Mohon tunggu...
Tirta Nursari
Tirta Nursari Mohon Tunggu... Penulis - Penggerak Literasi

Tirta Nursari adalah founder Warung Pasinaon, bergerak di bidang literasi, dan memiliki passion di dunia psikologi dan kerelawanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Trotoar dan Hak Pejalan Kaki Kita

3 Oktober 2024   20:37 Diperbarui: 5 Oktober 2024   12:00 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Warga berjalan di atas trotoar di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (1/3/2024). Fasilitas trotoar yang memadai turut mendorong minat warga untuk berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum. (Foto: KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA)

Seorang kawan yang belakangan menasbihkan diri sebagai pejalan kaki sejati, berkeluh kesah, suatu hari. 

Sekarang ini, katanya, sangat sulit bagi dia yang setiap hari menyusuri jalanan kota, mendapatkan haknya sebagai rakyat; berjalan kaki dengan aman dan nyaman di trotoar. 

Bahkan tak jarang pula, jalanan di kota-kota pinggiran pun tak menyisakan ruang yang nyaman bagi orang-orang seperti dirinya.

"Trotoar sudah termakan untuk akses ekonomi. Untuk jualan. Disewakan. Ada retribusinya," ujarnya setengah bersungut.

Agustina,pensiunan dosen sebuah PTN yang hobi berolahraga jalan kaki mengeluhkan pula hal serupa. Berjalan kaki tak lagi senyaman dulu. Persoalannya sederhana, akses aman di bahu jalan yang mestinya ada trotoar, kini semakin banyak terenggut berbagai kepentingan.

"Selain pedagang kaki lima, halte BRT itu juga penempatannya memakan trotoar. Belum lagi pengendara bermotor pun seringkali merampas hak pejalan kaki," ujar Agustina.

Sebelum kendaraan bermotor teramat padat seperti saat ini, berjalan kaki umum dilakukan masyarakat untuk melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat tertentu. 

Seiring kemajuan zaman, membaiknya tingkat perekonomian, meningkatnya kebutuhan masyarakat, serta semakin mudahnya akses perkreditan, jumlah pejalan kaki mulai menyusut. 

Sebaliknya, kendaraan pribadi semakin banyak berseliweran di jalanan. Hampir semua keluarga kini memiliki sepeda motor. Jumlahnya pun tak hanya satu, tetapi bisa setiap anggota keluarga memilikinya. 

Belum lagi dengan mobil pribadi yang kepemilikannya kini tak lagi menjadi simbol status sosial seseorang. Keberadaan transportasi online juga semakin mengurangi jumlah para pejalan kaki.

Sumber gambar: pusat.jakarta.go.id
Sumber gambar: pusat.jakarta.go.id

Orang-orang lebih memilih praktis dan instan, meski mereka menyadari bahwa jalan kaki bukan saja memiliki fungsi transportasi ramah lingkungan, tetapi juga salah satu jenis  olahraga ringan, murah, dan menyehatkan. 

Hal lain yang membuat mereka memilih meninggalkan jalan kaki, selain kepraktisan dan efisiensi waktu, adalah semakin berkurangnya trotoar yang menghadirkan perasaan tak nyaman dan kurang aman karena bercampurnya pejalan kaki dan kendaraan bermotor.

Meksi jumlah pejalan kaki sudah tak sebanyak dulu, namun bukan berarti haknya bisa dicerabut begitu saja. Para pejalan kaki juga berhak untuk mendapatkan totoar yang aman dan nyaman. 

Sebagaimana para pemilik kendaraan bermotor berhak mendapatkan fasilitas jalan raya yang aman dan nyaman pula.

Trotoar dan Hak Pejalan Kaki  

Orang-orang yang peduli akan kesehatan memilih meninggalkan sejenak kendaraan bermotor demi menjalankan aktivitas dengan berjalan kaki. 

Ini bukan berkaitan dengan harga BBM yang terus naik. Tetapi bagaimana tubuh yang bergerak, salah satunya dengan melakukan aktivitas jalan kaki sangat bermanfaat untuk kesehatan. 

Heathline bahkan menyebut, idealnya orang dewasa melakukan jalan kaki 10.000 langkah setiap hari untuk mendapatkan tubuh yang sehat.

Jalan kaki adalah olah raga ringan yang sangat bermanfaat untuk membakar kalori, meningkatkan imunitas tubuh, dan menjaga kesehatan pula.

Dengan melihat manfaat penting jalan kaki tersebut, mestinya pemerintah memberikan ruang gerak yang nyaman, fasilitas umum yang memadai bagi para pejalan kaki. 

Namun faktanya, lahan-lahan di perkotaan semakin menyempit saja, pun dengan daerah-daerah pinggiran yang akses untuk fasilitas umum mulai tergerus atas nama pembangunan. Maka orang-orang mulai kesulitan untuk melakukan aktivitas berjalan kaki.

Okelah, ada taman kota yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berolahraga. Salah satunya untuk jogging atau sekadar berjalan kaki. Tetapi berkunjung ke taman kota tentu tak bisa dilakukan setiap hari, bukan? 

Apalagi harus menunggu wayah car free day. Karenanya, pilihan paling sederhana dan masuk akal adalah dengan memanfaatkan trotoar jalan. Masalahnya, perlahan tapi pasti trotoar jalan kini telah banyak beralih fungsi. Para pejalan kaki kahilangan haknya. 

Ya, trotoar ternyata memiliki relevansi dengan kesehatan. Sebuah studi di Seattle menyebutkan bahwa keberadaan trotoar memiliki efek pada pengurangan jarak tempuh kendaraan sebesar 6 hingga 8% dan emisi karbon dioksida CO2 sebesar 1,3 hingga 2,2%. 

Ini sangat related dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa penduduk yang tinggal di lingkungan dengan trotoar cenderung lebih rutin berjalan kaki sehingga menurunkan resiko penyakit kardiovaskular, obesitas, dan masalah kesehatan lain yang berkaitan dengan gaya hidup yang tidak banyak bergerak. 

Sedangkan  anak-anak yang biasa berjalan kaki ke sekolah terbukti memiliki tingkat konsentrasi yang lebih baik.

Trotoar Ideal

Trotoar  berasal dari Bahasa Belanda Trottoir, yang dalam Bahasa Indonesia berarti pematang jalan. Menurut Wikipedia, Trotoar atau pematang jalan adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, trotoar adalah salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Sedangkan secara khusus, trotoar adalah hak pejalan kaki, sama seperti tempat penyebrangan.

Sementara itu, pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 Pasal 114 menyebutkan trotoar adalah jalur pejalan kaki yang bisa digunakan untuk pesepeda bila tidak tersedia jalur sepeda.

Ya, beberapa definisi tentang trotoar sebagaimana disebutkan di atas, cukup memberi alas an bahwa keberadaan trotoar sebagaimana pemanfaatan yang seharusnya, adalah hak bagi pejalan kaki yang tak bisa dirampas begitu saja. Namun nampaknya di beberapa daerah, hal tersebut masih jauh panggang dari api.

Sari, seorang pejalan kaki yang tinggal di Bergas mengeluhkan ketiadaan trotoar di sepanjang jalan dari Pasar Karangjati -- Babadan Kabupaten Semarang, meski jalur tersebut termasuk jalur padat pejalan kaki. 

Apalagi di jam-jam berangkat atau bubaran pabrik. Kondisi semakin parah dengan keberadaan halte Trans Jateng yang memakan bahu jalan di Pertelon Ngobo sehingga hampir tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki.

"Kami yang berjalan kaki dari Pasar Karangjati sampai pertelon Ngobo harus ekstra hati-hati karena bahu jalan yang sempit, taka da trotoar, belum lagi kalau ada mobil yang parkit atau ganti ban di situ," ujarnya.

Kondisi itu akan semakin parah bila pejalan kaki adalah penyandang disabilitas. Praktis taka da akses yang aman bagi mereka, karena taka da ruang untuk yang berkursi roda, atau penanda untuk disabilitas netra.

Ya, meski sebagian orang sudah beralih menggunakan moda transportasi yang jenisnya semakin beragam, namun keberadaan para pejalan kaki harus tetap diperhatikan. Bagaimanapun trotoar termasuk bagian dari fasilitas umum yang rakyat memiliki hak untuk mendapatkannya.

Sebagai fasilitas umum, trotoar harus dirancang dengan memperhatikan kebutuhan para penggunanya. 

Trotoar yang yang nyaman, idealnya memiliki luas yang cukup dengan memperhatikan sisi keamanan, tidak terhalang oleh pohon maupun tiang listrik atan telpon, maupun pilar jembatan, juga halte bus.

Trotoar yang ideal adalah juga trotoar yang bukan saja ramah bagi pejalan kaki,  tetapi juga ramah disabilitas, ramah anak, dan ramah lansia.  

Penelitian di University of North Carolina untuk U.S. Department of Transportation menemukan bahwa keberadaan trotoar dan adanya batas kecepatan merupakan faktor signifikan dalam mengurangi resiko kecelakaan. Keberadaan trotoar juga memiliki signifikansi dengan masalah kesehatan. 

Bahkan keberadaan trotoar juga bisa menjadi ruang sosial bagi masyarakat yang bermanfaat menciptakan efek bahagia yang berpengaruh bagi psikologis seseorang.

Trotoar yang nyaman, membuat orang akan lebih nyaman pula berjalan-jalan menikmati keindahan kota, atau bahkan di kota pinggiran pula. 

Karenanya, trotoar, sebagaimana dikatakan oleh pengamat perkotaan, Nirwondo, adalah roh atau jiwa suatu kota yang harus direbut keberadaannya.(Tirta Nursari, Pegiat Literasi Warung Pasinaon)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun