Hasilnya, KTL bisa menjual mete ke pedagang di Maumere (Kabupaten Sikka) seharga Rp 11.000 per kg saat harga pasar di banyak tempat di Flores sudah turun menjadi Rp 9.000 per kg. Rp 2.000 kelebihan harga dibagi tiga, Rp 1000 untuk petani (sehingg total petani mendapat Rp 10.000 per kg), Rp 500 untuk jasa pekerja penimbang, dan sisanya masuk ke kas kelompok (menjadi milik kolektif).
Pekerja penimbang adalah para mantan pedagang pengepul. Ini adalah contoh bijak mengatasi dislokasi (pemubaziran pedagang pengepul) ketika asosiasi petani mengambilalih peran mereka.
Kasus KTL merupakan contoh pertama dan paling sederhana petani menjadi chain partner. Individu petani bermitra dengan individu petani lain yang memproduksi komoditas serupa demi mencapai skala produksi (pasokan) komoditas yang cukup untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam pembentukan harga.
Pada bagian 2B kita akan membahas contoh yang lebih kompleks, yaitu chain partner di kalangan petani dengan komoditas berbeda; chain partner antarpetani dengan pembagian peran; dan chain partner antara petani dengan pelaku di mata rantai di bawah (pedagang input) dan di atas (pedagang).
Tunggu pembahasannya Senin depan.
Kumpulan seri "4 Level Petani dalam Value Chain Development"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H