Jujur saja, deh. Yang bereaksi keras terhadap ringannya tuntutan jaksa terhadap pelaku penganiayaan Novel Baswedan itu ada dua golongan. Pertama rakyat yang merasa lembaga-lembaga penegakan hukum lemah syahwat. Kedua, akun-akun bala tentara kontraktor opini (buzzer).
Kelompok kedua berusaha keras mengarahkan rasa jengkel rakyat ke istana. Presiden Joko Widodo dijadikan sasaran tembak.Â
Hal begini lumrah dalam politik elit yang pragmatis itu. Isu sekecil apapun akan digunakan mendegradasi popularitas lawan. Di tangan kekuatan 'oposisi', itu berarti segencar mungkin memanfaatkan segala isu demi memperburuk citra pemerintahan Jokowi dan faksi elit ekonomi dan politik yang menopangnya.
Setelah Gerindra masuk kabinet, sulit memetakan kekuatan pokok kubu oposisi. Di permukaan, PKS lebih tampak sebagai oposisi formal. Entahlah di ranah politik dunia malamnya.
Mau tak mau, saat ini kita harus menerima percakapan di media sosial sebagai wajah politik konkrit. Di ranah ini, kekuatan yang aktif bermanuver lebih tampak sebagai pencampuran tak terlembaga antara gerakan politik fundamentalis agama dan sejumlah politisi parpol non-kabinet. Dugaan ini berbasis tipe isu yang gencar dikapitalisasi dan diviralkan di medsos.
Oposisi yang sulit terpetakan secara jelas kelembagaannya tampaknya tidak menjadikan penggulingan kekuasaan sebagai intensi pokok gerilya politik media sosial. Tetapi jika ada ruang bagi eskalasi kekecewaan dan kemarahan rakyat, penggulingan kekuasaan bisa jadi rezeki durian runtuh bagi mereka. Yang bisa mereka lakukan saat ini adalah disiplin mengolah isu dan berharap sejarah memihak mereka, menghasilkan krisis politik yang 'produktif'.Â
Jika sekalipun harus menunggu pemilu, pengolahan kasus-kasus yang melukai rasa keadilan rakyat menguntungkan oposisi sebagai dis-inventasi di kubu faksi penguasa pemerintahan. Jagoan faksi elit penguasa pemerintahan akan lebih mudah kalah dalam pilpres 2024.Â
Demikian pula parpol-parpol mereka, mungkin tergerus suaranya. Ini jika diasumsikan, saat pemilu 2024 nanti, gerakan fundamentalis bawah tanah akan melakukan blocking politik ke salah satu parpol di parlemen sebagai kanal elektoral dari hasil gerilya politik medsos.
Atau boleh pula ini merupakan investasi jangka panjang pembusukan terhadap negara dan sistem demokrasi. Sekali lagi, dengan asumsi yang memobilisasi akun-akun buzzer ini adalah pihak yang sama seperti yang ditudingkan Arief Poyuono untuk isu PKI: para kadrun (dan perlu dipertimbangkan pula cukong-cukong Orba di baliknya).
Pendukung Istana Fight Back.
Saya menduga kubu faksi elit istana sudah menyadari ini. Itu sebabnya ada perlawanan balik di ranah daring. Akun-akun bala buzzer istana --juga yang berbayar pun yang politis ideologis-- berhasil menyundul tagar #PenikamWirantoTerorisISIS jadi trending di twitter pada malam 17 Juni.[1]