Mohon tunggu...
Timotius Cong
Timotius Cong Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penginjil

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Mengapa Sulit Memaknai Paskah di Tengah Pandemi Covid-19?

12 April 2020   10:58 Diperbarui: 4 April 2021   06:15 2977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memaknai pengorbanan Kristus dan Paskah | Sumber: Pixabay.com/Gerd Altmann

Untuk menunjukkan diri sebagai seorang kristen rohani, maka pada Jumat Agung dan Paskah ini saya harus bisa memaknainya. Satu cara yang tepat adalah memejamkan mata di tengah kegelapan kamar. 

Akhirnya, yang terlihat bukan kematian Yesus yang membuat saya terharu dan menangis, tetapi ketakutan akan masa depan dan pertanyaan, apa yang terjadi jika pada bulan Mei, pandemi ini belum berakhir? Mengingat jumlah korban Covid-19 tiap hari terus bertambah.

Muncul wajah pengusaha dengan yang muka sedih berkata kepada saya: “Jikalau seperti ini terus, apakah usaha saya masih bisa berjalan? Apakah saya masih bisa membayar karyawan?" 

Hal ini juga mengingatkan saya pada seorang pekerja freelance yang dari awal sudah merasakan dampak pandemi, berkata “Beberapa job, jadwal khotbah dan pameran sudah dibatalkan. Apakah yang terjadi jika sepanjang tahun ini tidak ada job? Sedangkan Cicilan rumah, mobil, SPP dan tagihan bulanan tetap harus dibayar." 

Terakhir tidak lupa beberapa hari lalu, Seorang ibu yang anaknya pada tahun ini berencana untuk menikah berkata ”Apakah pernikahan anak saya bisa dilaksanakan?” Jadi dalam situasi ini, sulit sekali memaknai kematian dan kebangkitan Kristus. 

Hal ini mengingatkan saya pada apa yang terjadi pada murid-murid Yesus. Mereka juga tidak bisa memaknai kematian Yesus yang disalibkan untuk mereka, mengapa?

Karena sama dengan kita mereka hanya BERFOKUS PADA DIRI SENDIRI. Sehingga saat mereka melihat Yesus ditangkap dan diadili, bahkan disalib mereka semua lari, karena mereka melihat harapan untuk duduk di sebelah kanan atau kiri Yesus sudah hilang. 

Petrus yang sudah meninggalkan semuanya yang berharap mendapatkan berkali-kali lipat dari Yesus mulai berpikir: “Jika saya tidak duduk di sebelah kanan Yesus, apakah saya masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga saya? 

Demikian juga mantan pemungut cukai, Matius, mulai resah dan bertanya: “Saya mau kerja apa lagi?” Sengat maut bukan hanya merampas Yesus dari mereka, tetapi mulai merenggut harapan dan cita-cita mereka. 

Bahkan saat Yesus bangkitpun mereka tetap tidak bisa memaknainya, karena bagi mereka kebangkitan Yesus, akan bermakna jika harapan untuk bebas dari penjajahan Romawi tercapai. 

Maka dari itu, sebelum Yesus naik ke surga, mereka memberanikan diri meminta kepada Yesus: "Maukah Engkau memulihkan kerajaan bagi Israel (Kis. 1:6)."

Sama halnya dengan murid-murid, sengat Covid-19 yang bisa merenggut kita dan keluarga serta membuat harapan dan cita-cita kita menjadi pupus, membuat kita terus menerus bertanya: “Tuhan kapan ini berakhir? Maukah Engkau memulihkan situasi kami seperti dulu?” 

Rasanya tidak sabar lagi ingin melihat Yesus yang bangkit segera menghentikan Covid-19.

Bahkan kita hampir seperti Petrus dan teman-temannya yang mulai berpikir untuk kembali ke profesi lama. Terlihat mereka sudah mencoba peruntungan lagi dengan pergi ke danau Tiberias untuk menjala ikan. 

Sedangkan, murid yang tidak mau menjadi nelayan, merasa lebih baik pulang ke kampung halaman mereka di Emaus. Mereka berpikir mungkin di sana ada prospek baru yang bisa menjadi usaha rintisan. 

Yerusalem tidak bisa lagi menjadi tempat bernaung, karena persaingan di sana sangat ketat, biaya hidup sangat tinggi. Memang ada gosip yang beredar bahwa Yesus sudah bangkit. Akan tetapi, hal itu sulit untuk dipercayai karena sejauh ini belum ada bukti yang valid.

Bukankah ini yang kita rasakan, Covid-19 yang mematikan, membuat harapan, rencana, dan cita-cita kita terkubur dengan Yesus yang mati. Maka dari itu saya mencoba memaknai kematian dan Paskah dengan melakukan beberapa hal supaya harapan kita bangkit kembali.

1. Memahami bahwa kematian dan kebangkitan Yesus bukan tentang kita tetapi tentang Dia yang berbuat untuk kita.

Saudaraku, kita tidak perlu memikirkan diri kita lagi, karena Kristus sudah memikirkan kita. Terbukti Dia rela mati bagi kita yang berdosa. Hal itu cukup menjadi bukti bahwa Dia memikirkan kita melebihi kita memikirkan diri kita. 

Makanya, Dia berani berkata: “Jangan khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum (Matius 6:25)” Semua ini dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah karena Bapa kita di sorga tahu akan kebutuhan kita (Matius 6:32). 

Sebab jika kita khawatir dan takut akan kebutuhan hidup kita, hal itu tidak akan menambah antibodi kita, bukan? Justru akan menurunkan antibodi kita. Maka Dia dengan tegas berkata: “Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (Matius 6:27).”

Kemudian, Tuhan Yesus mengingatkan kita, agar bukan memikirkan diri sendiri, seperti: Apakah usaha saya masih berjalan? Apakah kebutuhan saya akan tercukupi? 

Akan tetapi, pikirkanlah, “Apakah yang bisa kita perbuat untuk kerajaan Allah?.” “Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:33).”

Sebenarnya, pada masa ini ada 2 macam orang. Pertama: takut mati dan kedua: tidak takut mati. Saya memperhatikan, mereka yang tidak takut mati kebanyakan, anak-anak muda. 

Ada beberapa orang yang saya temui, mereka berkata: “Mengapa harus takut Covid-19, mati ya, sudahlah! Sehingga mereka tetap keluar rumah tanpa memakai masker dan berkumpul dengan teman-temannya, karena mereka belum memiliki keluarga.

Akan tetapi, kita yang sudah memiliki keluarga bukan takut mati, tetapi lebih kepada kasihan pada istri dan anak yang masih kecil. Kita berpikir, “Bagaimana dengan istri dan anak-anak kita, jika harus meninggal karena Covid-19?" 

Demikian juga istri berpikir, “Jika saya lebih dahulu meninggal, bagaimana dengan anak-anak?" Jadi yang kita pikirkan bukan tentang Tuhan tetapi tentang kita.

Jikalau kita bisa berpikir bahwa hidup bukan tentang kita tetapi Tuhan, maka kita akan berkata seperti Paulus: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah (Filipi 1:22a).”

Jadi Paulus tidak berkata bahwa dia, “Masih mau hidup supaya usahanya bikin tenda tetap berlangsung.” Akan tetapi, dia mau hidup agar bisa memberi buah bagi kerajaan Allah yaitu supaya umat Allah bertambah maju, bersukacita dalam iman serta memegahkan Kristus (Filipi 1:25-26).

2. Kembali Menjadi anak Kecil

Saya bertanya kepada anak ketiga saya: "Dalam situasi ini, apakah kamu takut dan khawatir? Dia menjawab: "Tidak." Lalu untuk memuaskan rasa penasaran, saya bertanya lagi: "Mengapa kamu tidak takut dan khawatir?" Dia langsung jawab: "Ya, ngak tahu lah."

Padahal saya berharap dia akan menjawab, "Karena Tuhan sudah bangkit atau kita kan memiliki Tuhan Yesus." Ternyata bukan itu jawaban yang saya dapat.

Dari seorang anak kecil, saya belajar. Selama ini, kita bisa beriman jika memiliki alasan. Terutama saat realita baik dan lancar, kita akan mudah beriman kepada Tuhan. 

Sehingga tidak heran, pada saat situasi sulit ini, tidak mudah bagi kita untuk beriman. Maka saya ingat perkataan Tuhan Yesus: “Belajarlah kepada anak-anak.” Mengapa? karena mereka bisa percaya tanpa alasan.

Lihatlah anak-anak yang lahir dari keluarga miskin, mereka tidak membutuhkan alasan untuk mempercayai Ayah mereka yang bekerja serabutan. Mereka bisa tidur dan bermain dengan tenang, tanpa bertanya besok makan apa? 

Sedangkan kita, sekalipun masih memiliki tabungan, deposito pun selalu kuatir akan hari esok, apalagi jika tidak memiliki tabungan. Maka saya terus belajar untuk memiliki iman anak kecil. Tidak perlu mencari alasan agar tetap mempercayai pemeliharaan Allah.

Apalagi dalam situasi ini, tidak ada alasan bagi kita untuk percaya bahwa hidup pasti lebih baik, di mana setiap hari dipertonton kepada kita akan jumlah penderita Covid-19 yang terus bertambah.

Realita ini sulit bagi kita untuk percaya pada Tuhan, karena kita baru mau percaya bahwa Tuhan memelihara kita saat sudah terlihat jumlah penderita menurun dan yang sembuh lebih banyak. 

Akan tetapi, muncul pertanyaan dalam diri saya, “Jikalau realita yang baik menjadi ukurannya, sebenarnya selama ini kita percaya pada Tuhan atau realita?

3. Mencoba memaknai Kematian Yesus dengan melihat para Petugas Medis

Pada saat ini, salah satu contoh kasih Kristus yang hadir di depan mata kita adalah kasih yang ditunjukkan oleh para petugas medis yang berdiri di garda depan merawat pasien Covid-19. Mereka tidak lagi memikirkan diri sendiri dan keluarga. Bahkan mereka sudah siap mengorbankan nyawa mereka.

Saat melihat bekas masker di wajah mereka serta tangan mereka yang memutih dan keriput akibat keringat yang terus menempel oleh pakaian pelindung yang harus mereka pakai. Hati saya terharu dan menangis hingga meneteskan air mata.

Hal ini menolong saya untuk mengingat kembali akan kasih Kristus yang rela mati bagi kita tanpa memikirkan nyawa-Nya agar kita yang berdosa bisa ditebus dan diselamatkan. 

Tentu kasih Kristus tidak bisa disejajarkan dengan kasih para petugas medis. Karena kasih Kristus lebih besar dari siapapun. Akan tetapi, apa yang petugas medis tunjukkan setidaknya bisa menolong kita untuk memaknai pengorbanan Kristus dan Paskah. Amin.

Selamat Paskah,

Ev. Timotius Cong

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun