Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sindrom Megalomania dalam Dunia Pendidikan Indonesia yang Involutif, Komersialisasi dan Salah Kaprah Penggunaan Terminologi

30 September 2024   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:44 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rata-rata skor siswa Indonesia adalah 359 poin, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 476 poin.

3. Sains

Skor rata-rata Indonesia adalah 383 poin, juga di bawah rata-rata OECD yang 485 poin.

Performa siswa Indonesia lebih rendah di semua bidang ini dibandingkan rata-rata internasional, dan terdapat perbedaan signifikan dalam capaian berdasarkan status sosial ekonomi serta dampak penutupan sekolah selama pandemi.

Penggunaan istilah coach yang salah kaprah dan orientasi pendidikan berbasis pasar tidak memberikan solusi substantif atas tantangan pendidikan Indonesia. Sebaliknya, ini memperkuat sistem yang hanya melayani kepentingan segelintir pihak.

Jika kita memandang pendidikan dari perspektif Taksonomi Bloom yang menekankan pengembangan menyeluruh, dan pendidikan kritis ala Freire yang menekankan kesadaran sosial, jelas bahwa arah pendidikan Indonesia harus diperbaiki.

Pendidikan harus kembali kepada esensinya: membentuk individu yang mampu berpikir kritis, memahami kompleksitas dunia, dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat, bukan hanya untuk keuntungan individu atau institusi.

Sindrom megalomania dalam dunia pendidikan Indonesia adalah refleksi dari kegagalan kita memahami hakikat pendidikan sebagai proses yang membebaskan dan memanusiakan. 

Penggunaan istilah coach yang dangkal dan komersialisasi pendidikan yang semakin masif hanya memperparah kondisi ini. Menghadapi fenomena ini, kita harus kembali kepada gagasan-gagasan mendasar dari tokoh-tokoh pendidikan kritis seperti Ki Hajar Dewantara, Benjamin Bloom dan Paulo Freire, yang menekankan pentingnya pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan membebaskan.

Pendidikan tidak seharusnya menjadi ajang persaingan atau komoditas yang diperjualbelikan. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ruang untuk mengembangkan potensi setiap individu, menciptakan masyarakat yang adil, dan memajukan peradaban secara holistik. 

Jika tidak, pendidikan kita akan terus mengalami involutif,  mundur secara substansial meskipun tampak bergerak maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun