Jelas saja saya tolak.
"Sudah, untuk Bapak saja."
Harusnya ia menerima dan mengucapkan terima kasih. Begitu biasanya. Tetapi celaka lagi, ia malah menyodorkan balik korek itu kepada saya. "Tidak apa-apa, Pak. Saya minta api saja."
Wuaduh. "Sudah, untuk Bapak saja."
"Jangan, Pak. Tidak apa-apa." Ia lalu meletakkan korek itu di meja kecil di samping saya, lalu permisi pergi.
Nah, sekarang saya berada dalam situasi dilematis. Kalau korek ini saya biarkan saja tergeletak di meja, kelak tidak sengaja akan saya pakai lagi. Saat itu virus corona berpindah ke tangan saya, lalu mulut atau hidung, lalu faring, lalu laring, lalu trakea, lalu bronkus, lalu paru-paru ... lalu saya yang pindah ke dalam tanah, dalam kotak kayu.
Baca juga: "Jokowi Ajak Rakyat Berdamai dengan Corona, Begini Respon Waras Saya"
Tetapi jika saya buang, ini bakal jadi korek gas ketiga yang pergi sia-sia dalam 2 pekan ini. Penyebabnya sama saja: dipinjam pakai teman ngobrol.Â
Dua yang lain, yang sebelumnya, saya relakan dibawa pergi bapak-bapak kompleks saat mengobrol berbagi beban di hati soal uang rokok yang kian susah diperoleh.
Perokok memang golongan rentan jadi korban Covid-19. Bukan karena paru-paru mereka tinggal rongsokan, tetapi karena budaya pinjam korek.Â
Apalagi, di masa pandemi begini, banyak orang kehilangan kemampuan membeli rokok tetapi tidak kehilangan kecanduannya. Maka pinjam rokok dan korek menjadi-jadi. Peluang penularan pun menganga lebar.
Saat sedang menimbang-nimbang, saya tersadarkan, jangan-jangan droplet batuk si Bapak tadi hinggap pula di laptop, kursi, meja, dan tubuh saya.
Secepat kilat saya lemparkan korek gas ke jalan. "Bluussss!" Bunyinya saat pecah. Lalu saya lari ke belakang, menanyakan disinfektan kepada istri.