Mohon tunggu...
Tirta Kadek
Tirta Kadek Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa universitas Muhammadiyah Malang,Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Hobi saya senang bermain sofftball,membaca sejarah,mengikuti perkembangan di dunia politik dan juga Hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Separatisme Organisasi Papua Merdeka terhadap Kedaulatan Negara Indonesia

31 Desember 2023   15:30 Diperbarui: 31 Desember 2023   16:41 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Dampak psikososial pertama dari klasifikasi teroris adalah bahwa hal ini dapat memperkuat "stigmatisasi" negatif terhadap kelompok tersebut dan semakin memperjelas bahwa masyarakat Papua baik di dalam maupun di luar Papua terus menghadapi prasangka (terutama dari luar negeri). Siklus kekerasan kemungkinan besar akan kembali terjadi, yang mungkin akan mengakibatkan kekerasan meluas yang akan meningkatkan jumlah korban---korban warga sipil---dan menambah catatan pelanggaran hak asasi manusia. Ini adalah dampak buruk yang kedua. Berdasarkan laporan Taher (2021), terdapat 299 peristiwa kekerasan di Papua antara awal tahun 2010 hingga April 2021. Dari jumlah tersebut, 395 orang meninggal dunia dan 1.579 orang luka-luka akibat terkena tembakan, panah, atau tusukan benda tajam. Tentu saja, dengan merenggut nyawa orang yang tidak bersalah, hal ini merugikan orang yang melihatnya dan membungkam umat manusia.

Tak ayal, strategi keamanan yang mengaitkan KKB dengan terminologi teroris melemahkan peluang perdamaian di Tanah Papua. Meningkatnya kekerasan yang terus terjadi akan lebih merupakan hasil dari upaya mereka dan bukannya upaya mewujudkan perdamaian. Secara definisi, perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala bentuk kekerasan, menurut Johan Galtung (1967) yang menyatakan bahwa perdamaian tidak dapat terwujud jika tidak adanya segala bentuk kekerasan. Di sisi lain, kejadian di Papua menunjukkan bahwa upaya perdamaian di wilayah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan strategi keamanan. Menurut Neles Tebay (2011), teknik "dialong" yang tidak melibatkan kematian dapat digunakan sebagai cara non-kekerasan untuk mewujudkan perdamaian di Papua. Hal ini semakin menegaskan betapa pemerintahan Susilo Bambang Yudhono di Papua ditandai dengan penyebutan dialog sebagai sarana untuk mencapai perdamaian. Pada tanggal 27 Desember 2014, Jokowi memberikan pernyataan semasa menjabat sebagai pemerintah, yang menyatakan, "Saya ingin menjadikan semangat mendengarkan dan berdialog dengan hati sebagai landasan dalam menatap masa depan Tanah Papua." Inilah sebabnya mengapa proses dialog penyelesaian damai sangat ditunggu-tunggu, dan tentu saja kerja sama semua pihak yang terlibat sangat penting untuk memastikan Papua Nugini tetap damai. (Melpyanty, 2021).

Kekerasan yang berkepanjangan di Papua telah menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia dan telah menarik perhatian global. Selanjutnya, kelompok OPM yang bertujuan untuk merdeka dari NKRI beberapa kali melakukan konfrontasi langsung dengan aparat keamanan di Indonesia. Pada periode tersebut, banyak warga sipil yang menjadi korban konfrontasi antara OPM dan faksi lain yang menganjurkan kemerdekaan Papua dari Indonesia. Akibatnya, perang Papua kini diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pemahaman teori dan konsep separatisme dan terorisme. Laporan ini juga berupaya memberikan wawasan berharga bagi para pembuat kebijakan yang tertarik untuk menyelesaikan konflik Papua.

Secara historis, para peneliti telah menggunakan beberapa perspektif dan prioritas penelitian untuk menyelidiki isu konflik di Papua, sebagai bagian dari upaya negara untuk mencapai kemerdekaan dari Indonesia. Hal ini terlihat pada upaya yang dilakukan kelompok OPM. Dalam upaya menemukan wawasan baru yang dapat berkontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengkaji konflik antara OPM dan pemerintah Indonesia di Papua, penulis telah mengkaji secara menyeluruh banyak temuan penelitian sebelumnya. 

Selain itu, pemeriksaan komprehensif terhadap temuan penelitian sebelumnya dilakukan untuk menggunakannya sebagai sumber data berharga untuk dimasukkan ke dalam penelitian ini. Penulis telah mengkaji beberapa temuan penelitian, beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut: Karya Sefriani berjudul "Studi Kasus Organisasi Papua Merdeka: Separatisme dalam Perspektif Hukum Internasional". Sefriani mengkaji konsep pemisahan diri dari sudut pandang hukum internasional dalam artikel ini. Sesuai dengan prinsip hukum internasional, penulis makalah tersebut menyimpulkan bahwa kelompok OPM memenuhi kriteria untuk digolongkan sebagai kelompok separatis. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mempunyai yurisdiksi tunggal dalam menentukan cara OPM menangani gerakan separatis. Johan Kusuma akan aktif pada tahun 2022.

Pemerintah mengklasifikasikan OPM sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dan setiap gangguan sipil atau kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh OPM (KKB) diperlakukan oleh polisi sebagai tindakan kekerasan biasa. Seiring berjalannya waktu, OPM (KKB) telah memicu kekerasan dan kekacauan, sebuah situasi yang menurut pemerintah semakin memprihatinkan. Akibatnya, pemerintah menganggap OPM sebagai organisasi teroris dan bukan sekedar kelompok kriminal. KKB dan partai afiliasinya mendalangi berbagai serangan teroris. Setelah BIN awalnya mengklasifikasikan KKB sebagai kelompok teroris, pemerintah resmi mengukuhkan klasifikasi tersebut. Menyusul meninggalnya Brigjen I Gusti Putu Danny, Kepala BIN Daerah Papua, di Kabupaten Puncak, Papua, labelnya dicabut.

Keputusan penetapan kelompok Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris kabarnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang fokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme. OPM diyakini telah menimbulkan kerusuhan dan kegelisahan yang merasuki seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, OPM secara luas dipandang sebagai organisasi yang berdedikasi untuk mengadvokasi penentuan nasib sendiri. Tentu saja, ada interpretasi yang berbeda-beda mengenai hal ini; Khususnya di ranah internasional, gerakan kemerdekaan dinilai memiliki tujuan yang dapat menimbulkan sentimen empati. Pembentukan kelompok Papua Merdeka (OPM) harus memenuhi syarat hukum dan tidak boleh menyimpang dari klasifikasinya sebagai kelompok teroris. 

Hal ini berkaitan dengan penyelidikan keselarasan penetapan kelompok Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris dengan peraturan perundang-undangan terkait, khususnya undang-undang yang menjadi landasan penggolongannya---UU no. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Narkoba. Kejahatan yang berkaitan dengan terorisme dan aturan terkait. Persoalan apakah pengklasifikasian kelompok Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, serta potensi akibat hukum dari pengklasifikasian tersebut, patut menjadi perhatian, Nafa Afrillia, 2023)

3. Upaya Mengatasi Separatisme OPM Terhadap Kedaulatan Indonesia

 kubu OPM Papua dan pemerintah Indonesia dalam berdamai dan hidup berdampingan di wilayah NKRI. Meskipun negara harus berasumsi bahwa orang-orang yang terlibat konflik adalah warga negara yang taat hukum, pemerintah pusat tidak boleh mengambil sikap yang terlalu protektif. Hal ini sejalan dengan arahan Ma'ruf Amin, Wakil Presiden RI, bahwa sebaiknya digunakan pendekatan alternatif untuk menyelesaikan konflik di Papua. humanis (NBC, 2021). Untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, ada baiknya kita memperhatikan tujuan berbagai kelompok dalam masyarakat Papua, seperti perempuan, pemuda, pemimpin adat dan agama, dan perempuan pada khususnya.

Untuk mengatasi konflik di Papua, penggunaan mediasi humanistik memerlukan pembentukan saluran komunikasi yang transparan dan tidak terbatas. Membangun kesepakatan mengenai hal-hal yang dapat diterima bersama sangat penting dalam upaya menyelesaikan perselisihan internal antara pemerintah Indonesia dan kelompok OPM. Papua telah mengalami banyak permasalahan akibat meningkatnya ketidakpuasan masyarakat. Keprihatinan tersebut meliputi peningkatan pelayanan publik, pelestarian nilai-nilai budaya dalam pertumbuhan manusia, kemajuan infrastruktur, penegakan keadilan politik, pemberantasan rasisme, dan hal-hal lain yang menjadi perbincangan nasional, tidak termasuk separatisme. Partisipasi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua, organisasi massa, komunitas adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan lainnya, sangat penting bagi masyarakat Papua. Mereka adalah faksi otonom selain gerakan separatis di Papua Nugini, yang mampu melakukan dialog produktif dengan pemerintah pusat untuk memperbaiki hubungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun