Ada pula Yap Tjwan Bing yang menjadi satu-satunya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penyandang gelar sarjana farmasi dari sebuah universitas di Amsterdam pada tahun 1939 ini pun turut hadir dalam pengesahan UUD 1945 dan pemilihan presiden beserta wakilnya pada 18 Agustus 1945.
Yap juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan DPR-RIS. Yap juga menjadi sosok yang cukup dekat dengan Soekarno.
Orang Tionghoa lainnya yang aktif dalam pergerakan nasional adalah Oei Tjong Hauw. Pada 1928, dia menjadi ketua partai Chung Hwa Hui (CHH), yakni partai warga peranakan yang berpendidikan Belanda.
Kemudian tahun 1945, Oei Tjong Hauw diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sekaligus perwakilan dari golongan Tionghoa.
Dan yang terakhir ada kisah, WR Soepratman, yang konon kabarnya adalah seorang kristiani ini terlahir pada 9 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 di Surabaya. Ada juga yang menyatakan bahwa WR Soepratman terlahir pada 19 Maret 1903.
Ia sendiri merupakan anak ke-7 dari ayahnya yang bernama Joemeno Senen Kartodikromo (seorang tentara KNIL Belanda), dan ibunya bernama Siti Senen. Masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, tepatnya di daerah sekitar Jatinegara.
Kemudian, pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem yang adalah kakak sulungnya, hijrah dari Jakarta ke Makassar. Disana, ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah "Klein Ambtenaar".
Dari Makassar, ia pindah sebentar ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Setelah itu, ia tinggal di Jakarta dan mulai tertarik kepada pergerakan nasional, dimana ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.