Pantaskah Anies Kembali Jadi Gubernur DKI Jakarta?
Nama Anies Baswedan dulu lebih dikenal karena concern-nya terhadap dunia akademik dan riset. Ia pernah menjadi peneliti dan koordinator proyek di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Kemudian Anies sempat menjadi manajer IPC, Inc. Chicago. Yakni asosiasi perusahaan elektronik sedunia.
Ia pernah menduduki posisi selaku Direktur Riset The Indonesian Institute, merupakan lembaga penelitian kebijakan publik yang didirikan pada bulan Oktober 2004.
Disamping itu Anies juga pernah dinobatkan sebagai rektor termuda pada tahun 2007 silam. Saat berusia 38 tahun, ia dipilih menjadi rektor Universitas Paramadina.
Cucu dari A.R Baswedan ini pun menjadi penggagas gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini bertujuan untuk merekrut sekaligus memberdayakan mahasiswa menjadi pengajar muda di Sekolah Dasar (SD) dan masyarakat selama satu tahun.
Namun lambat laun sepupu dari Kompol (Purn.) Novel Baswedan yang merupakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2007 ini, mulai terjun ke ranah politik praktis.
Sepak Terjang Anies di Politik
Kira-kira dimulai sejak Anies menjadi peserta konvensi calon presiden (capres) Partai Demokrat pada 27 Agustus 2013. Sejumlah debat di konvensi capres Partai Demokrat dihadirinya.
Sejumlah tokoh yang pernah bersaing dengannya antara lain Dino Patti Djalal, Ali Masykur Musa, Gita Wirjawan, Pramono Edhie Wibowo, Sinyo Harry Sarundajang dan Dahlan Iskan. Namun Anies gagal dalam konvensi tersebut.
Dari situ ia beralih mendukung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Anies bergabung ke dalam tim pemenangan dan didapuk sebagai juru bicara koalisi Indonesia Hebat.
Kemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla membuat karir politik Anies kian menanjak. Ia pun diberi jabatan sebagai Deputi Kantor Transisi Jokowi.
Di tahun bersamaan, ia dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai salah satu anggota kabinetnya. Yakni selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kendati kebijakan yang dibuat Anies dinilai positif, namun ia tetap dicopot dari jabatannya dan diganti oleh Muhadjir Effendy. Pencopotan jabatan Anies dilakukan pada pertengahan tahun 2016.
Selanjutnya ia diusung sebagai peserta pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta di tahun 2017. Ia dipasangkan dengan Sandiaga Uno dan didukung penuh oleh Partai Gerindra.
Meski persaingan sengit, keduanya berhasil mengalahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hadi pada pilkada putaran kedua. Anies memperoleh suara sebesar 57,96 persen sedangkan Ahok-Djarot memperoleh 42,04 persen.
Selepas pilkada DKI Jakarta, Anies pun sempat menjajal peruntungan di Pilpres 2024. Ia dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin.
Namun Anies dan pasangan lainnya, Ganjar Pranowo - Mahfud MD kalah dari pasangan Prabowo-Gibran. Dimana pasangan Prabowo-Gibran berhasil menang dalam sekali putaran saja.
Keinginan Anies untuk maju tampaknya tak ada habisnya. Kali ini dia kembali menjajal peruntungannya dalam pilkada DKI Jakarta 2024.
Semula nama Anies diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dimana PKS memasangkan Anies dengan kadernya, Mohamad Sohibul Iman.
Keduanya dipasangkan karena dipandang sebagai bakal calon gubernur dengan kualifikasi yang mumpuni, serasi dan bisa saling melengkapi. Kabar itu terbit sekitar akhir bulan Juni lalu.
Sebulan berselang, ternyata Anies berpindah keyakinan. Dia tak lagi diusung oleh PKS melainkan berpindah ke Partai NasDem.
Tak cuma NasDem dan PKS, Anies pun sempat diusung oleh PKB. Bahkan Anies disebut-sebut sebagai calon tunggal.
Namun ternyata ketiga partai itu tak ada yang menjadi pelabuhan terakhir Anies. Dia malah tampak seperti kutu loncat, karena sekali lagi ia berpindah partai.
Tanpa malu-malu kini Anies mencari peruntungan ke PDIP. Padahal banyak pihak yang berpendapat bahwa ideologi Anies dan PDIP kerap berseberangan.
kolaborasi Anies dan PDIP ini, sebenarnya juga bisa membuat perpecahan suara loyalis Anies atau basis pendukung jika diusung oleh PDIP. Alasannya tentu karena kekecewaan terhadap sikap Anies yang plin-plan.
Entahlah apa pada akhirnya PDIP mau meminang Anies atau malah mengacuhkannya lagi seperti partai lainnya. Apalagi mengingat kebiasaan Anies yang suka menjadi kutu loncat.
Jangan berpikir setiap partai mau mengusung para politisi kutu loncat dengan mudah. Sebab tak semua pemimpin partai menyukai etika berpolitik seperti itu.
Kerap kali mereka juga cenderung mempertimbangkan sosok politisi yang loyal terhadap partai. Istilahnya bukan anak kemarin sore yang tiba-tiba nyelonong dan minta tolong ketika ada maunya.
Ditambah lagi Anies sendiri sudah memiliki sejumlah rekam jejak buruk sebagai pemimpin DKI Jakarta di era sebelumnya. Tentunya itu menjadi poin penilaian tambahan bagi partai apapun yang mau meminang Anies.
Berikut sejumlah program kerja yang gagal dijalankannya:
Kinerja Anies Jadi Gubernur di Periode Pertama
Misalnya Program OK-OCE pada tahun 2017. Dari target melahirkan 200 ribu wirausahawan malah hanya terealisasikan 3 persen atau kira-kira 6 ribu orang.
Program tersebut pun sempat stagnan akibat pengunduran diri Sandiaga Uno dari posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Kemudian program rumah DP Rp 0 di tahun 2018. Dari target pembangunan hunian sekitar 200 ribuan malah dipangkas hingga 10 ribu unit saja.
Belum lagi mekanisme pembiayaan yang diterapkan. Semula hunian untuk masyarakat berpenghasilan Rp 4-7 juta akan tetapi kini berganti menjadi Rp 14 juta.
Berubahnya kebijakan memperlihatkan ketidakseriusan Anies terhadap janji kampanye dan dalam mengatasi masalah hunian bagi masyarakat di Jakarta. Apalagi nilai UMR yang diterima masyarakat jauh dibawah Rp 14 juta.
Otomatis kondisi ini malah semakin mempersulit masyarakat dengan ekonomi 'pas-pasan' untuk memiliki hunian layak. Kemudian proyek sumur resapan di tahun 2018.
Target awal Pemprov DKI Jakarta mau membangun 1,8 juta sumur resapan. Sayangnya yang berjalan hanya 1 persen dari target dan itu pun setelah program berjalan selama tiga tahun.
Nilai anggarannya pun fantastis, yakni mencapai Rp 411 miliar untuk 16 ribuan titik sumur resapan. Disamping itu penanganan banjir di Jakarta hanya berfokus pada betonisasi.
Padahal seharusnya Pemprov DKI Jakarta juga fokus untuk menghilangkan hambatan aliran dari hulu ke hilir. Pasalnya masalah umum di Jakarta adalah pendangkalan kali atau sungai akibat timbunan sampah.
Anies juga dinilai agak lamban dalam menangani kasus Covid-19. Dimana pelaksanaan vaksin bagi kelompok prioritas lambat hingga banyaknya penyelewengan booster vaksin bagi yang tidak berhak.
Berkaca dari beberapa contoh kasus ini, rasanya Anies perlu berbenah diri jika memang mau menang dalam Pilkada DKI Jakarta periode kali ini. Ibaratnya jangan hanya jadi seperti pepatah lama 'tong kosong nyaring bunyinya'.
Banyak program, banyak janji manis bagi masyarakat tapi kenyataannya malah pahit. Coba benahi program dan realisasikan dalam jumlah yang masif, sehingga banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H