Keberadaan tengkulak itu sendiri merupakan indikator rantai nilai inefisien sebab ada alokasi nilai untuk mata rantai yang tidak memproduksi nilai tambah. Tetapi inefisiensi ini lahir dari inefisiensi lainnya.
Inefisiensi yang bagaimana?
Rumah tangga petani di Indonesia umumnya menguasai lahan kecil. Sebanding dengan itu produksi mereka terbatas saja. Apalagi lahan yang sudah keci itu harus dibagi antara komoditi cash crops dengan tanaman pangan untuk subsisten.
Contohnya petani mete, yang dalam sebulan mungkin hanya menghasilkan setengah karung---panen mete berlangsung selama 3-4 bulan. Petani akan merugi jika harus membawa setengang karung mete ke kota untuk dijual langsung ke pedagang besar. Sebaliknya pedagang besar juga merugi jika demi setengah karung mete harus mengirim truk ke desa.
Petani juga kesulitan untuk menampung panen mete selama 4 bulan hingga kumulatifnya menjadi 2 karung dan cukup ekonomis untuk diangkut ke kota.
Ketika bulan pertama panen ia harus segera menjualnya agar memperoleh uang kas, baik untuk memenuhi kebutuhan saat itu atau membayar utang belanja kebutuhan di hari-hari yang lalu.
Problem ini diselesaikan dengan keberadaan tengkulak. Para tengkulak masuk-keluar rumah, mengumpulkan setengah karung demi setengah karung hingga mencapai volume yang ekonomis untuk dikirim ke kota atau menunggu truk pedagang besar datang ke desa.
Dari contoh ini terlihat bahwa petani akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi jika mereka bisa membentuk asosisasi untuk menjual komoditasnya secara kolektif.
Jauh sebelum menerima Kusala Award, salah satu usaha Kelompok Tani Lewowerang (KTL) di bawah pimpinan Kamilus Tupen adalah menjual secara kolektif mete yang diproduksi petani desa Tuwagoetobi (Honihama). Saya lupa alasan Pak Kamilus mengapa praktik ini tidak berkelanjutan.
Ketika itu, mungkin pada 2009 atau lebih dahulu lagi--saya lupa--, KTL mengumpulkan hasil panen mete para anggotanya. Harga dasar ditentukan berdasarkan harga penawaran pedagang di Waiwerang, kota kecil (tetapi terbesar) di Pulau Adonara.Â
Pak Kamilus lalu menelpon para pedagang di Larantuka dan Maumere, menanyakan berapa harga yang sedia mereka berikan untuk sekian ton mete milik KTL. Jadi lewat asosiasi petani membuka kesempatan para pedagang besar mengajukan bidding.