Beberapa bulan terakhir, Amerika Serikat telah memberlakukan aturan pembatasan terkait ekspor chip semikonduktor ke Cina.
Pada 7 Oktober 2022 lalu, pemerintah Amerika Serikat (AS) menerbitkan aturan kontrol baru terkait ekspor chip semikonduktor ke Cina. Amerika Serikat membatasi ekspor chip dan semikonduktor yang dibuat menggunakan peralatan buatan Amerika Serikat ke Cina.
Kebijakan tersebut disebut dikeluarkan untuk membatasi kemampuan militer Cina serta aksesnya ke teknologi canggih.
Setelah aturan tersebut berlaku, kini AS juga gencar membujuk negara-negara sekutunya untuk turut memberlakukan hal serupa.
Sejak awal Januari lalu, Amerika Serikat diketahui sedang mengadakan diskusi terkait pembatasan ekspor semikonduktor dengan Belanda, Jepang, dan Korea Selatan.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Jepang, Rahm Emanuel menyatakan bahwa kerja sama negara-negara tersebut sangat dibutuhkan. Ketiga negara yang berusaha digaet Amerika Serikat tersebut akan berperan sangat penting untuk memuluskan kepentingan nasional AS untuk menekan ekspor chip dan semikonduktor ke Cina.
"Semikonduktor adalah kunci penting, tidak hanya dalam sistem ekonomi global, tetapi juga dalam sistem ekonomi modern manapun. Penggunaan semikonduktor maupun penelitian terkait semikonduktor, Anda tidak dapat menggunakan pendekatan yang angkuh untuk hal tersebut" tutur Rahm.
Ketiga negara (Belanda, Jepang, Korea Selatan) yang berperan penting bagi industri chip ini memiliki aspek keunggulan industri yang berbeda-beda. Kerja sama multilateral di antara negara-negara tersebut akan membuat sanksi terhadap Cina semakin kuat.
Belanda merupakan pemilik perusahaan pembuat sistem litografi chip tercanggih, ASML Holding NV. Korea Selatan merupakan rumah bagai dua perusahaan chip besar, Samsung Electronics Co. dan SK Hynix Inc. Sementara Jepang merupakan negara penting penyedia mesin dan bahan esensial dalam perakitan chip. Jepang juga memiliki peran penting dalam rantai pasokan industri.
Namun ternyata meskipun Korea Selatan telah tergabung dalam aliansi internal "Chip 4 Countries" yang dipimpin AS, Korea Selatan disebut masih berada dalam dilema terkait aturan control ekspor yang digagas AS.
Di satu sisi, industri semikonduktor Korea Selatan sangat bergantung kepada peralatan produksi chip dari Amerika Serikat dan sekutunya. Sedangkan di sisi lain, Cina merupakan mitra dagang semikonduktor terbesarnya.
Dilansir dari Bloomberg, setelah pada 23 Januari kemarin pihak terkait selesai melakukan pembicaraan di Gedung Putih, berdasarkan sumber internal, Belanda dan Jepang telah setuju untuk bergabung dengan Amerika Serikat untuk melakukan pengetatan kontrol chip dan semikonduktor.
Kemungkinan karena menyangkut hal yang dianggap sensitif, pembatasan yang diberlakukan oleh negara-negara sekutu AS ini akan diterapkan secara diam-diam tanpa pengumuman publik.
Juru Bicara Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby saat diwawancarai hanya mengatakan bahwa para pejabat membicarakan hal yang penting bagi ketiga pihak (AS, Belanda, dan Jepang).
Kirby menambahkan bahwa pembicaraan tersebut beragendakan hal yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan teknologi baru.
Namun, baik Gedung Putih, Kementerian Luar Negeri Belanda, maupun Juru Bicara Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang menolak untuk memberikan pernyataan tambahan di luar pernyataan Kirby.
Implementasi dari peraturan yang diadopsi oleh negara-negara sekutu AS kelak bisa saja baru selesai setelah berbulan-bulan karena negara yang terlibat perlu mengatur hukum terkait hal tersebut terlebih dahulu.
Pembatasan yang diadopsi oleh Belanda dari AS nampaknya akan membuat Belanda memperpanjang pembatasan pada peralatan yang dijual oleh ASML ke perusahaan Cina.
ASML adalah satu-satunya pemasok global mesin EUV (extreme ultraviolet lithography). EUV adalah mesin yang digunakan di node produksi paling canggih yang sebelumnya memang sudah dilarang ekspornya ke Cina.
Larangan ekspor ke Cina oleh pemerintah Belanda juga nampaknya akan diperluas ke peralatan litografi lain seperti DUV (deep ultraviolet lithography). DUV adalah peralatan litografi yang tingkatnya dibawah EUV.
Menanggapi kemungkinan tersebut, Kepala Eksekutif ASML telah memperingatkan bahwa aturan kontrol yang diberlakukan AS sebenarnya dapat menimbulkan konsekuensi buruk. Misalnya, bisa saja Cina beralih mengembangkan teknologinya sendiri alih-alih mengimpornya.
Untuk Jepang sendiri, Analis perusahaan riset Omdia, Akira Minamikawa menuturkan bahwa Jepang masih dapat menjual produk non-lanjutan setelah mengadopsi aturan kontrol yang diberlakukan AS.
Penurunan ekspor yang terjadi ke Cina kelak akan dapat tertutupi baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang dengan cara meningkatkan ekspor mereka ke wilayah lain seperti AS, Jerman, dan India.
Namun, Jepang mungkin akan keberatan jika AS hingga di tahap melarang Jepang mengirim insinyur kepada pelanggan peralatan mereka karena hal ini akan berdampak terlalu besar bagi bisnis mereka, tambah Minamikawa.
Sumber: Bloomberg, The Register, South China Morning Post, dan Reuters.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H