Sudah beberapa hari ini wajah-wajah baru lalu-lalang di depan rumah, menjajakan barang dan jasa tidak lazim. Ada yang tanya-tanya aki kosong; ada yang tawar jasa tambal panci berlubang; ada pula yang jual jasa perbaikan jam, sekaligus menjual baterai.
"Hmm, ini coping strategy." Saya membatin.
Gara-gara pandemi, orang-orang terlempar dari pekerjaan lama. Karena tangguh -Tuhan memberkati mereka untuk itu dan karena itu- mereka mencari jalan keluar, mencoba peruntungan sebagai penjaja jasa keliling. Apapapun yang disangka punya pasar, coba dijual.
Beberapa pekan lalu saya sempat bersungut-sungut kepada seorang bapak pedagang ikan keliling. Soalnya saat saya menawar Rp 50.000 untuk tiga satuan seharga masing-masing Rp 20.000, ia mengangguk tetapi ikan yang disodorkan cuma 2,5 kumpul.
"Lho, kan harusnya 3 kumpul, Pak. Makanya saya beli lima puluh ribu. Kalau tidak ada diskon, mending saya beli 20 ribu saja."
"Oh, biasa begitu ya, Pak?" Tanyanya.
"Yah, Bapak baru pernah jualan ikan keliling ya?" Saya balik bertanya dengan intonasi kesal. Tetapi kemudian saya insyaf. Bapak tadi mungkin mantan pegawai perusahaan yang kini memutuskan berjualan ikan sebab perusahaan merumahkannya, mungkin bahkan tanpa kompensasi.
Seketika empati muncul sebab bapak tadi senasip dengan saya. Demi bertahan hidup, saya juga rela turun pangkat, mengambil pekerjaan kuli serabutan yang lebih teknis, lebih terbatas tanggungjawab, dan tentu saja lebih kecil upahnya.
Jika biasanya saya mengupah enumerator untuk membantu pekerjaan serabutan saya. Kini saya harus menerima tawaran jadi enumerator, pekerjaan semasa bujang dulu.
Si bos yang kasih kerjaan bilang, "Lumayan, Om, untuk uang jajan."
"Uang jajan gundulmu (dalam hati) ...untuk cicilan kredit, Boss."
Nah kemarin, saat sedang entri data di teras -saya selalu bekerja di teras depan rumah yang sempit sebab saya merokok- seorang lelaki dengan rambut beruban 60% menyapa, menanyakan jika ada jam dinding yang mau diperbaiki.
Saya jawab tidak.
Sekitar sepeminum teh---Alm. Bastian Tito biasa pakai satuan waktu ini dalam Wiro Sableng. Begitu pula Niki Kosasih di dalam Saur Sepuh---yang bagi saya sekitar 20 menit, si Bapak tadi datang lagi, masih menawarkan hal yang sama.
Baca pula: "Kemunafikan Indonesia dalam Kasus Nelayan di Kapal Tiongkok"
Tetapi kali ini ia juga minta pinjam korek api, pemantik gas, sambil mengeluarkan bungkus rokok, merek yang lebih mahal dari yang saya hisap.
Dalam hati sempat kecamuk pertentangan. Kalau saya kasih, bagaimana jika orang ini silent carrier virus corona. Pemantik atau korek gas saya akan jadi medium penularan virus. Tetapi kalau tidak kasih, tidak enak juga hati ini.
Ia sudah berjalan hilir mudik menjajakan jasa perbaiki jam. Andai bukan masa pandemi, sudah saya ajak beliau ngopi sebentar.
Tetapi ini pandemi. Bagaimana jika... Tetapi mosok tega tidak meminjamkan korek api... Tetapi ... .
Belum selesai otak saya menimbang, tangan ini sudah bergerak otonom, mengulurkan korek gas kepadanya.
Celaka! Saat membakar rokok, si Bapak batuk. Persis saat korek api saya tepat di depan mulutnya.
Terus si Bapak kembalikan korek itu kepada saya.
Jelas saja saya tolak.
"Sudah, untuk Bapak saja."
Harusnya ia menerima dan mengucapkan terima kasih. Begitu biasanya. Tetapi celaka lagi, ia malah menyodorkan balik korek itu kepada saya. "Tidak apa-apa, Pak. Saya minta api saja."
Wuaduh. "Sudah, untuk Bapak saja."
"Jangan, Pak. Tidak apa-apa." Ia lalu meletakkan korek itu di meja kecil di samping saya, lalu permisi pergi.
Nah, sekarang saya berada dalam situasi dilematis. Kalau korek ini saya biarkan saja tergeletak di meja, kelak tidak sengaja akan saya pakai lagi. Saat itu virus corona berpindah ke tangan saya, lalu mulut atau hidung, lalu faring, lalu laring, lalu trakea, lalu bronkus, lalu paru-paru ... lalu saya yang pindah ke dalam tanah, dalam kotak kayu.
Baca juga: "Jokowi Ajak Rakyat Berdamai dengan Corona, Begini Respon Waras Saya"
Tetapi jika saya buang, ini bakal jadi korek gas ketiga yang pergi sia-sia dalam 2 pekan ini. Penyebabnya sama saja: dipinjam pakai teman ngobrol.Â
Dua yang lain, yang sebelumnya, saya relakan dibawa pergi bapak-bapak kompleks saat mengobrol berbagi beban di hati soal uang rokok yang kian susah diperoleh.
Perokok memang golongan rentan jadi korban Covid-19. Bukan karena paru-paru mereka tinggal rongsokan, tetapi karena budaya pinjam korek.Â
Apalagi, di masa pandemi begini, banyak orang kehilangan kemampuan membeli rokok tetapi tidak kehilangan kecanduannya. Maka pinjam rokok dan korek menjadi-jadi. Peluang penularan pun menganga lebar.
Saat sedang menimbang-nimbang, saya tersadarkan, jangan-jangan droplet batuk si Bapak tadi hinggap pula di laptop, kursi, meja, dan tubuh saya.
Secepat kilat saya lemparkan korek gas ke jalan. "Bluussss!" Bunyinya saat pecah. Lalu saya lari ke belakang, menanyakan disinfektan kepada istri.
"Untuk apa?" Ia bertanya.
Saya ceritakan secepat-cepatnya peristiwa tadi.
"Belum dibuat lagi. Pakai saja tisu basah, dikasih sabun," usulnya.
Saya lakukan itu lalu segera ke depan lagi untuk melap kursi, meja, dan laptop dengan tisu basah yang sudah berlumuran sabun.
Kursi dan meja saya jemur di bawah sinar matahari. Lantas saya membopong laptop masuk, menuju kamar mandi dan byur byur byur. Sepuluh menit kemudian saya sudah harum dan segar Pakaian sudah berganti dan siap lanjutkan kerja.
Sial! Kursor laptop onar. Kadang ngadat, kadang bergerak liar sendiri. Rupanya gara-gara rembesan busa sabun tadi.
Butuh lebih dari setengah hari didiamkan sebelum ia bisa dipakai lagi. Hhhh. Untung saja masih bisa dipakai.
Pandemi ini membawa serta bentuk paranoid baru. Bikin panik, dan jika sudah panik, yang tersisa cuma kebodohan.***
Baca: "Ketika Sri Mulyani Ngotot Kartu Prakerja"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H