"Nice points. Oh iya, tetapi kita belum berkenalan sejak tadi. Kauboleh memanggilku John atau Albert." Ia mengulur tangan. Saya menyambutnya. Genggamannya erat. Itulah yang terjadi ketika seseorang mengajak ngobrol tema yang jadi passion kita. Antuasiasme  adalah energi yang bertansformasi ke dalam otot-otot telapak tangan.
"Hmmm, bagaimana jika Johnny saja? Jika kau tak keberatan tentunya. Kauboleh menyapa saya Jyestha. Cukup Jyestha." Dalam hati saya tersenyum. Johnny akan jadi sapaan kesayangan Anne kepadanya, diucapkan dengan cinta dan gairah yang suci.
"Baiklah, Jyestha. Johnny bagus juga. Belum pernah ada yang menyapaku begitu. Memang sesekali dahulu ibuku menggunakannya, terutama ketika ingin aku duduk di sampingnya, mendengarkan ia berkisah tentang orang-orang suci dari Holy Roman Empire, para pahlawan Perang Salib, atau membacakanku satu-dua halaman Injil."
Lalu percakapan mengalir ke sana kemari, mulai dari karya-karya sastra dan gosip seputar para penulisnya, tidak afdol tanpa menyerempet nama Dickinson, Melville, Waldo Emerson, Thoreau, Fenimore Cooper, Washington Irving, dan tentu saja Allan Poe; hingga ke gagasan-gagasan progresif Norman Thomas, Eugene Debs, Darlington Hoopes, dan sejumlah nama lain yang tidak sempat saya catat, pun tak bisa saya ingat.
Begitulah pertemuan perdana kami, terjadi di bulan Maret tanggal empat di kedai tuak, maksud saya  whiskey, gin, rye, dan bourbon, sekitar 30 meter di sebelah utara lokasi Feeding Hills Congregational, bangunan gereja yang bisa dijadikan penanda Feeding Hills. Ini wilayah sepi di kota kecil, Agawam di Hampden County, Massachusetts.
Oh iya, saat ini tahun 1904, sekitar satu dekade sebelum dunia berderab dalam perang dunia.
[Bersambung]
setapak pendek menuju IWD,
satu-dua keping pecah  seri Jyestha si Penjelajah Waktu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H