaya-upaya berikut: Penegakan hukum oleh polisi. Beka meminta agar negara menjamin keadilan dan transparansi penegakan hukum.
Di Papua, penyelesaian sengketa memerlukan kolaborasi dan penerapan strategi yang matang. Dalam diskusi bertajuk "Memahami Papua dan Upaya Penyelesaiannya Secara Kolaboratif dan Holistik" pada Kamis, 5 Juni 2021, Karyono menekankan perlunya memahami keberagaman dan keberagaman yang ada. sifat rumit permasalahan Papua dalam kerangka yang lebih luas. Karyono meyakini bahwa solusi tunggal saja tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang terjadi di Papua. Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengikuti diskusi virtual pada Kamis, 5 Juni 2021 bertajuk "Memahami Papua dan Upaya Penyelesaiannya Secara Kolaboratif dan Holistik." Pemimpin Partai Golkar ini menekankan pentingnya penghapusan diskriminasi rasial terhadap penduduk Papua. Ia menganjurkan sanksi keras pemerintah terhadap individu atau kelompok yang terus melakukan perilaku rasis. Selain itu, Bobby meminta pemerintah meningkatkan komunikasi yang berkeadilan dan menyeluruh baik dengan daerah maupun pemerintah pusat. Selain itu, ia secara khusus meminta agar perbincangan berpusat pada tujuh wilayah adat Papua.
Papua telah menunjukkan kemajuan yang signifikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Memang, fungsinya berada dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memprioritaskan kemajuan infrastruktur nasional Papua. Individu dari tujuh wilayah adat Papua yang berbeda. Karena sejarah pengabaian Papua di bawah NKRI, sepertinya Jokowi memprioritaskan Papua dengan membangun infrastruktur yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat Papua. Pembangunan LINE TRANS PAPUA saat ini sedang berjalan dengan fokus khusus pada infrastruktur jalan. Jokowi menegaskan, pembangunan jalan di Papua akan memudahkan transportasi komoditas sehingga berdampak pada penurunan biaya logistik dan pada akhirnya berdampak pada penurunan harga barang. Jokowi bercita-cita penurunan harga komoditas di Papua dibarengi dengan peningkatan logistik pengangkutan barang-barang tersebut. Peningkatan infrastruktur jalan pada akhirnya akan menumbuhkan keseimbangan ekonomi di seluruh Indonesia, khususnya di Papua. Tujuan utama dari agenda ini adalah untuk meredam gerakan separatis di Papua dan menumbuhkan kepercayaan jangka panjang masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. (Mukhtadi, 2021).
KESIMPULAN Ringkasan dan Pemeriksaan
Kelompok Separatis, sebuah faksi bersenjata, bertujuan untuk membebaskan provinsi Papua dari pemerintahan Indonesia. OPM didirikan pada bulan Desember 1963 dengan manifesto yang mengecam masyarakat modern dan segala bentuk kemajuan. OPM berawal dari sebuah gerakan spiritual yang memadukan ide-ide tradisional dan Kristen, yang landasannya didasarkan pada kargoisme. Pasukan ini dibentuk oleh Aser Demotekay, Bupati Demta, bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, dengan tujuan eksplisit untuk melarang kekerasan. Pejabat OPM, termasuk Jacob Prai, kemudian melaksanakan kampanye ini melalui penggunaan kekerasan. Perdebatan mengenai masalah ini akan terus berlangsung tanpa batas waktu karena kelompok separatis masih beroperasi hingga saat ini.
Selain masyarakat non-pribumi Papua yang biasa dikenal dengan komunitas pendatang, dan aparat keamanan negara TNI\PORLI, kelompok ini terus melakukan tindakan kriminal terhadap organisasi masyarakat adat Papua. Tindakan terlarang yang dilakukan OPM telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pendatang dan masyarakat Papua, sehingga pada akhirnya melemahkan kedaulatan bangsa Indonesia.
Guna menegakkan otonomi bangsa Indonesia, pemerintah Indonesia terus berupaya. Salah satu pendekatannya adalah dengan menerapkan langkah-langkah keamanan seperti membangun pos penjagaan di sepanjang jalan raya yang umum digunakan dan meningkatkan keamanan di daerah dengan kondisi jalan yang menantang. Dioperasikan oleh kendaraan logistik dan kendaraan yang digunakan untuk tujuan publik, pribadi, atau terkait proyek. meliputi proyek pembangunan jalur TRANS PAPUA.
DAFTAR PUSTAKA
Afrillia, N., & Edward, F. (2023). Organisasi Papua Merdeka Sebagai Organisasi Teroris Berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 2018. Reformasi Hukum Trisakt, V, 330-339.
Nugroho, K. A., Deksino, G. R., Nugroho, A. D., & Kamarani, N. (2023). Analisis Sejarah Dan Kontemporer Gerakan Separatisme Di Indonesia. Jurnal Kewarganegaraan, VII, 95-100.
Adi Mulia, K. D., Afrizal, M. S., & Hadi P., L. D. (2020). Pertangung jawaban Pidana Anggota Organisasi Papua Merdeka (Opm) Sebagai Pelaku Makar. Justitia Jurnal Hukum, IV, 330-344.
Febrianti, S. W., arum, A. S., W. D., & Akim. (2019). Penyelesaian Konflik Internal antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Separatisme Di Papua Melalui Mekanisme Horse-Trading. Society, VII, 90-108.
Johan Kusuma, A., Setiawan, M. A., Ilmar, A., & N. S. (2022). Perubahan Status Organisasi Papua Merdeka (OPM) Menjadi Organisasi Teroris Oleh Indonesia: Sebuah Analisis Dalam Perspektif HAM. Journal Of Government : Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, VII, 1-22.
Kurnianto, T. A., Santoso, P., & Utama, A. P. (2022). Upaya Indonesia Mencegah Konflik Papua dengan Pendekatan Mediasi Humanistik. Jurnal Ilmu Kepolisian, XVI, 149-156.
Liani, N. A. (2023). Penegakan Hukum Atas Penembakan Organisasi Papua Merdeka. Call For Paper, 113-122.
Mukhtadi. (2021). Strategi Pemerintah Dalam Penanganan Gerakan Separatis Papua Dan Implikasinya Terhadap Diplomasi Pertahanan Indonesia. Jurnal Diplomasi Pertahanan, VII, 85-94.
Putri, A., Danastri, A. N., Riwut, G. S., Ekasyahputri, H. E., Khadijah, & Meinarno, E. A. (2021). Nilai Nasional Dua Daerah Dengan Histori Gerakan Separatisme:. PROSIDING Konferensi Nasional Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, I, 196-206.
Rahman, A. A., Malik, I., & Tirto, D. (2023). Analisis Menejemen Konflik Melalui Konflik Organisasi Papua Merdeka (OPM) Di Indonesia. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, X, 803-812.
Sinaga, M. (2021, Oktober 8). Dampak Pelabelan Teroris OPM (Organisasi Papua Merdeka) terhadap Prospek. Retrieved from Impersial: https://impersial.org
Yambeyapdi, E. (2018). Papua: Sejarah Integrasi Yang Diingat Dan Ingatan Kolektif. Indonesian Historical Studies, II, 85-95.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H