Bulu tangkis adalah permainan India bernama Poona. Sayang permainan itu tidaklah berkembang di negara asalnya.
Hingga kemudian para perwira Inggris membawa permainan tersebut ke Inggris, dan dimainkan pertama kali secara resmi dikediaman Duke of Beaufort.
Selanjutnya pada 1934, didirikanlah IBF (International Badminton Federation). Dan pada 1949 mulai diadakan pertandingan untuk memperebutkan piala dari Sir George Thomas atau yang kini kita kenal sebagai Thomas Cup.
Kemudian pada 1957 mulai diadakan pertandingan untuk memperebutkan piala dari Ny. Betty Uber atau lebih dikenal Uber Cup. Sementara itu, di Indonesia sendiri permainan bulu tangkis baru mulai berkembang pada 5 Mei 1951, yakni ditandai dengan pembentukan PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia).
Bulu tangkis menjadi salah satu permainan sekaligus cabang olahraga yang populer di Tanah Air. Bahkan bulu tangkis merupakan olahraga andalan karena berhasil melahirkan tujuh medali emas sejak dipertandingkan pada Olimpiade 1992.
Kesuksesan besar dunia bulutangkis di Indonesia sejak awal tidak bisa dilepaskan dari peran para atlet dan pelatih keturunan Tionghoa. Misalnya saja di Thomas Cup pada 1957, yang menampilkan laga perdana tim bulu tangkis Indonesia di kompetisi luar negeri.
Dimana tim Indonesia diperkuat dua tunggal putra andalan, yakni Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville. Â Ada pula pemain andalan lain, seperti Lie Poo Djian, Njoo Kiem Bie, Eddy Joesoef, Tan King Gwan, dan Olich Solichin.
Ketujuh pemain itu merupakan para pendekar bulu tangkis era 1950-an. Saking hebatnya mereka dijuluki 'The Magnificent Seven'.
Selain para legenda tadi, hingga kini ada begitu banyak etnis Tionghoa yang berkecimpung di ranah olahraga bulu tangkis. Bukan hanya sekadar demi eksistensi, generasi Tionghoa selanjutnya terus membuktikan kemampuannya lewat rentetan prestasi di dunia bulu tangkis.
Misalnya saja medali emas perdana yang ditelurkan oleh Alan Budikusuma dan Susi Susanti di Olimpiade Barcelona 1992. Adapula pebulutangkis etnis Tionghoa, Liliyana Natsir yang berpasangan dengan Tontowi Ahmad, berhasil merebut gelar Juara Dunia 2013 di Guangzhao, China.
Kisah mereka di lapangan memang begitu mengesankan dan mengharumkan nama Indonesia. Namun sayangnya, terkadang ada saja kisah pilu yang dialami pemain bulu tangkis terkait latar belakang keturunan Tionghoanya.
Terutama pada saat Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kondisi itu pernah dialami oleh Ivana Lie Ing Hoe.
Wanita kelahiran Bandung, 7 Maret 1960 ini sangat mahir dilapangan. Kendati demikian perjuangan Ivana tidaklah mudah. Ia harus berjuang untuk segala aspek, baik ekonomi, pendidikan, dan demi talentanya di bulu tangkis.
Kedua orang tuanya, Lie Tjung Sin dan Kiun Yun Moi, adalah pasangan Tiongkok yang hidup di Indonesia dengan kondisi ekonomi serba kekurangan. Makan bisa dua hari sekali dan berpindah-pindah rumah kontrakan menjadi hal lazim bagi keluarga Ivana.
Tak jarang mereka menerima makian lantaran telat membayar uang sewa rumah. Bahkan saking pahitnya, keluarga Ivana pun pernah diusir.
Disamping itu, biaya sekolah Ivana pun sempat tertunggak berbulan-bulan. Kehidupan yang sangat sulit membuat seluruh anggota keluarga Ivana bekerja demi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ivana dan kakaknya kerap untuk menjajakan kue buatan sang ibu. Dan ketika musim layangan tiba, ia pun sering membantu kakaknya membuat layang-layang.
Setelah jadi, layangan pun siap dijual. Penghasilannya mereka pakai untuk bertahan hidup.
Meski sulit, Ivana kecil kerap bermain bulutangkis. Kala itu memang sedang demam bulutangkis lantaran Rudy Hartono berhasil menjuarai All England 1968.
Â
Mirisnya lagi, kemenangan Rudy Hartono tidak disaksikannya dirumah sendiri. Melainkan ia harus numpang menonton di rumah tetangganya karena tidak punya televisi.
Akan tetapi, Ivana kecil malah termotivasi dengan kemenangan tersebut. Ia ingin jadi seperti para atlet bulu tangkis.
Berbekal cita-cita itu, ia kian rutin bermain bulu tangkis di sekolahnya. Sampai pada suatu hari terdapat pertandingan bulu tangkis antar SD se-Bandung dan Ivana yang sedang duduk di kelas lima pun langsung ikut serta.
Tak disangka-sangka ia berhasil menjadi juara satu. Berkat kemenangan itu, ia diberikan reward berupa keringanan biaya uang sekolah.
Dari situ Ivana semakin termotivasi untuk juara. Alasannya agar bisa membantu orang tua.
Berbekal semangat yang besar, Ivana pun diberi dispensasi pembayaran oleh klub Mutiara Bandung, tempatnya berlatih. Perkembangannya yang membesar membuat Ivana dilirik oleh PBSI dan terpilih masuk timnas sejak tahun 1976.
Satu per satu berbagai titel bertaraf internasional pun dipegangnya. Kepiawaiannya bermain pun ditunjukkan lewat kemenangannya di berbagai nomor, mulai dari nomor tunggal putri, ganda putri, hingga ganda campuran.
Kiprahnya sebagai pemain bulu tangkis Tanah Air mulai menanjak pada tahun 1979. Yakni ketika ia berhasil menggenggam medali emas dari pertandingan Denmark Open dan Sea Games di tahun tersebut.
Kemudian pada 1982 dan 1984, Srikandi Indonesia ini meraih gelar juara tunggal putri dalam pertandingan Chinese Taipei Open. Â Sementara di nomor ganda putri, Ivana pernah meraih juara bersama Verawaty pada Indonesia Open tahun 1986.
Dengan pasangan dan pada tahun yang sama, Ivana kembali meraih juara dalam pertandingan China Open dan Taipei Open. Di tahun berikutnya, tepatnya pada 1987, Ivana kembali mengukir prestasi.
Bersama rekannya Rosiana Tendean, ia berhasil meraih juara di nomor ganda putri. Sementara di nomor ganda campuran, ia pernah menyabet medali emas pada Asian Games 1982 serta SEA Games tahun 1983 dan 1984.
Di lapangan Ivana begitu memesona. Ia kerap menitikkan air mata saat naik podium dan ketika lagu 'Indonesia Raya' dikumandangkan.
Sayang di masa perjuangannya Ivana malah tidak diakui kewarganegaraannya. Meski terlahir di Indonesia, namun kedua orang tuanya bukanlah etnis Tionghoa yang diakui berkewarganegaraan Indonesia secara resmi, yakni lewat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBRKI)
Kebijakan diskriminatif itu bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1959 tentang larangan orang asing berdagang eceran di daerah tingkat kabupaten ke bawah selain ibukota provinsi dan wajib mengalihkan usaha mereka ke warga negara Indonesia (WNI). Dampaknya berujung pada eksodus besar-besaran etnis Tionghoa ke Tiongkok.
Dan akibatnya lagi pengurusan kewarganegaraan ikut dipersulit. Kalaupun bisa tembus birokrasi, tetap harus merogoh kocek yang dalam.
Sementara kondisi keluarga Ivana kala itu serba keterbatasan sehingga tidak diurus. Nah, otomatis anak yang terlahir pun berstatus asing.
Perkara status ini pernah membuatnya batal tampil di India untuk sebuah turnamen yunior. Gara-garanya, Ivana tidak punya paspor.
Meski dibantu KONI dan PBSI untuk pembuatan dokumen kewarganegaraan sementara, Ivana butuh lima tahun untuk bisa diakui. Ia merasa kecewa dan sedih sekali, padahal budaya, bahasa, hingga bertanding membawa nama Indonesia, namun sulit sekali baginya mendapat pengakuan tersebut.
Hingga pada akhirnya usai Ivana berjumpa dengan Presiden Soeharto saat tim Uber Cup 1981 diterima di Istana Negara. Ivana berdialog dan menyampaikan bahwa saat itu statusnya masih warga negara asing.
Soeharto pun langsung menugaskan asistennya untuk diproses. Sekitar enam bulan kemudian Ivana pun menerima SKBRI.
Delapan tahun sejak menerima SBKRI, Ivana gantung raket dan alih profesi jadi pelatih hingga berbisnis pakaian sport merek Elvana. Pada 2000-an, Ivana dipercaya Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Roy Suryo jadi staf khususnya. Kini, Ivana aktif di PT Djarum.
Oleh Sony Kusumo
Salam Trade SurplusÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H