Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sindrom Megalomania dalam Dunia Pendidikan Indonesia yang Involutif, Komersialisasi dan Salah Kaprah Penggunaan Terminologi

30 September 2024   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:44 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paulo Freire dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed" menekankan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan individu, bukan justru menjadi alat opresi baru yang meminggirkan mereka yang kurang mampu. Komersialisasi pendidikan menciptakan hierarki baru di mana akses terhadap pengetahuan dan kesempatan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu membayar. 

Ini bertentangan dengan gagasan Freire tentang pendidikan yang seharusnya memerdekakan dan inklusif. Pendidikan tidak boleh diperdagangkan atau diukur semata-mata berdasarkan kemampuan finansial, karena hal itu hanya akan memperdalam kesenjangan sosial yang sudah ada.

Benjamin Bloom, dengan teori mastery learning-nya, percaya bahwa semua siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi jika diberikan waktu dan dukungan yang memadai. Komersialisasi pendidikan yang berbasis pada keuntungan dan persaingan cenderung mengabaikan prinsip ini, menggantinya dengan sistem yang tidak memperhitungkan perbedaan individu.

Alih-alih memberikan akses setara kepada setiap siswa, pendidikan dijual dalam paket-paket elit yang hanya dapat diakses oleh sebagian kecil masyarakat. Ini menggerogoti prinsip pendidikan yang seharusnya berorientasi pada pengembangan semua individu secara optimal, seperti yang diusulkan oleh Bloom.

Involutif: Kemunduran Pendidikan yang Tersembunyi

Gejala megalomania dan komersialisasi pendidikan ini memperlihatkan betapa pendidikan kita sedang mengalami involutif ---berputar merumit kedalam tanpa arah yang jelas. Meski tampak ada pergerakan dengan istilah-istilah baru dan inovasi teknologi, namun pendidikan kita sebenarnya stagnan. 

Dalam capaian skor Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia menunjukkan penurunan skor di semua bidang utama dibandingkan dengan 2018.

Berikut adalah rinciannya:

1. Matematika

Siswa Indonesia memperoleh rata-rata 366 poin, lebih rendah dari rata-rata OECD yang 472 poin. Hanya 18% siswa Indonesia yang mencapai tingkat kecakapan minimal (Level 2), jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 69%. Hampir tidak ada siswa Indonesia yang mencapai Level 5 atau 6, kategori siswa berprestasi tinggi.

2. Membaca

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun