Banyak kegaduhan  itu bukan karena semata-mata peristiwanya yang terjadi, namun karena ada faktor disrupsi persoalan hukum dan politik dibalik berbagai peristiwa tersebut.
Perilaku elit politik demi untuk melindungi kepentingan mereka itu telah menimbulkan kekacauan dipelbagai tataran. Â Perilaku yang demikian bisa jadi bersifat disruptif. Perilaku disruptif ini berhasil menyerang sistem logika normal dan akal sehat (common sense) yang telah mapan di masyarakat kita. Keberanian dalam bermain peran dan mengatur banyak pihak menggunakan skenario penyelamatan sang tokoh memang sangat luar biasa.Â
Pernyataan Presiden agar sang tokoh mentaati proses hukum yang sedang berjalan telah memicu para pendamping tokoh itu berpikir 'extra ordinary' dengan menggunakan seluruh kecerdasannya. Mereka berpikir keras untuk mencari celah sekecil apapun dengan cara apapun agar bisa terlepas dari jeratan hukum.Â
Ada beberapa celah hukum yang biasa dimanfaatkan oleh para elit berperkara hukum. Dalam ilmu hukum pidana ada dua alasan penghapus pidana, yaitu alasan pembenar (Pasal 50 KUHP) dan alasan pemaaf (Pasal 44 KUHP ayat 1). Kedua alasan tersebut sekurangnya menguatkan berbagai celah hukum di Indonesia untuk mengurangi atau bahkan menghapus hukuman pidana.
Celah hukum tersebut misalnya adanya berbagai kelemahan pada materi pasal-pasal terkait dengan tuntutan pelanggaran hukum sang tersangka. Kita tahu bahwa Hukum Pidana di Indonesia sebagian sudah obsolet atau usang. Tuntutan melalui proses pra peradilan juga menjadi celah pertama bagi tersangka untuk lepas dari proses hukum seperti yang sudah banyak terjadi pada elit politik kita.Â
Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) juga bisa menjadi celah untuk dimanfaatkan tersangka agar terlepas dari proses hukum yang sedang dijalani. Hal lainnya adalah apabila tersangka meninggal dunia, maka kasus hukumnya juga akan dihentikan. Ada celah hukum berikutnya lagi apabila tersangka menderita gangguan jiwa berat pada saat perbuatan melawan hukumnya terjadi. Oknum tersangka yang mengalami amnesia juga bisa menjadi celah lain untuk meringankan atau bahkan lolos dari jerat hukum.Â
Disrupsi Perilaku Elit dalam Berkelit dari Jerat Hukum
Perilaku para elit untuk lari dari jerat hukum dengan memanfaatkan celah hukum diatas bisa bersifat disruptif. Perilaku disruptif ini tentu tidak bisa disamakan dengan inovasi disruptif seperti yang ditulis Clayton M. Christensen (1995) tentang sebuah teori untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara eksponensial melalui "Innovation-driven growth".Â
Persamaan satu-satunya adalah bahwa keduanya memicu efek disruptif yang menganggu kestabilan. Inovasi disruptif dalam teknologi memicu akselerasi pertumbuhan perusahaan secara masif dan menimbulkan dampak sistemik pada para pelaku bisnis lainnya yang bisa bersifat positif. Namun perilaku disruptif para oknum elit politik justru memicu kegaduhan dan merusak pranata yang sudah berjalan di masyarakat dan berdampak buruk pada sistem hukum kita.
Perilaku disruptif ini tentu juga sangat berdampak pada pranata sosial, dan sistem perekonomian kita. Perilaku disruptif bahkan menyerang integritas institusi maupun oknum dari berbagai profesi. Kekuatan perilaku disruptif ini bertumpu pada kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuatan uang yang sangat besar.
Solusi dalam menanggulangi perilaku disruptif ini harus menjadi satu dengan solusi pembenahan Sistem Hukum Nasional kita. Kita membutuhkan Sub Sistem Hukum Pidana yang diperbaharui sesuai konteks dan perkembangan jaman kedepan.Â