Pergeseran paradigma ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dapat dilihat pada tren global. Tokoh pendidikan seperti Paulo Freire dari Brasil, dengan karya terkenalnya Pedagogy of the Oppressed, memperingatkan bahaya komersialisasi pendidikan yang dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial.
Freire percaya bahwa pendidikan seharusnya membebaskan manusia dari penindasan dan mengembangkan kesadaran kritis. Namun, jika pendidikan dipandang sebagai barang dagangan, fungsi pembebasan ini akan hilang, dan yang tertinggal hanyalah sistem reproduksi ketimpangan sosial.
Sebagai refleksi terhadap kondisi ini, penting untuk mengevaluasi kebijakan pendidikan Indonesia, terutama dengan membandingkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berlaku saat ini.
Perbandingan UU No. 4 Tahun 1950 dengan UU Sisdiknas
UU No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran pada dasarnya lahir dalam semangat revolusi kemerdekaan, mencerminkan idealisme negara yang baru merdeka.
Fokus utama dari undang-undang ini adalah menjamin akses pendidikan dasar yang merata, mencakup nilai-nilai kebangsaan, karakter, dan semangat gotong royong. Pendidikan diatur sebagai hak bagi setiap warga negara tanpa terkecuali, dengan penekanan pada kesetaraan dan persatuan.
Undang-undang ini mewajibkan negara untuk memastikan bahwa pendidikan adalah bagian dari tanggung jawab kolektif demi membangun fondasi moral dan intelektual bangsa.
Sebaliknya, UU Sisdiknas yang diterapkan saat ini telah banyak mengalami perubahan, terutama dalam konteks privatisasi dan globalisasi pendidikan. UU ini cenderung lebih terbuka terhadap masuknya sektor swasta ke dalam penyediaan pendidikan, sehingga terjadi peningkatan komersialisasi dan munculnya sekolah-sekolah yang berorientasi pada pasar.
UU Sisdiknas juga memberikan ruang bagi pendidikan yang bersifat bisnis, yang menyebabkan terjadi disparitas besar antara lembaga pendidikan swasta berkualitas tinggi dan sekolah-sekolah negeri yang sering kekurangan dana dan sumber daya.
Akses pendidikan menjadi semakin ditentukan oleh kemampuan ekonomi, bukan lagi oleh prinsip kesetaraan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 1950.
Komersialisasi PendidikanÂ