Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Degradasi Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia, dari Misi Luhur ke Komoditi Industri

11 Oktober 2024   07:30 Diperbarui: 11 Oktober 2024   23:22 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajar berjalan kaki menuju sekolah yang berada di daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste (sumber:kompas) 

Pendidikan di Indonesia sejak awal kemerdekaan diposisikan sebagai salah satu misi luhur bangsa, dengan mandat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, namun saat ini perlahan mengalami degradasi menjadi komoditi industri baru.  

Tokoh besar pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, telah meletakkan dasar bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga proses pembentukan karakter yang berlandaskan kebebasan, kemerdekaan berpikir, dan tanggung jawab sosial. Filosofi "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" menjadi prinsip pendidikan Indonesia yang sejati. Namun, seiring waktu, prinsip ini tampaknya mulai terpinggirkan dengan munculnya pergeseran paradigma pendidikan menjadi sebuah komoditas industri.

Raison d'tre (alasan keberadaan) dan Mission Sacre (misi suci) Republik Indonesia dapat dipahami dari dasar-dasar filosofis, historis, dan konstitusional negara, yang tercermin dalam berbagai dokumen penting seperti Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Raison d'tre Republik Indonesia

Raison d'tre Indonesia adalah untuk mencapai kemerdekaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan ini dapat dilihat dari tujuan-tujuan yang sekaligus merupakan rumusan misi luhur yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Memajukan kesejahteraan umum.

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Alasan utama keberadaan Republik Indonesia adalah sebagai negara yang memperjuangkan kebebasan dari penjajahan, membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, serta berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Ini mencerminkan perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme dan keinginan untuk membentuk bangsa yang berdaulat dan mandiri.

Mission Sacre Republik Indonesia

Mission Sacre Republik Indonesia adalah misi mulia atau misi luhur yang diemban bangsa dan negara untuk mewujudkan cita-cita nasional. Ini juga dapat dirujuk pada Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, yang merupakan landasan filosofis negara.

Misi luhur tersebut meliputi:

Mempertahankan kemerdekaan yaitu suatu misi untuk menjaga kedaulatan dan integritas wilayah dari ancaman luar dan dalam.

Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu misi untuk melakukan pembangunan yang merata di semua bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, untuk menghapus kesenjangan sosial.

Mengembangkan demokrasi yang berkeadaban yaitu misi untuk menjamin hak-hak dasar setiap warga negara dan memastikan adanya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.

Mempertahankan budaya dan identitas nasional yaitu misi untuk menghargai keberagaman dan menjaga warisan budaya, sambil tetap terbuka terhadap kemajuan global.

Misi luhur ini merupakan tanggung jawab kolektif dan berkelanjutan pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menjaga dan melindungi apa yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Ini mencakup tugas untuk memastikan tercapainya kesejahteraan dan keadilan bagi semua lapisan masyarakat, serta terus memperjuangkan perdamaian di tingkat global.

Dengan demikian, raison d'tre dan mission sacre Republik Indonesia saling terkait dalam upaya mencapai cita-cita kemerdekaan, keadilan sosial, dan kemajuan bangsa sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai sarana untuk memerdekakan manusia, baik dari belenggu kebodohan, ketidakadilan, maupun kesenjangan sosial. Baginya, pendidikan adalah hak setiap warga negara yang harus difasilitasi oleh negara tanpa diskriminasi, bukan menjadi lahan komersial yang dikuasai oleh kapital.

Sayangnya, gagasan ini semakin terpinggirkan seiring dengan berkembangnya neoliberalisme dan kapitalisme pendidikan, di mana institusi pendidikan lebih cenderung dikelola layaknya perusahaan yang menjual jasa, mengukur keberhasilannya melalui keuntungan finansial dan sertifikasi, bukan pada pencapaian idealisme pendidikan itu sendiri.

Pergeseran paradigma ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dapat dilihat pada tren global. Tokoh pendidikan seperti Paulo Freire dari Brasil, dengan karya terkenalnya Pedagogy of the Oppressed, memperingatkan bahaya komersialisasi pendidikan yang dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial.

Freire percaya bahwa pendidikan seharusnya membebaskan manusia dari penindasan dan mengembangkan kesadaran kritis. Namun, jika pendidikan dipandang sebagai barang dagangan, fungsi pembebasan ini akan hilang, dan yang tertinggal hanyalah sistem reproduksi ketimpangan sosial.

Sebagai refleksi terhadap kondisi ini, penting untuk mengevaluasi kebijakan pendidikan Indonesia, terutama dengan membandingkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berlaku saat ini.

Perbandingan UU No. 4 Tahun 1950 dengan UU Sisdiknas

UU No. 4 Tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran pada dasarnya lahir dalam semangat revolusi kemerdekaan, mencerminkan idealisme negara yang baru merdeka.

Fokus utama dari undang-undang ini adalah menjamin akses pendidikan dasar yang merata, mencakup nilai-nilai kebangsaan, karakter, dan semangat gotong royong. Pendidikan diatur sebagai hak bagi setiap warga negara tanpa terkecuali, dengan penekanan pada kesetaraan dan persatuan.

Undang-undang ini mewajibkan negara untuk memastikan bahwa pendidikan adalah bagian dari tanggung jawab kolektif demi membangun fondasi moral dan intelektual bangsa.

Sebaliknya, UU Sisdiknas yang diterapkan saat ini telah banyak mengalami perubahan, terutama dalam konteks privatisasi dan globalisasi pendidikan. UU ini cenderung lebih terbuka terhadap masuknya sektor swasta ke dalam penyediaan pendidikan, sehingga terjadi peningkatan komersialisasi dan munculnya sekolah-sekolah yang berorientasi pada pasar.

UU Sisdiknas juga memberikan ruang bagi pendidikan yang bersifat bisnis, yang menyebabkan terjadi disparitas besar antara lembaga pendidikan swasta berkualitas tinggi dan sekolah-sekolah negeri yang sering kekurangan dana dan sumber daya.

Akses pendidikan menjadi semakin ditentukan oleh kemampuan ekonomi, bukan lagi oleh prinsip kesetaraan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 1950.

Komersialisasi Pendidikan 

Komersialisasi pendidikan ini mengakibatkan pergeseran orientasi dari misi mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sebuah industri yang berfokus pada keuntungan ekonomi. Biaya pendidikan yang semakin mahal menjadi penghalang bagi masyarakat ekonomi lemah untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk meratakan kesempatan sosial dan ekonomi, malah justru menjadi salah satu faktor yang memperparah ketidaksetaraan.

Selain itu, fokus pendidikan kini semakin bergeser dari pengembangan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan menuju pencapaian keterampilan teknis yang sesuai dengan tuntutan pasar. Hal ini terlihat dalam kurikulum yang lebih banyak diarahkan untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai, sementara nilai-nilai seperti kritisisme, kepedulian sosial, dan kesadaran kebangsaan terabaikan.

Mengembalikan Pendidikan sebagai Misi Luhur

Penting untuk diingat bahwa pendidikan bukanlah sekadar sarana untuk mencetak tenaga kerja. Pendidikan memiliki fungsi lebih luas, yakni membentuk warga negara yang kritis, bertanggung jawab, dan sadar akan nilai-nilai sosial serta kultural bangsa.

Ki Hajar Dewantara telah mengajarkan bahwa pendidikan adalah alat untuk merdeka, bukan sekadar alat untuk mencapai kesuksesan material. Paulo Freire juga mengingatkan bahwa pendidikan harus menjadi sarana untuk mengembangkan kesadaran kritis, bukan hanya untuk mencetak manusia yang patuh pada sistem kapitalis.

Kembali pada esensi "Mission Sacre" Pendidikan & Pengajaran Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, negara harus mengambil peran lebih besar untuk memastikan bahwa pendidikan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pendidikan agar tidak terjebak dalam komodifikasi yang merugikan, dan sebaliknya, menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan karakter bangsa yang utuh.

Sebagai langkah konkret, pemerintah bisa kembali menghidupkan semangat UU No. 4 Tahun 1950 dengan memperbaiki sistem pendidikan publik dan mengurangi ketergantungan pada swasta. Negara harus menjamin bahwa kualitas pendidikan negeri tidak kalah dengan swasta dan memberikan subsidi yang memadai untuk meringankan beban biaya pendidikan.

Selain itu, kurikulum pendidikan harus ditekankan pada pembangunan karakter, integritas, dan kesadaran kritis, bukan sekadar keterampilan teknis yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja.

Dengan demikian, pendidikan sebagai misi bangsa bisa tetap relevan dan menjalankan perannya sebagai alat pembebasan dan pemberdayaan, bukan sekadar alat ekonomi yang menjual sertifikasi. Kita harus kembali ke akar pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh besar pendidikan dunia, menempatkan pendidikan pada posisinya sebagai alat transformasi sosial yang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun