Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lonjakan Perceraian, Gaya Senggama Aman-Covid, dan Kebijakan Aneh Pemerintah

4 September 2020   08:41 Diperbarui: 6 September 2020   00:05 2802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi [Getty Images, NYTimes.com]

Meski demikian, saya rasa beralasan jika seseorang mengatakan, kehamilan-kehamilan itu memang gara-gara pandemi. Pandemi bikin pekerjaan-pekerjaan lenyap. Lelaki dan perempuan lebih sering berada di rumah. 

Seperti kata karakter Bang Napi dalam sebuah tv show polisi-polisian, "Kejahatan terjadi bukan cuma karena ada niat, melainkan (bisa) juga karena ada kesempatan."

Orang-orang itu sangat mungkin tidak berniat hamil dan menghamili. Siapakah yang dengan tahu dan mau menghadirkan anak ke ke tengah dunia yang sedang di puncak ketidakpastian dan mengancam ini? 

Semua terjadi spontan saja, didorong oleh hasrat, naluri, dan tentu saja kesempatan. Tiga hal ini biasanya mengabaikan perencanaan dan kalkulasi panjang.

Bicara kalkulasi, tampaknya ini pula yang hilang dari keputusan lekas-lekas menikah dan lekas-lekas pula cerai semasa pandemi.

Pandemi menyebabkan ekonomi melesu dan berdampak pengurangan penghasilan. Sebaliknya pernikahan berkonsekuensi tambahan pengeluaran, setidaknya untuk membeli perabotan baru, terutama dipan.

Bagaimana bisa sebagian orang memutuskan menambah pengeluaran di bawah bayang-bayang pemangkasan pendapatan?

Demikian pula irasionalitas perceraian berlatar belakang kondisi ekonomi semasa pandemi. Perceraian berarti tambahan pengeluaran sebab banyak hal yang sebelumnya cuma dibutuhkan satu, kini harus ada dua. Rice cocker misalnya, atau water dispenser.

Apakah si istri berpikir resesi yg dipercepat dan diperparah pandemi--resesi tetap akan segera terjadi sekalipun tidak ada pandemi--hanya menimpa suaminya seorang? 

Apakah ia berharap bisa segera mendapat suami pengganti yang tidak terimbas kelesuan ekonomi? Ataukah ia pikir orang tuanya--tempat ia mungkin kembali setelah melajang--hidup di alam lain yang lolos dari  kondisi ini?

Mungkin yang lebih tepat adalah penurunan kesejahteraan menciptakan kondisi rentan konflik suami-istri. Dahulu gas selalu tersedia. Kini istri pusing mencari cara memasak hemat gas sebab jika habis belum tentu bisa segera membeli lagi. 

Dapur pun berubah menjadi ruang penyiksaan, penuh tekanan batin. Seseorang harus disalahkan untuk itu. Suami yang masih tertidur karena tak harus berangkat kerja adalah pihak yang paling mungkin jadi pelampiasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun