Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pandemi dan Disrupsi Persoalan Hukum di Indonesia

11 Desember 2020   07:44 Diperbarui: 11 Desember 2020   08:00 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi disrupsi digital (sumber infokomputer.grid.id)

Pada tahun 2020 ini, kemeriahan memasuki angka tahun kembar berganti dengan berbagai gejolak sosial di dalam dan luar negeri. Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 ini, pastilah tercatat dalam sejarah yang telah merubah dunia.

Pada bulan Maret dan April 2020 kita ingat kegaduhan berita terkait Program POP menteri Pendidikan yang menimbulkan kontro versi soal potensi korupsinya. 

Dua bulan berikutnya, rakyat Indonesia menyaksikan kemarahan Presiden Joko Widodo dalam video yang ditayangkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020). Dalam video pidato pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020), Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan keras dan menyoroti buruknya kinerja para menteri kabinetnya, serta mengeluarkan ancaman perombakan atau reshuffle kabinet.

Kita juga tentu ingat gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung RI) pada Sabtu malam 22 Agustus 2020 dengan kebakaran besar yang telah menghanguskan enam lantai. Kebakaran gedung Kejaksaan Agung tersebut patut diduga sebagai bentuk quasi terorisme (terorisme terselubung) atas persoalan hukum yang tengah ditangani. 

Pada bulan September-Oktober 2020 muncul pula gejolak sosial dan politik dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja. Kegaduhan itu diiringi riuhnya media sosial tentang UU Cipta Kerja disertai berbagai gelombang demonstrasi dan dinamika sosial politik di Tanah Air. Sontak tiba-tiba muncul berita penangkapan dua menteri berturut-turut di bulan November - Desember 2020. 

Menteri Sosial Juliari P Batubara menyerahkan diri di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, pada Minggu (6/12/2020) dini hari sesudah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi di Kementerian Sosial terkait bantuan sosial (Bansos) untuk wilayah Jabodetabek 2020.

Sehari sesudah berita penangkapan menteri yang heboh itu, muncul lagi berita tertembaknya 6 anggota FPI di Tol Cikampek tanggal 7 Desember 2020. 

Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/12) menyampaikan bahwa anggota polisi yang terancam keselamatan jiwanya karena diserang, telah melakukan tindakan tegas dan terukur sehingga, kelompok yang diduga pengikut MRS yang berjumlah 10 orang, meninggal sebanyak enam orang.

Sejurus dengan pernyataan Kapolda Metro Jaya, terbitlah Arahan Kapolri yang tertuang dalam Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/873/XII/PAM.3.3/2020 pada Senin, 7 Desember 2020 untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menyikapi perkembangan situasi terkini.

Tiga tahun lalu, kita ingat kegaduhan politik atas peristiwa kecelakaan lalu lintas yang ramai diperbincangkan masyarakat di Indonesia, tepatnya menjelang penghujung tahun 2017. Tersohornya kecelakaan mobil tokoh elit politik yang menabrak tiang listrik ini bahkan dalam tempo yang sangat cepat, telah tersebar ke seluruh pelosok Nusantara.  Berita tokoh elit politik dalam peristiwa itu menjadi ironi fakta sebuah kecelakaan Mobil Toyota Fortuner tahun 2012 yang melaju dengan kecepatan kurang dari 50 Km/jam.

Kecelakaan biasa itu memang tidak sehebat kecelakaan yang menimpa Puteri Wales Lady Diana tahun 1997 di jalan terowong Pont de l'Alma Paris bersama-sama dengan Dodi Al-Fayed dan sopir Htel Ritz Paris Henri Paul yang mengendarai Mobil Mercedes-Benz S-Class W140 (no pendaftaran 688 LTV75). Namun demikian pada sekala Nasional, berita kecelakaan tahun 2017 itu dan kasus mega korupsinya telah mengundang perhatian publik sedemikian besar dan melibatkan banyak profesi dengan liputan media yang cukup masif.

Banyak kegaduhan  itu bukan karena semata-mata peristiwanya yang terjadi, namun karena ada faktor disrupsi persoalan hukum dan politik dibalik berbagai peristiwa tersebut.

Perilaku elit politik demi untuk melindungi kepentingan mereka itu telah menimbulkan kekacauan dipelbagai tataran.  Perilaku yang demikian bisa jadi bersifat disruptif. Perilaku disruptif ini berhasil menyerang sistem logika normal dan akal sehat (common sense) yang telah mapan di masyarakat kita. Keberanian dalam bermain peran dan mengatur banyak pihak menggunakan skenario penyelamatan sang tokoh memang sangat luar biasa. 

Pernyataan Presiden agar sang tokoh mentaati proses hukum yang sedang berjalan telah memicu para pendamping tokoh itu berpikir 'extra ordinary' dengan menggunakan seluruh kecerdasannya. Mereka berpikir keras untuk mencari celah sekecil apapun dengan cara apapun agar bisa terlepas dari jeratan hukum. 

Ada beberapa celah hukum yang biasa dimanfaatkan oleh para elit berperkara hukum. Dalam ilmu hukum pidana ada dua alasan penghapus pidana, yaitu alasan pembenar (Pasal 50 KUHP) dan alasan pemaaf (Pasal 44 KUHP ayat 1). Kedua alasan tersebut sekurangnya menguatkan berbagai celah hukum di Indonesia untuk mengurangi atau bahkan menghapus hukuman pidana.

Celah hukum tersebut misalnya adanya berbagai kelemahan pada materi pasal-pasal terkait dengan tuntutan pelanggaran hukum sang tersangka. Kita tahu bahwa Hukum Pidana di Indonesia sebagian sudah obsolet atau usang. Tuntutan melalui proses pra peradilan juga menjadi celah pertama bagi tersangka untuk lepas dari proses hukum seperti yang sudah banyak terjadi pada elit politik kita. 

Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) juga bisa menjadi celah untuk dimanfaatkan tersangka agar terlepas dari proses hukum yang sedang dijalani. Hal lainnya adalah apabila tersangka meninggal dunia, maka kasus hukumnya juga akan dihentikan. Ada celah hukum berikutnya lagi apabila tersangka menderita gangguan jiwa berat pada saat perbuatan melawan hukumnya terjadi. Oknum tersangka yang mengalami amnesia juga bisa menjadi celah lain untuk meringankan atau bahkan lolos dari jerat hukum. 

Disrupsi Perilaku Elit dalam Berkelit dari Jerat Hukum

Perilaku para elit untuk lari dari jerat hukum dengan memanfaatkan celah hukum diatas bisa bersifat disruptif. Perilaku disruptif ini tentu tidak bisa disamakan dengan inovasi disruptif seperti yang ditulis Clayton M. Christensen (1995) tentang sebuah teori untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara eksponensial melalui "Innovation-driven growth". 

Persamaan satu-satunya adalah bahwa keduanya memicu efek disruptif yang menganggu kestabilan. Inovasi disruptif dalam teknologi memicu akselerasi pertumbuhan perusahaan secara masif dan menimbulkan dampak sistemik pada para pelaku bisnis lainnya yang bisa bersifat positif. Namun perilaku disruptif para oknum elit politik justru memicu kegaduhan dan merusak pranata yang sudah berjalan di masyarakat dan berdampak buruk pada sistem hukum kita.

Perilaku disruptif ini tentu juga sangat berdampak pada pranata sosial, dan sistem perekonomian kita. Perilaku disruptif bahkan menyerang integritas institusi maupun oknum dari berbagai profesi. Kekuatan perilaku disruptif ini bertumpu pada kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuatan uang yang sangat besar.

Solusi dalam menanggulangi perilaku disruptif ini harus menjadi satu dengan solusi pembenahan Sistem Hukum Nasional kita. Kita membutuhkan Sub Sistem Hukum Pidana yang diperbaharui sesuai konteks dan perkembangan jaman kedepan. 

Penegakkan hukum yang kuat dengan didukung integritas aparatur negara tentu menjadi satu hal vital dan mendesak selain pentingnya pakta integritas yang dimonitor secara efektif oleh stakeholder kelembagaan terkait. Penegakkan hukum harus berjalan simultan dengan penegakkan keadilan. Celah-celah hukum harus dipersempit dengan memberikan ruang lebih terbatas lagi terhadap perilaku disruptif oknum politisi pelanggar hukum. (TA)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun