Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Simalakama Covid-19, Pasung, dan Tarian

8 Mei 2020   05:39 Diperbarui: 9 Mei 2020   06:14 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: naiknya angka pasien. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Wakil presiden Course Hero (salah satu platform pembelajaran online), Tomas Pueyo menulis tentang situasi dilematis  saat pandemi covid-19 ini dengan perumpamaan antara Palu dan Menari dalam artikel  "Coronavirus: The Hammer and the Dance". 

Cara yang paling tepat untuk mencegah perkembangan mata rantai penularan adalah dengan melakukan karantina yang membutuhkan "palu". Pilihan sulit untuk menjalankan kebijakan pembatasan sosial yang berdampak meluas pada hampir semua aspek kehidupan. Pilihan kontras itu digambarkan seperti Palu dan Tarian.

Ungkapan senada dengan ekspresi dilematis tersebut kita kenal sebagai "Buah Simalakama". Situasi pembatasan sosial membutuhkan "pasung". Arti harafiah pasung dalam KBBI adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher.

Pembatasan Sosial Berskala Besar ibarat pasung, bukan untuk menghukum namun untuk menyelamatkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.

Pandemi Covid-19 bisa digambarkan seperti "tidal wave" Tsunami yang terjadi dalam periode waktu panjang. Gelombang pandemi akan terdiri dari satu gelombang besar dan gelombang lain yang terus mengecil sampai energi gelombangnya mendekati nol.

Kebijakan penanganan badai covid seharusnya terintegrasi dalam sistem komando yang efektif dan efisien.

Akibat kebijakan sektoral yang tidak terintegrasi akan sangat rentan terhadap terbukanya risiko gelombang kasus covid-19. Kita semua ingin bentuk kurva kasus covid landai.  

Ibarat gelombang, karakteristik kurva penularan pasti tidak hanya terdiri satu gelombang besar terus menghilang, melainkan akan ada gelombang ke-2 sampai gelombang ke-n yang semakin melandai.

Bila gelombang pertama kasus belum selesai tetapi kebijakan physical distancing terburu-buru dilepas maka bahayanya justru puncak second wave akan bisa jadi lebih besar dari kurva gelombang pertama.

Tarik ulurnya tentu antara kepentingan kesehatan masyarakat dengan kepentingan ekonomi, yang keduanya tidak bisa dipisahkan atau lebih diprioritaskan daripada yang lain. Ibarat memakan buah simalakama, namun pilihan harus tetap diambil.

Ada kebijakan kemenhub untuk penjabaran pembatasan akses transportasi, namun diksi yang dicatat media terasa seperti melonggarkan mobilitas moda transportasi.

Hal ini terkesan membingungkan dan ibarat menari disekitar pasung, artikulasi munculnya kebijakan kemenhub menjadi multi tafsir bagi daerah yang tengah berusaha keras mencegah transmisi kasus antar daerah.

Sementara itu DIY sekarang sedang menghadapi gelombang pertama pandemi yang tengah menuju puncak dengan berkembangnya cluster penularan melalui transmisi lokal.

Berdasarkan wawancara online Pak Sri Purnomo (Bupati Sleman) pada 8 Mei 2020 jam 18.20 di Metro TV News tentang kasus covid-19 Indogrosir, super market ini telah melaksanakan rapid test sesudah 1 orang tenaga administrasinya dinyatakan positif covid. 

Hal itu kemudian ditindak lanjuti dengan pelaksanaan Rapid Diagnostic Test (RDT) yang menunjukkan 57 karyawan reaktif, lalu dilanjutkan dengan Swab test karyawan Indogrosir yang reaktif tersebut pada tanggal 2, 4, 5 Mei 2020.

Sementara untuk masyarakat akan dilakukan RDT di Gedung Olah Raga Pangukan Sleman besok tanggal 12, 13,14 Mei setiap hari dengan melayani 500 orang utamanya bagi yang pernah berkunjung ke Indogrosir. Total jumlah masyarakat yang akan mendapatkan test adalah 1500 orang.

Yogyakarta memiliki beberapa supermarket berjejaring yang sebaiknya juga dilakukan Rapid Diagnostic Test.

Saya baru saja belanja di salah satu supermarket terkemuka Rabu 8 Mei 2020, tiba tiba merasa masgul mengingat Indogrosir telah ditutup sesudah dilakukan RDT dengan beberapa karyawannya reaktif.

Saya tiba-tiba saja merasa tidak nyaman dengan pikiran, jangan jangan ..., lalu What if...

What If ... we applied such Rapid Diagnostic Test immediately at those big supermarket networks in Yogyakarta?

Jangan-jangan kita pergi ke tempat yang terpapar risiko tinggi.... Konsekuensinya bisa jadi berupa penerapan PSBB.

Ada dua hal tentang PSBB, yaitu pertama PSBB sebagai sebuah instrumen kebijakan karantina terkait wabah penyakit covid, di mana deklarasinya membutuhkan prasyarat administrasi pendukung serta konsekuensi turunan kebijakan teknis lainnya.

Hal kedua adalah PSBB sebagai sebuah tuntutan situasi empirik yang secara epidemiologi membutuhkan tindakan cepat, tepat dan terukur.

Kita jangan sampai terjebak pada "idle time" yang lama dalam dua situasi tersebut. Semakin cepat "idle time", semakin baik.

Pasal 59 UU Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan tersebut, pedoman pelaksanaan PSBB diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka disusunlah PP No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar serta lebih teknis lagi diatur dalam Permenkes 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Menemukan titik tengah dalam skenario penentuan status PSBB antara prasyarat administrasi serta konsekuensi efek kebijakannya dan tuntutan fakta epidemiologi adalah seni kepemimpinan dalam komando Gugus Tugas penanganan Covid-19 di suatu daerah.

Apakah PSBB sebagai status, atau PSBB sebagai kebutuhan epidemiologi untuk mencegah dan mengendalikan penularan? Pilihan perlu segera dibuat secara cerdas dan bijaksana.

Pasti ada banyak inovasi yang akan muncul saat PSBB diterapkan dengan basis kebutuhan. Kita membutuhkan "Smart Containment" yang kontekstual dan "Economically Friendly".

PSBB bisa diterapkan dengan dukungan kebijakan yang koheren dan terintegrasi. Penerapannya bisa dimulai dari level kelurahan, lalu kecamatan dan atau meningkat ke Kabupaten.

Kita mendorong kebijakan yang cepat dan tepat, bukan karena status PSBB secara administrasi tetapi karena dorongan kesadaran berbasis fakta kebutuhan dan konteks persoalan. (TA)

*) Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial serta Sekretaris Gugus Tugas JERC-19 (Jogja Economic Resilience for Covid-19)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun