Pada 22 November 2019, Uni Eropa mengajukan Indonesia melalui "dispute settlement" nomor DS592 : "Measures Relating to Raw Materials" ke WTO atas pelarangan ekspor bahan mentah nikel.
Alih-alih menggugat Indonesia, justru China dengan cerdas bisa memahami kebijakan Indonesia dan bersedia membangun smelters dengan investasi Triliunan Rupiah.
Intrik cerita babak baru dimulai, dari konteks perang dagang nikel ini. Isu bahwa China akan menguasai ekonomi Indonesia, sampai isu TKA dibuat.
Siapa pemain isu tersebut ?
Patut diduga negara maju yang berkepentingan atas penguasaan sumber daya mineral Indonesia terlibat dalam skenario "Proxy War" isu anti China. Pemain isu tersebut tidak lain adalah para kelompok petualang politik yang sangat berkepentingan memanfaatkan sentimen rasis untuk tujuan politik mereka.
Soal TKA asal Tiongkok
Atas dasar kebijakan pelarangan biji mentah nikel tersebut, maka perusahaan yang akan mengekspor Nikel harus membangun smelter di Indonesia.Â
Ada dua perusahaan asing yaitu PT Dragon Nickel Industri (PMA) Â dan PT Obsidian Stainless Steel (PMA) bersinergi mengembangkan "Integrated Nickel Core Processing & down-stream steel manufacturing Plant" atau pabrik pengolahan biji nikel dan industri hilir baja.
Pihak perusahaan asing selain membawa dana investasi juga membawa teknologi yang dibutuhkan. Dana investasi kedua pabrik itu berasal dari China yang tentunya sebagai jaminannya agar pembangunan kedua pabrik tersebut lancar, maka ditunjuklah Kontraktor Utama juga dari China.Â
Pembangunan kedua pabrik tersebut menggunakan sistem "harga borongan bertahap" (lump-sum turnkey-contract). Kontraktor Nasional tidak ada yang memenuhi kualifikasi yang diharapkan.
Nah ... dokumen proyekpun juga ditulis dalam bahasa Mandarin, sehingga mulai dari pimpro, teknisi, serta tenaga proyekpun didatangkan dari China. Jumlah tuntutan jam kerja proyek selama 12 jam non-stop juga tidak bisa dipenuhi oleh tenaga kerja lokal.