Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ironi Miskin Tapi Bahagia di DIY, Cambuk Reformasi Birokrasi

22 Januari 2023   21:10 Diperbarui: 28 Januari 2023   05:08 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Perihal Orang Miskin yang Bahagia ilustrasi Jawa Pos dari laman ruangsastra.com)

"AKU sudah resmi jadi orang miskin," katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. "Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga."

Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong. "Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya."

Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. "Kelak, mereka pasti akan menjadi orang miskin yang baik dan sukses," gumamnya.

Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, "Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita...."

Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,"ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.

Nukilan Cerpen Agus Noor, "Perihal Orang Miskin yang Bahagia" (2010) tersebut menohok nurani saya saat angka kemiskinan di DIY kembali ramai diperbincangkan, sepuluh tahun lebih sesudah cerita itu ditulis. Pada tahun 2022, angka kemiskinan DIY sebesar 11,49% merupakan angka kemiskinan terburuk di Jawa dan berada di atas rerata nasional yaitu 9,57%.

"Mungkinkah Miskin Tapi Bahagia?"
Pikiran khalayak tentang majas retoris "mungkinkah miskin tapi bahagia" tentu menggelayut pada benak banyak orang. Dalam cerpen "Perihal Orang Miskin yang Bahagia", pikiran dan hati kita diusik melalui paradoks kemiskinan. Perihal Kemiskinan dan Kebahagian disandingkan dalam sebuah silogisme yang membangkitkan sensitivitas sosial.

Kemiskinan selama ini telah digunakan sebagai salah satu instrumen dalam agenda pembangunan untuk distribusi kemakmuran melalui pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan sekaligus juga sering menjadi "komoditas politik". Konsekuensi suatu angka kemiskinan seringkali menjadi polemik ditingkat lapangan sampai pada tingkat para pengambil kebijakan. Perdebatan soal angka kemiskinan sendiri justru ujungnya kerap meninggalkan realita sosial masyarakat miskin dengan segala ironi di tengah hingar bingar pembangunan.

Terjebak Romantisme Miskin Tapi Bahagia
Perihal fenomena miskin tapi bahagia di DIY, menjadi sangat menarik bagi saya sebagai cermin kondisi efektivitas reformasi birokrasi terhadap dampak program layanan sosial masyarakat. Kita lepaskan perdebatan semantik soal "angka kemiskinan" dan mulai berpikir tentang bagaimana menciptakan solusi yang berdampak mengentaskan fakta kemiskinan menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam perspektif reformasi birokrasi, fenomena ironi "miskin tapi bahagia dan panjang umur" yang terjadi di DIY sering menjadi justifikasi atas mlesetnya target capaian pembangunan khususnya pengurangan angka kemiskinan. Saya khawatir afirmasi "miskin tapi bahagia" akan menjadi romantisme sosial yang akan menjebak kita dalam stagnasi reformasi birokrasi dalam pembangunan ekonomi, sosial dan budaya di DIY.

Saat survei BPS lebih 5 tahun lalu tentang indeks kebahagiaan, memang DIY pernah meraih angka tinggi yakni sebesar 70,77 (2014) dan sebesar 72,93 (2017).  Capaian DIY menjadi bagian deretan daerah paling bahagia di Indonesia saat itu, menjadi justifikasi atas angka maupun fakta kemiskinan. Substansi persoalan kemiskinan lantas seolah kabur dengan gimik dan justifikasi "miskin tapi bahagia".

Gap antara angka statistik dan fakta sosial tentang kemiskinan di DIY semestinya didekatkan dengan terobosan kebijakan yang berorientasi pada perubahan dampak program pembangunan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Pada catatan BPS tahun 2021, Indeks Kebahagiaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melorot drastis dari peringkat 1 (paling bahagia) ke peringkat 22 dengan skor 71,70.

Apakah kita masih bisa bersembunyi dibalik gimik "miskin tapi bahagia" tahun 2022 ?

Konsep Indeks Kebahagiaan vs Angka Kemiskinan
Ada dua mazhab mengukur kemiskinan, yaitu pertama menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) atau kedua menggunakan Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index (MPI)).

BPS dalam mengukur angka  kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

Indeks Kemiskinan Multidimensi atau disebut juga Multidimensional Poverty Index (MPI) merupakan salah satu pendekatan baru dalam mengukur kemiskinan.  Pengukuran kemiskinan menggunakan MPI memandang potret kemiskinan dari tiga dimensi (multi dimensi) yaitu dimensi kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak.

Dalam melihat kebahagiaan warga masyarakat bisa diukur menggunakan indeks kebahagiaan (happiness index). BPS mencatat bahwa Indeks kebahagiaan dipengaruhi oleh dimensi Kepuasan Hidup (34,80%), dimensi Makna Hidup (34,02%), serta dimensi Perasaan (31,18%).
 
Overlay Angka Kemiskinan dan Indeks Kebahagiaan
Jika angka kemiskinan DIY tahun 2022 di-overlay dengan Indeks kebahagiaan DIY tahun 2021 maka akan nampak sebagai Daerah dengan angka kemiskinan tertinggi di Jawa dengan Indeks Kebahagiaan menengah. Artinya justifikasi "Miskin tapi Bahagia" telah runtuh oleh dinamika fakta sosial.

Indeks Pembangunan Manusia 

Namun demikian ada fakta menarik lain tentang IPM dan Umur Harapan Hidup penduduk DIY yang tinggi.

Umur Harapan Hidup penduduk DIY tahun 2022 adalah 75,08 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, umur harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia saat lahir mencapai 71,85 tahun pada 2022. Angka tersebut meningkat 0,28 tahun dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 71,57 tahun.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) pertama kali dicetuskan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan setiap tahun diterbitkan suatu laporan IPM atau Human Development Report (HDR).

IPM menjadi salah satu tolok ukur kesejahteraan masyarakat di suatu negara secara komprehensif yang melibatkan berbagai dimensi. Adapun pengukuran IPM di Indonesia menggunakan 3 dimensi yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.

Tiap dimensi kemudian juga dijabarkan dengan indikatornya masing-masing. Umur panjang dan hidup sehat dihitung berdasarkan angka harapan hidup saat lahir, pengetahuan dihitung berdasarkan harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah, serta standar hidup layak dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita.

Kemiskinan sebagai Cambuk Reformasi Birokrasi 

Fakta kemiskinan sebetulnya perlu menjadi cambuk reformasi birokrasi di pemda DIY dan serta 4 Kabupaten dan Kota Yogyakarta untuk melakukan perubahan mendasar. Perubahan mendasar tersebut adalah perubahan mindset dari "Mindset Pangreh Praja"  atau birokrasi yang dilayani kepada "Mindset Pamong Projo" yaitu birokrasi yang melayani. Mindset birokrasi yang melayani akan membawa perubahan orientasi dari kerja ke kinerja. Sikap (attitude) melayani ini tentu membutuhkan etos yang akan membentuk budaya birokrasi sebagai pelayan publik. Etos birokrasi di lingkungan PEMDA DIY disimbolkan melalui akronim SATRIYA.
SATRIYA dimaknai sebagai watak ksatria yaitu sikap memegang teguh ajaran moral : sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati, dan bertanggung jawab). Semangat "golong gilig" yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya. SATRIYA juga merupakan akronim  dari : Selaras, Akal budi Luhur, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, Inovatif, Yakin dan percaya diri, serta Ahli-profesional. Masing-masing hal itu merupakan butir-butir dari falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang memiliki makna dan pengertian luhur. Reformasi Birokrasi perlu cambuk yang akan membentuk Birokrasi Berkelas Dunia pada Tahun 2025 sesuai roadmap yang ada. Penghargaan dan capaian administrasi SAKIP dan RB harus dimaknai sebagai tantangan untuk terus meningkatkan kualitas birokrasi dengan membentuk attitude dan kultur birokrasi berkelas dunia yang berorientasi pada pelayanan publik prima. 

Inovasi dan Terobosan Pengentasan Kemiskinan 

Pengentasan kemiskinan membutuhkan banyak terobosan yang saat ini sedang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Visi Bapak Gubernur dalam RPJMD DIY tahun 2022-2027 dikemas dalam Lima Kemuliaan yang disebut Pancamulia.  Ada tiga hal yang saling terkait dan menjadi prioritas perhatian yakni kawasan selatan, reformasi kelurahan, dan teknologi informasi.

Visi tersebut diturunkan dalam empat misi, yakni pertama, mereformasi kelurahan untuk lebih berperan dalam meningkatkan kualitas hidup, kehidupan, penghidupan warga, pembangunan yang inklusif, serta pengembangan kebudayaan. Kedua, memberdayakan kawasan selatan dengan mengoptimalkan dukungan infrastruktur, peningkatan kapasitas SDM, dan perlindungan atau pengelolaan sumber daya setempat. Ketiga, meningkatkan budaya inovasi dan mengoptimalkan kemanfaatan kemajuan teknologi informasi. Keempat, melestarikan lingkungan dan warisan budaya melalui penataan ruang dan pertanahan yang lebih baik.

Berbagai program inovasi pengentasan kemiskinan perlu didorong dengan memprioritaskan wilayah selatan DIY sebagai subyek prioritas pembangunan. Sinergi pendidikan, kebudayaan dan pariwisata perlu dirumuskan dalam bentuk program pemberdayaan dan transformasi sosial melalui agenda reformasi kelurahan sebagai basis pembangunan yang holistik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun