Saat ini sudah tidak ada Kementerian Penerangan yang bertugas menapis berita positif tentang kebaikan penguasa dan kegembiraan-kegembiraan rakyat, dari antara hamparan pasir kabar-kabar negatif kemiskinan, penderitaan, perampasan tanah, upah murah, dan kematian-kematian tak perlu.
Tetapi bukan berarti peran Kementerian Penerangan lenyap begitu saja. Ia malah terbagi-bagi kepada jasa partikelir individual dan grup-grup.
Sedihnya, beberapa di antara yang berdagang jasa atau sukarela melanjutkan peran Kementerian Penerangan adalah beberapa kawan seperjuangan Widji Thukul, meski tidak banyak. Sebagian lainnya, yang terbesar jumlahnya, cuma penggaung yang menambal sulam materi-materi yang diproduksi konsultan politik tanpa sungguh-sungguh paham hakikatnya.
Sebenarnya tidak salah jasa partikelir propaganda seperti ini berkembang. Selalu saya katakan, selain oleh perangkat represif, kekuasaan juga ditegakkan oleh hegemoni.
Demikian pula sebaliknya, pihak lawan berusaha mengambilalih kekuasaan dengan memenangkan kesadaran dan ketidaksadaran rakyat. Ketidaksadaran adalah kesadaran palsu.
Dibandingkan kesadaran, ketidaksadaran atau kesadaran palsu lebih berperan dominan menjaga tatanan dan privilege kelompok kecil yang paling diuntungkan tatanan.
Seorang ninggrat landlord zaman dahulu tidak bisa tidur pulas memeluk istri-istri di kanan-kiri jika para petani penggarap tidak tertipu kesadaran palsu bahwa tuan mereka memang berhak atas berbidang-bidang tanah dan tubuh-tubuh perempuan tercantik sebab merupakan perwakilan Tuhan di muka bumi, manusia istimewa yang diurapi kekuasaan Ilahi sebagai pemimpin orang kebanyakan.
Omnibus Law Cipta Kerja hanya bisa lolos tanpa gelombang protes masif jika rakyat mengidap kesadaran palsu bahwa pekerjaan cuma bisa diciptakan oleh kebaikan hati tuan-tuan berkantung tebal dari negeri-negeri seberang; dan bahwa ekonomi koperasi yang jadi soko guru itu cuma rumusan manis Hatta; bahwa berdikari itu retorika kosong Soekarno.
Di masa kini, pertarungan hegemoni bukan lagi di tingkatan substantif. Kubu yang bertahan, pun yang menyerang dalam politik a la borjuasi ini tidak memiliki hal substantif untuk diperdebatkan.
Maka jadilah pertengkaran merebut kekuasaan diwarnai tembakan peluru-peluru hampa. Tudingan kofar-kafir versus keyakinan absurd orang baik pilih orang baik--saya pernah melakukannya--. Lalu kini, hoaks versus seruan jangan tebar kecemasan, seruan jangan banding-bandingkan ketidakbecusan di sini dengan kebijakan baik negeri-negeri seberang.