Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Corona dan Ironi Para Pewarta Kabar Positif

14 April 2020   00:53 Diperbarui: 14 April 2020   12:00 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi [gettyimages.com/ eli_asenova]

Pandemi corona menggila, di media sosial dan blog muncul para PNS, Positive News Samurai.

Mereka menulis beberapa kabar indah, sejumlah petuah hakuna matata. Tetapi berbeda dengan mereka yang tulus menebar kabar positif, para samurai upahan lebih sering mencaci-maki orang-orang yang dinilainya menyebar ketakutan dengan berita-berita suram pandemi. Mereka lupa, merekalah yang sedang menghancurkan negeri ini.

Note: yang namanya samurai pasti upahan. Kalau relawan ya ronin sebutannya, gak punya tuan.

***

Di masa orde baru, semuanya tampak baik-baik saja sebab cuma yang demikian itu yang boleh diberitakan saluran-saluran formal. Yang buruk-buruk hanya tersiar lewat bisik-bisik di pojok perkampungan, di puncak gunung-gunung, dan di pedalaman rimba. 

Maka banyak orang menyangka kehidupan di sekitar mereka sungguh demikian berlakunya: baik, bahagia, manis, tentram, kenyang, sehat. Padahal yang tampak baik-baik itu hasil penapisan ketat terhadap banyak kabar benar yang pahit jika sampai ke telinga dan mata rakyat.

Media massa yang ngotot dengan idealisme mewartakan kebenaran di-breidel. Orang-perorangan yang nyinyir pada kekuasaan dijerumuskan ke balik jeruji; banyak pula yang lenyap, baik yang ditemukan jasadnya berkalang tanah, atau menguap seperti embun sambut siang, hilang begitu saja.

Widji Thukul, pekerja seni dan budaya yang hingga kini hilang tak tentu rimbanya---sebab janji menuntaskan kejahatan HAM masa lampau turut mati terserang corona dan hanyut oleh banjir---menyindir kondisi ini dengan puisinya, "Sungguh Enak Hidup di Televisi."

Agar tidak mengulangi konten banyak laman blog yang memuat bait-bait puisi tersebut, baiknya saya tampilkan sebagai gambar saja.

Simaklah.

Puisi Widji Thukul,
Puisi Widji Thukul, "Sungguh Enak Hidup di Televisi."

Saat ini sudah tidak ada Kementerian Penerangan yang bertugas menapis berita positif tentang kebaikan penguasa dan kegembiraan-kegembiraan rakyat, dari antara hamparan pasir kabar-kabar negatif kemiskinan, penderitaan, perampasan tanah, upah murah, dan kematian-kematian tak perlu.

Tetapi bukan berarti peran Kementerian Penerangan lenyap begitu saja. Ia malah terbagi-bagi kepada jasa partikelir individual dan grup-grup.

Sedihnya, beberapa di antara yang berdagang jasa atau sukarela melanjutkan peran Kementerian Penerangan adalah beberapa kawan seperjuangan Widji Thukul, meski tidak banyak. Sebagian lainnya, yang terbesar jumlahnya, cuma penggaung yang menambal sulam materi-materi yang diproduksi konsultan politik tanpa sungguh-sungguh paham hakikatnya.

Sebenarnya tidak salah jasa partikelir propaganda seperti ini berkembang. Selalu saya katakan, selain oleh perangkat represif, kekuasaan juga ditegakkan oleh hegemoni.

Demikian pula sebaliknya, pihak lawan berusaha mengambilalih kekuasaan dengan memenangkan kesadaran dan ketidaksadaran rakyat. Ketidaksadaran adalah kesadaran palsu.

Dibandingkan kesadaran, ketidaksadaran atau kesadaran palsu lebih berperan dominan menjaga tatanan dan privilege kelompok kecil yang paling diuntungkan tatanan.

Seorang ninggrat landlord zaman dahulu tidak bisa tidur pulas memeluk istri-istri di kanan-kiri jika para petani penggarap tidak tertipu kesadaran palsu bahwa tuan mereka memang berhak atas berbidang-bidang tanah dan tubuh-tubuh perempuan tercantik sebab merupakan perwakilan Tuhan di muka bumi, manusia istimewa yang diurapi kekuasaan Ilahi sebagai pemimpin orang kebanyakan.

Omnibus Law Cipta Kerja hanya bisa lolos tanpa gelombang protes masif jika rakyat mengidap kesadaran palsu bahwa pekerjaan cuma bisa diciptakan oleh kebaikan hati tuan-tuan berkantung tebal dari negeri-negeri seberang; dan bahwa ekonomi koperasi yang jadi soko guru itu cuma rumusan manis Hatta; bahwa berdikari itu retorika kosong Soekarno.

Di masa kini, pertarungan hegemoni bukan lagi di tingkatan substantif. Kubu yang bertahan, pun yang menyerang dalam politik a la borjuasi ini tidak memiliki hal substantif untuk diperdebatkan.

Maka jadilah pertengkaran merebut kekuasaan diwarnai tembakan peluru-peluru hampa. Tudingan kofar-kafir versus keyakinan absurd orang baik pilih orang baik--saya pernah melakukannya--. Lalu kini, hoaks versus seruan jangan tebar kecemasan, seruan jangan banding-bandingkan ketidakbecusan di sini dengan kebijakan baik negeri-negeri seberang.

Benar bahwa kabar-kabar negatif tentang jumlah orang meninggal, tentang laju penularan yang belum melandai, tentang compang-campingnya peraturan dan kebijakan perlu pula diimbangi kabar-kabar positif tentang aksi-aksi solidaritas; para pasien yang sembuh; program-program pemerintah yang bermanfaat, dll, dsb.

Tanpa imbangan kabar positif dan negatif, bangsa ini bisa kehilangan harapan. Tetapi sebaliknya, hanya menyebarkan kabar positif dan menyembunyikan kabar-kabar negatif di balik tumpukan buku rekening, dan menyerang para pengkritik kebijakan dengan tudingan hendak membuat huru-hara justru secara pasti membawa bangsa ini kepada kehancuran.

Bayangkan dirimu seorang panglima perang. Manakah yang lebih menakutkan? Mendengar informasi telik sandi tentang kehebatan pasukan lawan, tentang kerusakan yang sunggup senjata mereka hasilkan; dan tentang kekurangan amunisi di gudang persenjataan kita, atau sama sekali buta kondisi?

Jangan anti kebenaran, sekalipun ia datang sebagai kritik pedas dan kisah-kisah kelam sehingga membuat para junjungan kita tampak banyak kekurangan.

Kabar benar, seberapapun negatifnya, dan kritik kebijakan, betapapun tajamnya tetap lebih berguna bagi kita untuk mempersiapkan diri, untuk mengatur kuda-kuda menghadapi kondisi terburuk daripada terlena oleh kondisi buta informasi dan buaian angin surga.

Jika tidak ada yang menutut pembongkaran kondisi sebenarnya, bangsa ini mungkin masih santai saja menanggapi Covid-19 sebagai flu biasa dan percaya penuh pada teknologi pengukur suhu produksi Amerika Serikat. Jika tidak ada kaum nyinyir, bangsa ini sudah mampus sebab Pandemi disikapi dengan kebijakan mendatangkan lebih banyak lagi turis.

Tanpa orang-orang yang cerewet bersuara keras pada kebijakan, Presiden Joko Widodo belum tentu akan memerintahkan Menkes untuk transparan soal data pandemi di Indonesia.

Tanpa suara-suara kritis, media sosial, media cetak, dan lapak-lapak blog keroyokan hanya berisi nyanyian puja-puji, bayaran pun sukarela, yang mengantarkan bangsa ini ke liang kubur tanpa sempat terjaga dari mimpi-mimpi indah penuh kepalsuan.

Jadi jika kita sama-sama mencintai bangsa ini, mari kabarkan kabar positif dan negatif pada porsi yang seimbang; mari dukung kebijakan-kebijakan baik, dan sebaliknya bersuara keras pada ketidakbecusan pengelolaan bangsa dan negara.

Atau jika Anda hanya ingin kabarkan hal-hal positif, tak perlu menyerang mereka yang mengkritik kebijakan penguasa. Ingat, Harmoko saja pernah bicara benar, yaitu ketika ia akhirnya turut menyarankan Soeharto mundur.*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun